Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tukang Odong-odong Dituduh Terlibat Pencurian

15 Maret 2012   15:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:00 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mardi, tukang odong-odong itu, harus berada di kantor polisi. Ia diinterograsi atas kasus pencurian di salah satu rumah warga. Alasannya, kala kejahatan terjadi, ia berada di depan rumah korban bersama odong-odongnya.

"Sudah berapa lama kamu jadi tukang odong-odong?" Seorang  polisi berpenampilan seperti petugas kantoran dengan cukuran rambut rapih, membuka pembicaraan. Pria di sebelahnya, juga tanpa berseragam polisi, serius di depan laptop, siap mencatat keterangannya.

"Kayaknya belum lama. Memangnya saya salah apa sih Pak?," jawab Mardi.

"Ditanya kok malah balik nanya. Jawab saja berapa lama. Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun atau berapa lama?" kata polisi tadi dengan nada tinggi. Mungkin ia kesal dengan jawaban Mardi, yang belum-belum sudah curiga.

"Hampir setahun, Pak. Tanggal 13 bulan April nanti, pas setahun saya jadi tukang odong-odong."

"Odong-odong itu punya kamu sendiri?"

"Ya bukan lah Pak. Saya menyewa dari bos saya. Saya cuma tinggal makai dan bayar setoran tentunya."

"Berapa setorannya?"

"Memang kenapa sih Pak?"

"Jawab saja!"

"Pertamanya sih cuma 50.000 per hari . Lama-lama naik jadi dua kali lipat , katanya karena saya sudah punya pelanggan."

"Kenapa kamu menjadi tukang odong-odong"

"Pernah sih daftar jadi polisi tapi..."

"Jawab yang benar!!!"

Mardi buru-buru meralat ucapannya begitu melihat polisi di depannya jadi sewot karena tak senang dengan jawabannya. "Eh, maaf Pak.  Saya butuh uang, lalu diajak teman jadi tukang odong-odong. Eh, keterusan sampai sekarang."

Sebelum melanjutkan interograsinya, polisi memberikan air putih mineral ukuran gelas plus sedotan dan menyuruh Mardi meminumnya. Sampai di situ Mardi bingung, sebenarnya apa yang diinginkan polisi dari seorang tukang odong-odong seperti dirinya?

Ia lalu mengingat-ingat, selama menjalani pekerjaan, perasaan tak punya musuh. Ia juga tak melihat ada pelanggan atau warga membenci pekerjaannya.

Malah setahu Mardi, banyak warga yang menyukai kehadirannya. Ini karena kehadiran Mardi dengan odong-odongnya dianggap mampu menghibur anak-anak kecil, terutama anak balita .

Apalagi ia tak memasang tarif yang mahal. Cuma Rp 500 satu lagu. Berarti kalau dua lagu Rp 1.000 per anak. Bila empat tunggangan odong-odongnya terisi penuh, hasilnya lumayan, sekali nggowes untuk satu lagu dapat Rp 2.000. Tapi satu anakpun yang naik ia tak boleh menolak, tetap menggowesnya dengan senang hati.

Banyak anak rewel lalu menjadi diam tatkala odong-odong Mardi datang. Lagu anak-anak yang menyertai odong-odong cukup membuat anak-anak nyaman. Bayangkan jika odong-odong tanpa lagu anak-anak? Pasti garing dan membosankan. Anak-anak tidak suka.

"Tukang odong-odong itu sebenarnya pelestari lagu anak-anak. Sebab lagu-lagu itu sudah jarang diputar lagi di radio dan televisi." Begitu yang pernah didengar Mardi dari seseorang, entah dari siapa.

Memang sih, sebagai tukang odong-odong, Mardi jadi kenal banyak orang, terutama langganannya. Mereka-mereka itu, ada yang ramah, ada pula yang jutek. Ada yang royal, tak sedikit juga yang pelit.

Oh ya mengingat orang-orang. Mardi jadi ingat pasangan Muniroh-Sarwadi yang paling nggak suka dengan keberadaannya. Pasangan tak punya anak itu pernah mengusirnya jauh-jauh saat ia mangkal depan rumahnya.

Masalahnya, rumah pasangan itu memang strategis. Berada di tusuk sate salah satu pertigaan komplek perumahan yang biasa disinggahi odong-odong Mardi. Kebetulan di depan rumah Muniroh-Sarwadi ada pohon besar dan teduh. Pelanggan dan dia sendiri nyaman berada di bawahnya. Sekali dua kali Mardi mangkal di sana, aman-aman saja.

Eh suatu hari, pasangan itu keluar bersamaan dan mengusir Mardi dengan kata-kata yang tak enak didengar. "Dasar odong-odong tak tahu diri. Dibiarin sekali dua kali nggak sadar. Berisik tahu. Pergi sana, jangan mangkal di sini."

Tak ada alasan bagi Mardi untuk melawan. Sejak itu, ia mencari tempat mangkal, jauh dari rumah pasangan Muniroh-Sarwadi. Sejak itu ia jadi tahu, bahwa pasangan itu memang terbilang resek dan sering bermasalah dengan warga sekitar. Keberadaan odong-odong Mardi pun pernah diadukan ke pengurus RT.

"Pokoknya yang waras ngalah deh." Pak RT berbisik pada Mardi dalam sebuah kesempatan.

***

" Kamu kenal dengan keluarga pasangan Muniroh dan Sarwadi?" Pertanyaan itu membangunan Mardi dari lamunannya.

"Kenal sih tidak, tapi tahu." Jawab Mardi dengan pikiran yang meraba-raba.

"Katanya kamu sudah diperingatkan untuk tidak mangkal di depan rumahnya?"

"Bukan hanya diperingatkan, Pak. Tapi disuruh pergi. Diusir!"

"Dan kamu membandel?"

"Membandel? Maksudnya apa ya pak. Saya nggak ngerti. Saya sih setia orangnya, Pak"

"Keluarga itu melapor ke kami, kamu sudah pernah diusir tapi masih mengulang mangkal di depan rumahnya. Coba ingat-ingat dan jangan ngeles!"

Pikiran Mardi kembali menerawang. Ia mencari jawab akan pertanyaan pernahkan ia kembali mangkal di depan rumah berpenghuni galak itu? Ya ampun, Sarwadi akhirnya ingat bahwa ia pernah sekali lagi mangkal di depan rumah pasangan Muniroh-Sarwadi.

Saat itu panas terik sekali. Pelanggan maunya main odong-odong di tempat yang teduh. Mereka lalu mengarahkan odong-odong Mardi supaya mangkal di bawah pohon besar, depan rumah pasangan Muniroh-Sarwadi.

"Tenang Bang. Yang punya rumah lagi pergi jauh, ke luar kota." Kata salah seorang warga begitu mata Mardi menyelidiki rumah keluarga Muniroh-Sarwadi.

Kala Mardi ragu, seorang warga lainnya melemparkan benda keras melewati pagar tinggi dan mengenai pintu rumah keluarga itu. "Tuh kan terbukti nggak ada yang keluar. Kalau ada, pasti sudah mencak-mencak."

Aksi itu secara spontan diikuti beberapa warga lainnya. Mereka seolah puas melempari rumah pasangan yang dianggap jadi musuh bersama itu, dengan benda apa saja.

Mardi jadi merasa tenang, bisa kembali mangkal di depan rumah pasangan Muniroh-Sarwadi.

"Ya..ya...ya...saya sudah inget. Saya pernah sekali mangkal di depan rumahnya. Tapi itu karena keinginan pelanggan. Saya kan tak bisa menolak." Urai Mardi kepada polisi, namun tetap dalam posisi merasa tak bersalah.

***

Mardi memang mendengar bahwa setelah ditinggal beberapa hari, rumah pasangan Muniroh-Sarwadi kemalingan. Sejumlah perhiasan dan barang elektronik hilang. Melihat jejaknya, maling itu masuk dengan meloncati pagar depan.

Maling itu rupanya sudah mengawasi berhari-hari dan beraksi pada malam hari. Kawanan maling leluasa melakukan aksinya karena para tetangga tak ada yang peduli dengan keluarga Muniroh-Sarwadi. Kejadian itu mungkin malah disyukuri sebagian warga.

Sebaliknya pasangan Muniroh-Sarwadi histeris mengetahui rumahnya berantakan dan barang berharganya banyak yang hilang. Mereka marah-marah di depan Ketua RT. Pasangan itu juga melabrak satpam perumahan yang dianggap bertanggung jawab atas kasus pencurian di rumahnya.

Tak cukup sampai di situ, pasangan Muniroh-Sarwadi juga melaporkan kasus yang mereka alami kepada polisi. Jika polisi kemudian memanggil pengurus RT dan para satpam untuk dimintai keterangan, tentulah masih masuk akal. Tapi tukang odong-odong?

"Sungguh, Pak. Saya cuma mangkal sekali saja. Saya tak mungkin terlibat dengan kasus pencurian itu. Nggak masuk akalah..." Mardi mulai agak kesal karena akan dikaitkan dengan kejahatan yang membayangkan pun belum pernah.

Tapi Mardi langsung terdiam tatkala polisi menunjukkan sebuah kaset lagu anak-anak yang terbungkus dalam plastik sebagai barang bukti. Di salah satu sisi kaset itu ada tulisan nama dirinya menggunakan spidol hitam.

"Kaset ini ditemukan pelapor di depan pintu rumahnya. Kaset ini ada nama kamu. Apakah kamu bilang kami masih mengada-ada. Coba jelaskan, mengapa kaset ini bisa ada di situ..."

Mardi tak segera menjawab. Pikirannya kembali melesat kebelakang dimana ia baru inget bahwa kaset itu diminta salah seorang warga untuk mainan anak yang diasuhnya. Karena sudah rusak, Mardi mempersilahkannya.

Sungguh, ia tak tahu bahwa kaset itu kemudian menjadi salah satu barang yang dilemparkan warga ke halaman rumah pasangan Muniroh-Sarwadi.

Sejak itu, Mardi menjelaskan apa yang dia lihat dan diketahui kepada polisi tanpa berbelit-belit lagi.

***

Hingga beberapa hari kemudian polisi menyimpulkan bahwa pengurus RT, petugas Satpam, dan tukang odong-odong tak terlibat kasus pencurian itu. Mardi pun masih leluasa melakukan pekerjanya kecuali ia tak bisa lagi mangkal di depan rumah pasangan Muniroh-Sarwadi.

Ia tak bisa lagi mangkal di sana karena pohon besar dan teduh itu sudah ditebang habis. Sedang di depan rumah pasangan Muniroh-Sarwadi tergantung papan pengumuman, BUKAN TEMPAT MANGKAL TUKANG ODONG-ODONG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun