Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (10)

1 Agustus 2012   21:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Arni akhirnya menghabiskan bulan Ramadhan di kampung halamannya. Ia girang tatkala menerima telepon dari Ramon. Arni pun dengan senang hati menyusul ke tempat persembunyiannya. Selengkapnya...

Saat harus melarikan diri lagi, Ramon sudah siap dengan risiko paling buruk. Risiko itu adalah nyawanya akan benar-benar dihabisi Jaka dan kawan-kawannya.

Karena itu, Ramon tak boleh sembrono. Ia harus lebih berhati-hati dalam pelariannya kali ini.

Masalahnya, hanya dengan sebuah handphone milik Jarpul, apa yang ia bisa lakukan untuk mengamankan pelariannya?

Otak Ramon langsung bekerja dan bikin keputusan. Keputusan pertama adalah menelepon Arni dan meminta ia menyusul sambil membawa kartu ATM yang dititipkannya.

Langkah berikutnya adalah menjual handphone milik Jarpul dan menggantinya dengan handphone yang harganya lebih murah. Tentu saja dengan membeli nomor kartu seluler yang baru untuk mempersulit pelacakan.

Sebenarnya ia sempat menenteng pistol milik Jarpul. Namun karena tak ada isinya, selain dianggap berbahaya jika nekat membawanya, Ramon langsung membuangnya ke sebuah sungai yang ia sempat dilewati.

“Maafkan hambamu ya Alloh terpaksa berbuat seperti ini.” Ramon memejamkan mata sambil berdoa. Ia membayangkan Jarpul sedang menderita karena sendirian di dalam kamar. Menderita sebagai pecundang dengan tangan diborgol.

Tapi Ramon tak punya pilihan. Jika itu tak dilakukannya, dialah yang akan diborgol hingga mungkin disiksa sampai modar. Ramon jelas sedang berhadapan dengan orang-orang berhati iblis.

Astagfirulloh...

Lalu uang hasil penukaran handphone ia gunakan untuk menuju rumah ustadz Mahfudz. Siapa beliau?

Yang bersangkutan adalah seorang guru agama. Sosok yang menuntun Ramon ke jalan Alloh. Sosok yang membuat Ramon berkeputusan bulat untuk meninggalkan Jaka dengan segala kenikmatan duniawi yangpernah dirasakannya.

Lokasi rumah ustadz Mahfudz di Sidoarjo, kota pinggiran Surabaya yang belakangan terkenal dengan lumpur Lapindonya. Ustadz Mahfudz menyebut bencana lumpur Lapindo sebagai peringatan Alloh akan kelalaian manusia menjaga alam yang dititipkannya.

Sayang, manusia cenderung tak sadar. Kasus Lapindo itu bukannya menyadarkan pihak yang berwenang, namun malah melarikannya kearah berbagai kepentingan yang tak berguna bagi rakyat banyak.

Ramon mengenal Ustdaz Mahfudz setelah diberitahu salah satu stafnya. Ketika itu ia mengutarakan ingin belajar agama. Ingin menyirami rohaninya yang kering kerontang.

Keinginan itu sempat ditertawakan.Setelah mengetahui keseriusan Ramon, staf itu pun merekomendasikan nama Ustadz Mahfudz.

Nah, saat bertemu pertama kali dengan sang ustadz, Ramon sempat minder bahkan takut karena kehidupannya begitu berlumpur dosa. Namun Ustadz Mahfud tak menganggapnya seperti itu.

Beliau menyebut Ramon sama seperti manusia lainnya, Manusia yang sedang khilaf. “Yang namanya khilaf yang harus diingatkan. Diluruskan,” katanya lembut.

Begitulah, kesan pertama bertemu Ustadz Mahfudz menuntunnya untuk kembali pada keesokan harinya.

Ramon tak mengeluh ketika harus menunggu hingga berjam-jam karena kesibukan sang ustadz. Saat pertama kalinya bertemu Ustadz Mahfudz pun ia sudah menunggu hingga lima jam.

Ini karena sebelumnya ia sempat ditanya ini-itu oleh stafnya. Konon, jika masalahnya berat, Ustadz Mahfudz sendiri yang turun tangan. Jika ringan, cukup dengan stafnya. Nah, masalah Ramon dianggap masalah super berat.

Setela merasa nyaman dengan ustadz Mahfudz, suatu hari Ramon menumpahkan segala isi hati yang selama ini terpendam. Terpendam sangat dalam. Sang ustadz mendengarnya dengan penuh kesabaran.

Ustadz Mahfudz bahkan membiarkan Ramon menangis, setelah puas menumpahkan uneg-unegnya. “Menangis tak identik dengan manusia lemah. Alloh tak melarang umatnya menangis,” tuturnya.

Ia lalu menyebut sosok sahabat Nabi Muhamad, Umar bin Khattab yang dikenal sangat tegar dan ditakuti lawan-lawannya. Ternyata ia suka menangis. Terutama jika sudah berdiri shalat menghadap Alloh atau saat berdzikir menyebut asma-Nya.

Terkait persoalannya dengan Jaka, ustadz Mahfudz sempat menyarankan agar mengadukannya ke polisi. Namun Ramon geleng kepala karena ia tahu sejauh mana Jaka sudah berhasil menancapkan jarinya di tubuh kepolisian.

Artinya percuma saja karena polisi pasti akan dikendalikannya. Begitulah kondisi negeri ini. Mau tak mau Ramon merasa harus menerimanya.

“Yang penting, saya sekarang merasa plong ustadz. Saya jadi tak merasa takut dengan siapapun. Yang saya takutkan hanya Alloh.”

“Alhamdulillah…” kata ustadz Mahfudz.

Merasa apa yang dilakukannya di rumah ustadz Mahfudz mulai tercium Jaka, Ramon akhirnya memilih kabur. Ia tak ingin ustadz yang baik hati itu terlibat dengan kasusnya. Ia tak ingin Jaka melukai sang ustadz.

Ramon kabur tanpa memberi tahu ustadz Mahfudz.

***
Asallamualaikum….

Wa allaikum salam….

Istri ustadz Mahfudz yang menjawab salam Ramon karena suaminya sedang berdzikir.

“Masya Alloh, ini Ramon ya. Tadi kami sempat ngerasani kamu. Darimana saja sih?.” Nada gembira tampak sekali pada istri ustadz Mahfudz.

Ramon berbasa-basi bahwa ia tak kemana-mana. Ia hanya terbebani banyak urusan pekerjaan yang harus diselesaikan

Setelah menunggu sebentar, Ustadz Mahfudz keluar dari mushola kecil di rumahnya. “Alhamdullilah kamu Ramon ya, sudah lama tak memberi kabar?” Ramon mengangguk.

“Sepertinya ada yang penting sekali, malam-malam datang ke sini?”

Maka berceritalah Ramon tentang petualangan yang telah dilakoni dan maksud kedatangannya. Sang ustadz mengangguk-angguk dan bersedia menampung Ramon untuk sementara waktu.

“Tenang saja di sini Insya Alloh aman.”

“Tapi ustadz, ada satu lagi?”

“Satu lagi, apa itu?”

“Calon istri saya, Arni namanya juga sedang dalam perjalanan menyusul ke sini?

“Calon istri, maksudnya?”

Ramon sadar bahwa selama ini ia memang belum bercerita soal Arni kepada Ustadz Mahfud. Maka berceritalah ia tentang siapa Arni dan bagaimana ia mengajaknya untuk menikah.

“Intinya saya ingin meresmikan status hubungan kami sebelum membawanya berkelana.”

“Maksudnya nikah siri?”

Ramon mengangguk sambil tersenyum penuh harap.

Ustadz Mahfudz tak segera mengiyakan karena ia tahu hal itu tidak mudah.

“Yang penting siapa tadi?. Ya..ya..Arni calon istrimu tiba ke sini dengan selamat. Kasihan malam-malam masih di jalan…” (Bersambung)

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (11)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun