Seorang kawan yang pernah tinggal serumah dan kini sudah berkeluarga main ke rumah. Bedu, sebut saja nama kawan tersebut, hendak mengambil oleh-oleh pesanannya berupa petisuntuk bahan rujak. Rujak petis memang menjadi kegemarannya.
Dalam sebuah obrolan, Bedu lalu menanyakan soal kartu pemilih. Selama ini ia masih mendapat surat panggilan memilih namun ia tak pernah memanfaatkan hak pilihnya alias golput. Alasannya, selain tempat tingganya jauh, ia bilang percuma menggunakan hak pilih karena tak ada lagi pemimpin bisa dipercaya.
Kali ini tampaknya ia berubah pikiran. Hanya saja ia menekankan bahwa ia hanya ingin memanfaatkan hak pilihnya di Pilpres tanggal 9 Juli, bukan pemilihan anggota legislatif tanggal 9 April. Mau memilih siapa, jawabannya bisa ditebak yakni Jokowi.
Dimatanya hanya Jokowi yang selama ini bekerja. “Ora kakehan cangkem,” kata Bedu. Artinya Jokowi itu tidak banyak bacot atau NATO (No Action Talk Only). Yang lain kebanyakan pencitraan. Tak sesuai fakta, bahaya bila terpilih jadi capres.
Di kantor, seorang teman kerja juga bercerita bahwa istrinya meminta dia mengurus kartu pemilih. Selama ini, kata Ahmad, kawan saya tersebut, sang istri cuek-cuek saja, bahkan golput forever. Alasannya juga hampir serupa dengan Bedu. Ia sudah patah arang dengan para pemimpin di negerinya. Banyak janji, suka korupsi, cenderung mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.
Apakah Jokowi tidak seperti pemimpin lainnya? “Sepertinya sih orangnya jujur, sederhana, dan mau kerja,” kata Ahmad mengutip alasannya istrinya.
Ahmad belum tahu apakah permintaan istrinya memperoleh hak pilih akan berhasil atau tidak. Tapi dua contoh yang muncul persis dengan resminya PDIP mencalonkan Jokowi jadi capres, Jumat (14/3) menyiratkan ada percikan gairah politik dengan kehadiran mantan walikota Solo itu sebagai capres.
Survei-survei yang pernah dilansir bahwa pencapresan Jokowi akan menurunkan angka golput sepertinya akan terbukti.
Hasil survei yang digelar Forum Akademisi Teknologi Informatika (IT) Agustus tahun lalu menyebutkan bahwa Jika PDI-P tidak menetapkan Jokowi sebagai capres sebelum Pemilu Legislatif 2014 angka golput mencapai 25,5 persen. Namun, jika Jokowi menjadi capres sebelum April 2014, angka abstain atau golput tinggal 19,7 persen. Jokowi effect juga disebut-sebut bakal berimbas pada penurunan elektabilitas parpol lainnya,
Saat Jokowi maju menjadi Gubernur DKI, berkurangnya angka golput sebenarnya sudah terbukti walau tak signifikan. Di putaran pertama, pemilih yang tidak menggunakan haknya sejumlah 36,38 persen. Sedangkan di putaran kedua, jumlahnya berkurang lagi menjadi 33,29 persen. Tapi angka itu jauh lebih baik dibandingkan Pilgub DKI tahun 2007 dimana angka Golput mencapai 39,2 persen.
Tentu tak semua orang akan dengan serta merta memilih Jokowi sebagai capres. Di luar massa kelompok partai selain PDIP, tetap saja ada yang meragukan kemampuan Jokowi memimpin negeri itu.