Mohon tunggu...
Wiwid Prasetiyo
Wiwid Prasetiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta yang berjuang dengan menjadikan buku buku sebagai pintu rizki

Penulis lebih dari 30 buku dengan bernagai genre mulai dari novel hingga religius islami

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rayuan Perempuan Gila

18 Februari 2025   08:41 Diperbarui: 17 Februari 2025   09:25 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tubuhku ditimpuki, anak-anak kecil meneriakiku beramai-ramai, katanya aku gila. Siapa bilang? aku baru saja dari rumah seorang perempuan yang telah merampas Mas Pram dariku tetapi tampaknya perempuan yang tubuhnya seperti karung beras itu jijik padaku, "Mau apa kamu kemari? suamiku tidak ada di rumah" katanya

Kalau tidak ada orang-orang yang meringkusku dan membawaku ke panti sosial swasta  ini, pasti aku masih di rumah perempuan karung beras itu, dia memanggil-manggil orang meminta bantuan, katanya aku gila dan mau menggangguku, padahal aku hanya mau ketemu Mas Pram. Pokoknya, sebelum ketemu, aku akan ke rumah ini terus, biar dikatakan perusak rumah tangga orang, aku tidak peduli, biar dikatakan hantu berkepala keji yang membunuh kebahagiaan rumah tangga orang, aku tak peduli

Keesokannya, ketika penduduk masih sepi aku ke rumah Mas Pram lagi, aku tiduran di halaman rumahnya sambil bernyanyi sendiri, perempuan karung beras itu datang dan memukulku dengan sapu setealah Ia berteriak-teriak tidak ada yang mendengarnya, aku pergi dengan tertawa senang. Keesokan paginya begitu lagi, aku hanya menampakkan diri di depan rumahnya, melihatnya marah, aku pergi dengan cengengesan, pikiranku melayang-layang, membayangkan masa kecilku

Sejak kecil ibu sering bilang aku cantik, tubuhku ramping, bongsor, kulitku putih, rambutku panjang hitam tergerai, apalagi saat ibu memberiku rok berwarna putih dengan corak bunga mawar, akum akin bertambah cantik. Orang-orang yang mendekat dan sengaja mendekatiku hingga mencolekku, ibu akan marah besar dan mengusirnya seperti lalat. Semakin besar perhatian ibu padaku juga semakin ketat, aku tak pernah punya teman laki-laki, setiap kali ada laki-laki mendekat  ibu selalu bilang, "Jangan macam-macam sama anakku ya!"

Bagi ibu, aku mungkin adalah harta yang berharga satu-satunya, setelah Ia ditinggal bapak yang meninggal setelah menebang Pohon Munggur. Ibu sehari-hari berjualan pakaian rombeng di pasar, karena itu sering menemukan rok yang bagus-bagus seusiaku, tidak dijualnya tapi diberikan padaku, aku yang antic pantas memakain pakaian apapun, sekalipun bekas.

Karena aku dianggapnya sebagai barang berharga, semakin besar penjagaan ibu terhadapku semakin ketat, ibu mudah curiga dengan siapapun laki-laki yang berkesempatan bicara padaku, seolah-olah mereka adalah laki-laki brengsek semua atau laki-laki hidung belang yang hendak menikmati tubuhku. Tetapi semakin dilarang, orang-orang semakin nekad, ada banyak cara dan siasat untuk berhubungan denganku. Aku suka-suka saja berhubungan dengan siapapun asal ibu tidak mengetahui, lagipula ibu terlalu berburuk sangka dengan mengatakan yang tidak-tidak. Laki-laki itu semuanya baik kok, juga sopan

Tak hanya laki-laki yang seusia denganku, ada juga bapak-bapak yang suka denganku, om-om dan seorang laki-laki yang usianya beberapa tahun lebih tua denganku, diam-diam mengungkapkan rasa cintanya padaku. Ada yang diam-diam, ada yang terang-terangan. Seorang kades di des aini memberikan hadiah istimewa pada ibu, lima ekor kambing, dua ekor sapi, dan katanya, hadiah ini masih bisa bertambah lagi kalau akum au kawin dengannya, "Maaf, Neng masih terlalu kecil untuk menikah" kata ibu menolaknya halus. Setelah itu Kades yang baru kemarin terpilih dalam pemilihan yang penuh dengan hujan bansos itu tak menampakkan lagi batang hidungnya

Seorang bos preman Pasar Kranggan yang menguaasai parkiran, mengutus anak buahnya ke rumah, bertemu ibu dan mengantarkan hadiah-hadiah yang tak kubutuhkan, mesin cuci, kulkas, sofa dan perabot-perabot lainnya, kupikir diam au membahagiakan akua tau ibuku, itu semua sangat membahagiakan ibuku, mengapa tidak kawin saja sama ibuku?

Anton, seorang pemuda pengangguran yang suka kebut-kebutan, menggunakan cara yang lebih kasar dan memaksa, Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dari atas motornya yang ngebut di jalan raya sampai membuatnya jatuh gara-gara melihatku berjalan di pinggir jalan. Anton orang yang blak-blakan, ketika mengucapkan cinta dia berterus terang, ketika bertemu dengannya tanganku langsung ditariknya, hingga orang-orang melihat kami berdua, diseretnya aku ke tempat sepi, di dekat tanah lapang desaku, lalu mengucapkan tiga kalimat sacral itu

                "Neng, kamu tahu aku sayang padamu"

                "Aku tidak tahu ...." jawabku ketus

                "Bagaimana kamu ini, Neng, aku sampai jatuh dari motor gara-gara kamu"

                "Salahmu sendiri"

                "Kamu tega sekali sama aku, Neng"

                "Biarin!"

                Walaupun aku ketus padanya, dia tidak menyerah, betapa aku ingin menghindar. nyatanya sering ketemu juga, kembali menarik tanganku, membuat aku memberontak, "Kalau ibuku tahu kamu kasar begitu, bisa-bisa kamu dibunuhnya"

                "Aku tidak akan kasar kalau kamu nurut"

                "Baiklah, kamu mau apa?"

                "aku hanya mau ini!" Ia memberiku hadiah cincin emas yang diangsurkannya dari sebuah kotak berwarna merah, "Bukalah!" katanya, kemudian mengambil cincin itu dan memasukkan di jari manisku. Sejujurnya aku suka dengan pemberian Anton, menjadikan aku semakin bertambah cantik dengan perhiasan di jemariku, pasti harganya mahal, ibuku tak pernah memberiku barang-barang mahal begini, tapi aku tidak suka dengan antok yang kasar dan suka memaksa, jadi setelah lama kupikir, kukembalikan pemberiannya agar aku tidak merasa berhutang budi padanya

                "Susah-susah aku membelikannya untukmu, kau kembalikan begitu saja, kau tidak tahu pengorbananku ya, kau kan tahu aku tidak kerja, berapa lama aku mengumpulkan uang ini demi kamu Neng, demi kamu!"

                "Siapa suruh kamu jatuh cinta padaku?"

                "Sialan kamu, kamu mengatakan, siapa suruh aku jatuh cinta padamu, kalau begitu siapa suruh Tuhan menanamkan perasaanku padamu, semua ini bukan kehendakku, tetapi kehendak Tuhan"

                "Kalau kamu jatuh cinta kemudian berkorban untuk orang yang kamu cintai itu hal yang wajar, tapi kalau kamu tidak mau berkorban juga tidak apa-apa, bukan malah membawa-bawa nama Tuhan" jawabku tak kalah sengitnya

                "Kamu sendiri yang mulai dengan mengembalikan cincinku"

                "Aku tidak ingin pemberianmu kau hitung balas budi"

                "Jadi, kau tidak mencintaiku?"

                "Maaf, Anton"

                "Keterlaluan kamu!"

                "Sekali lagi maaf"

                Sejak itu dia tidak pernah nongol lagi di depan hitungku, kulihat di tempat nongkrongnya bersama teman-teman sesama genk motor, motor dan sosoknya tidak ada lagi, Ia benar-benar hilang seperti ditelan bumi. Ini membuatku makin paham, benar kata ibu, aku cantik, kecantikanku bisa membuat laki-laki terluka, kupermainkan perasaannya, kubuat mereka mengemis cinta, sementara aku tertawa di atas penderitaannya. Namun semakin lama aku dapat mempermainkan perasaan laki-laki. justru aku semakin lama semakin takut, tak pernah ada yang lama mencintaiku sejak dulu, yang terjadi semua orang telah tahu reputasiku yang suka mempermainkan cintanya. Pemuda pengangguran yang suka trek-trekan itu dan Pak Kades, dua diantaranya, selebihnya jika semua kuceritakan, takkan pernah selesai, intinya dari banyak orang itu, tak pernah ada yang lama bertahan denganku

                Hingga datanglah Mas Pram. karmaku, laki-laki yang membuat aku tergila-gila padanya, yang tak pernah menampakkan rasa cintanya padaku, bahkan terkesan cuek. Di umurku yang ke dua puluh dua, hubunganku dengan Mas Pram sudah berjalan delapan tahun, ibu meninggal di umurku yang ke tujuh belas, nasibku terlunta-lunta. Mas Pram, seorang pemain solo organ orkes dangdut, lebih tepatnya yang memiliki grup orkes melayu, peralatan, para biduan dan pemain alat musiknya, memiliki jadwal manggung yang padat dan juga para penggemarnya yang fanatik yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Aku ditawarinya kerja, jadi biduan. Pada saat itulah penjagaku berganti dari ibu ke lelaki ini. Bedanya Ibu dengan Mas Pram, jika ibu menjagaku langsung, Mas Pram meminjam tangan orang lain, tak lain adalah anak buahnya.

                Makanku tak pernah kekurangan, buah, susu, madu hingga lulur dan gincuku, saat kutanya dari siapa, utusan itu hanya bilang dari penggemarnya. Awalnya aku percaya, aku sudah beberapa kali manggung dan para penonton di acara hajatan mulai mengenalku. Lama kelamaan orkes melayu milik Mas Pram mulai ketiban rejeki nomplok, jadwal manggungnya nyaris tak pernah libur dalam musim-musim kawin, berhenti hanya bulan Suro dan Puasa saja. Tapi mereka meminta syarat, harus ada aku sebagai biduannya.

                Terkadang dalam setiap aku manggung para penonton berebut naik ke panggung ingin menari bersamaku, satu dua orang suasana masih nyaman di atas panggung, tiga, empat lima, tiga diantaranya terium bau alcohol dari mulutnya, lantas bisa diduga, mereka yang memperebutkanku terlibat dalam perkelahian. Biasanya untuk mengantisipasi hal itu, Mas Pram juga sudah menyewa preman-preman yang berlagak jadi penonton, kemudian meringkus para pembuat onar

                Kalau sudah begitu aku merasa takut dan bersembunyi di belakang panggung, di rumah-rumah warga. Aku yang sudah berpengalaman dicintai laki-laki pada akhirnya tahu sikap yang ditunjukkan mas Pram berbeda antara dia sebagai bos dan dia sebagai laki-laki. Dari sorot matanya, dari cara dia memperlakukanku, dari caranya menyapa, terasa ada yang beda

                "Kamu tidak apa-apa, Neng?" sapanya

                Aku masih menggigil, tak pernah aku melihat perkelahian antar lelaki memperebutkanku, tubuhku juga gemetaran, aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menggeleng pelan. Mas Pram memberiku air putih, aku merasa jauh lebih tenang.

                "Lain kali, khusus kamu, takkkan kuperbolehkan penonton naik ke atas panggung"

                "Jangan mas, tidak apa-apa"

                "Aku tidak rela walau nyamuk menggigitmu"

                :"Jangan, nanti orkes melayu ini reputasinya turun"

                '"Aku justeru harus menjaga keamanan penyanyiku"

                Satu perhatian khusus dan pembedaan dari biduan-biduan yang lain itu salah satu tanda dia ada rasa denganku

                "Tak hanya denganku, tapi dengan biduan yang lain juga dong, biar tidak timbul rasa iri hari"

                "Tidak, khusus kamu karena semenjak kamu ikut kami, orkes ini makin kebanjiran uang"

                Penjelasan Mas Pram rasanya masuk akal, tapi tidak bagiku yang mulai terhanyut oleh berbagai perasaan yang aneh ini. Mulai menghubung-hubungkan berbagai perhatiannya, mulai dari mencukupi kebutuhanku sampai hendak memberiku pengamanan ekstra

                "Mas, boleh aku bertanya sesuatu?"

                "Boleh saja"

                "Apa mas yang mengirim susu dan madu?"

                "Tidak tuh"

                "Telur satu peti, minyak goreng berbotol-botol?"

                "Sumpah, bukan aku"

                "Sudahlah, mas jangan bohong"

                "Kamukan bisa tanya sama yang ngasih"

                "Mereka bilang dari penggemarku"

                "Nah, iyakan?"

                "Iya juga sih, tapi rasanya mustahil ada penggemar sefanatik itu"

                "Mengapa tidak, penggemar Justin Bieber saja selalu mengintip kemana dia pergi, sampai-sampai Justin harus menyamar ketika bepergian"

                "Itu Justin Bieber, mas, bukan aku yang bukan siapa-siapa."

                "Watak penggemar selalu sama, Neng, tidak di kota atau di desa, akan memperhatikan penampilan dari idolanya, aku banyak cerita soal itu. Aku punya puluhan penyanyi yang keluar masuk di orkes ini, para penggemar seringkali bertindak nekad, tapi ada juga penggemar yang diam-diam hanya memperhatikan saja dari kejauhan, jangankan bertindak nekad, menyapapun tidak berani"

                "Siapa itu, mas?"

                "Nanti kamu akan tahu suatu saat"

                Sebagai pemilik orkes melayu yang laris manis ini, aku suka dengan gaya Mas Pram dalam memimpin rapat, bicaranya tenang, pembawaannya kalem, Ia seorang yang perfeksionis, bukan seperti pemusik-pemusik kafe yang rambutnya gondrong dan memelihara jumis dan jenggotnya. Wajahnya selalu tampil bersih, rambut hitam yang mengkilat juga wangi. Diam-diam aku mengaguminya, meliriknya saat memimpin rapat, Ia seorang pemimpin yang tegas pada anak buahnya, menentukan semua keputusan, membuat segala macam peraturan dan kebijakan hingga mengendalikan urusan semua anak buahnya. Hanya saja yang aneh, jika biasanya Ia berbicara lemah lembut padaku, di hadapan orang lain Ia bertindak seolah-olah aku ini musuhnya, bukan anak buahnya. Aku dipersalahkannya, katanya jogetku terlalu vulgar, pakaianku terlalu seksi, suaraku terlalu mendesah dan berbagai macam lagi alasannya

                "Tapi bos, kalau Neng tidak manggung kita akan rugi besar"

                "Kita akan lebih rugi besar kalau Neng manggung dan terjadi keonaran"

                Sekalipun aku simpatik pada Mas Pram, aku tidak paham jalan pikirannya yang aneh, hingga kemudian di tengah-tengah kegalauanku karena tidak manggung untuk sementara waktu, Mas Pram menghubungiku, katanya ada penggemar fanatiknya yang ingin bertemu denganku

                "Siapa?"

                "Datang saja di taman, sore hari"

                "Tapi mas, aku takut" dalam bayanganku, penggemar fanatik itu akan berbuat yang tidak-tidak padaku, seperti yang dilakukannya di atas panggung

                "Jangan takut, diriku yang jadi taruhannya."

*****

                Di tempat aku ditimpuki, dikatakan orang gila oleh anak-anak, disinilah aku bertemu dengan Mas Pram, di sebuah taman di dekat ujung desaku.

                "Lho mas, kamu juga disini"

                "Iya, ada apa?"

                "Siapa penggemar yang mau ketemu aku, mas?"

                "Coba tebak, penggemar itu tak pernah melewatkan sekalipun penampilanmu"

                "Siapa mas?"

                "Diingat-ingat lagi wajahnya, diantara sekian wajah itu, ada tidak wajah yang selalu kau hafal dan selalu ada?"

                "Siapa mas, mana aku bisa mengenalnya satu persatu"

                "Pasti bisa, karena wajah itu sangat kau hafal"

                "Mas, jangan mempermainkan aku"

                "Wajah itu adalah, orang yang berdiri di hadapanmu saat ini"

                Aku tidak bisa menyembunyikan berbagai gejolak perasaan yang kualami saat ini, Mas Pram sungguh lain, Ia memberi perhatian padaku dengan cara yang tidak biasa, Ia memarahiku padahal menyayangiku, Ia menyalahkanku agar aku punya kesempatan untuk beristirahat, aku semakin yakin dia pulalah yang mencukupi kebutuhanku, memberiku pakaian, alat-alat make up dan lain sebagainya.

                Kami tak tahu harus berbuat apa, hanya diam, saling pandang, bahkan sejurus kemudian Ia seperti tak berani menatapku, "Wajahmu terlalu indah untuk dikhianati" katanya. Aku lagi-lagi terdiam. Kesunyian itu pecah setelah dia mengutarakan maafnya karena telah membuatku kesal, menyalahkanku, memarahiku di depan semua orang, sampai-sampai aku berpikir, Mas Pram tidak sebaik yang aku kira , tetapi setelah aku bertemu dengannya disini, di dekat tanah lapang di jalan ujung desa, dia menjelaskan semuanya. Katanya, Ia tak pernah mencintai seorang wanita sebesar ini. Rasa cinta yang membuatnya jadi malu, betapa indahnya diriku, dan betapa hinanya dirinya.

                "Apa maksudnya?" tanyaku

                "Kau adalah ciptaan Tuhan paling indah yang pernah kutemui"katanya. Mungkin Ia hendak mengatakan aku cinta padamu, aku sayang padamu dan kalimat-kalimat lainnya dengan bahasa lain. Ia mengungkapkan rasa cintanya dalam sekali, mungkin karena Ia seorang pemusik sehingga perasaannya halus, sama seperti penyair

                "Sejak kecil ibu bilang aku cantik, mulut laki-laki juga sering mengatakan itu"

                "Kecantikanmu membuat aku tak betah memandang berlama-lama, kau seperti matahari, Neng semakin lama dipandang semakin menyilaukan." katanya, barulah aku tahu Mas Pram bersikap berbeda terhadapku, dari orang-orang yang mencintaiku, sikap Mas Pram sungguh lain. Aku juga baru tahu ketika aku manggung, Mas Pram tak pernah melihatku, entah karena tak kuat melihatku atau gayaku menari

                "Katakan saja mas, kau mencintaiku"

                "Entah Neng, puluhan kali aku mengenal wanita, tapi tidak ada yang seperti engkau"

                "Kalau begitu, mengapa mas tidak melamar aku, lalu kita kawin, bukankah itu lebih simpel?"

                "Kau terlalu suci untuk kumiliki"

                "Apa mas sudah beristri?"

                "Belum"

                "Jadi apa alasan yang menghalang-halangi, mas?"

                "Entahlah, kau lebih pantas dimiliki oleh laki-laki yang lebih sempurna, Neng"

                "Kau lebih dari sempurna, mas"

                "Tidak, kau akan tahu dan aku tak ingin kau menyesal ketika mendapatkan dan akhirnya kau tahu, aku jauh dari sempurna"        

                "Mas, nikahi aku mas .... nikahi aku ... apapun keadaanmu mas"

                "Aku memang mencintaimu, Neng, tapi bukankah cinta tak harus saling miliki"  pungkasnya. Di taman dekat tanah lapang di ujung jalan desa itu, pertemuan pertama dn terakhirku dengan Mas Pram, setelah itu sosok Mas Pram seperti hilang ditelan bumi. Mas Pram adalah karmaku, tempatku mengakui tak semua laki-laki yang mencintaiku bisa kupermainkan perasaannya, Mas Pram adalah perkecualian, dia membuatku sadar, betapa kecantikan bukan segalanya, bahkan kecantikan menjadi momok menakutkan ketika ada yang menolak cintaku, ya bukan, secara tidak langsung Mas Pram menolakku?

                Bersamaan dengan itu orkes dangdut yang Mas Pram pimpin ikut-ikutan gulung tikar, rumah yang menjadi tempat transit barang-barang dan penginapan telah habis masa kontraknya, peralatan musiknya dibawa entah kemana, tak hanya aku yang dirumahkan, tapi puluhan lainnya dari para pemusik dan biduannya terpaksa harus menganggur

                Aku bertanya-tanya pada para biduan kemana perginya, tak ada yang tahu, malah meminta padaku supaya mereka dipekerjakan kembali sebagai biduan. "Apa hakku meminta padanya?"

                "Kamu kan yang paling dekat sama Mas Pram"

                "Tidak tuh"

                "Sudahlah Neng, semua orang tahu kamulah yang paling dekat jadi tidak usah berpura-pura, tolong bilangkan Mas Pram ya, aku punya dua anak dan harus dicukupi"

                "Bagaimana aku bilang, kemana perginya nggak tahu"

                "Kamu kan bisa video call"

                "Nomornya saja tidak aktif kok"

                "Memang di rumah juga terkunci, Mas Pram meninggalkan rumah dengan keluarganya"

                "Keluarganya siapa?"

                "Anak istrinyalah ..."

                "Anak dan istrinya?"

                "Iya, memang siapa lagi, kamu kok seperti orang kaget sih?"

                "Tidak, tidak apa-apa" lantas pergi meninggalkan temanku dalam tanda tanya besar di kepalanya. Setelah itu aku berlari mencari Mas Pram dimanapun keberadaannya, setiap kali bertemu dengan seorang laki-laki dengan istrinya sedang berjalan beriringan, kuteriaku, kuganggu dia. "Kamu Mas Pram ya ... Mas kenapa kamu pergi tanpa pamit?" Aku juga pergi ke kampung-kampung ke pelosok desa, masuk ke rumah orang, meneror para suami, menakut-nakuti para istri bahwa para suami mereka tela berselingkuh denganku, terserah orang mau menyebutku apa, hantu berkepala keji membunuh kasih yang penuh damai, terserah. aku juga bertemu dengan wanita yang tubuhnya seperti karung beras ini, kukira dia istri kedua Mas Pram, kukatakan ingin bertemu dengannya, suaminya tentu tak ada di rumah dan perempuan itu berteriak-teriak memanggil orang, membuat para pemuda berdatangan, menganggapku gila, aku ditimpuki batu oleh anak-anak dan dibawa ke panti sosial swasta, padahal aku hanya ingin mencari Mas Pram. []

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun