Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Salah Menilai Ibu Muda

13 Mei 2011   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

KARENA lama menunggu kereta rel listrik (KRL) yang tak juga datang, seorang ibu muda jadi pusat perhatian di Stasiun Depok Baru. Ibu tersebut bersama anaknya berusia sekitar tiga tahun. Wajah ibu tersebut sebenarnya biasa-biasa saja, hanya terlihat bersih dan segar. Komposisi tubuhnya berimbang, tak terlalu gemuk, tidak juga kurus. Ibu muda itu tampak pandai merawat tubuh dan penampilan. Paling kentara pada tampilan perut yang masih cukup kencang. "Kalau bisa dinilai dengan angka, saya akan beri dia nilai 9," kata seorang bapak berbaju batik lengan pendek. Lelaki muda di sebelahnya mengangguk-angguk pertanda setuju. "Beruntung sekali yang jadi suaminya ya," ucap lelaki muda tersebut menerawang. Seperti penumpang lainnya, ibu muda itu tampak gelisah menanti KRL yang tak juga muncul. Antara pukul 10.30-12.00 KRL dari arah Bogor ke Jakarta memang sudah berkurang jumlahnya. Sebaliknya KRL Jakarta ke arah Bogor datang beruntun. "Mana sih keretanya," kata si ibu muda itu bergumam. Kondisi sebaliknya ditampilkan anak si ibu tersebut. Bocah perempuan itu tampak selalu riang. Mulutnya terus bernyanyi, meski lagu-lagu yang didendangkan umumnya lagu orang dewasa yang lagi ngetren seperti lagu cenat-cenutnya Sm*sh-OVJ dan Chaiya-Chaiya (Briptu Norman Kamaru). Saat seorang pedagang makanan lewat di depannya. Bocah tersebut tiba- tiba merengek minta dibelikan makanan. Ibu tersebut lalu menawarkan permen dari si penjual makanan tadi. Sang anak menggelengkan kepala. Ia tetap minta coklat silver quin yang harganya tentu saja lebih mahal dari permen. Karena kesal, ibu itu tak jadi membelikan permen dan coklat yang diminta anaknya. Nyanyian merdu yang muncul dari mulut mungil bocah tersebut berubah jadi tangisan. Si ibu muda itu tidak peduli. Bahkan tatkala sang anak tak berhenti juga menangis, dicubitlah pahanya. Teriakan sang bocah tiga tahun pun seperti terdengar ke berbagai sudut di stasiun tersebut. Sejumlah penumpang tampak terkejut menengoknya. Namun teriakan kesakitan itu hanya sebentar berganti dengan sesenggukan. Tampaknya bocah itu sudah hafal dengan tabiat ibunya. Ia ogah dicubit kedua kalinya jika terus menangis. Hingga KRL yang dinanti muncul, ibu muda tersebut tetap menjadi pusat perhatian banyak orang di Stasiun Depok Baru. Namun kali ini dengan nilai yang tiba-tiba anjlok, bukan lagi 8 atau 9. "Wanita bengis, amit...amit...," ucap bapak berbaju batik tadi. [caption id="attachment_107774" align="alignnone" width="640" caption="Stasiun Depok Baru (sekadar ilustrasi dari google.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun