Ungkapan tersebut adalah bentuk penyelewengan dari ucapan Rene Descartes, yakni Cogito Ergo Sum, yang artinya aku berpikir maka aku ada. Beliau adalah seorang filosof Peracis yang dengan pikirannya itu ingin menyimpulkan bahwa, segala sesuatu, benda-benda di sekitarnya misalnya, semua telah meragukannya, bahwa mereka benar-benar ada
Begitu juga dengan keinginan manusia untuk mencapai kebenaran, belum tentu menemui jalan yang benar, bisa jadi jalan yang ditempuhnya salah. Tetapi meskipun jalan yang ditempuhnya bisa jadi salah, bagaimana Ia mengerti jika jalan itu salah, tak lain karena Ia telah melampaui proses berpikir, proses berpikir itulah yang pasti, yang membuatnya ada, sedangkan hasil dari pemikirannya, jika dicapai sebuah kesimpulan yang salah, belum tentu ada.
Bagi saya, bukan sekedar berpikir yang membuat saya ada, tetapi menulislah yang membuat saya ada. Bagaimana hubungan antara orang dahulu dan orang sekarang, jembatannya adalah dari karya tulis yang diciptakannya. Tanpa menulis, kata Pramoedya, bersiap-siaplah, kamu akan menghilang dari pusaran sejarah. Sejarah tentu ditulis oleh orang-orang yang punya kepentingan untuk mengabadikan kisah hidupnya.
Karena itu tidak setiap orang bisa menulis sejarah, sejak dahulu para penulis sejarah selalu berasal dari istana, yang ditulis adalah orang-orang besar, tak lain agar mereka dikenang, yang baik-baik saja tentunya, yang busuk akan dilupakan. Apa yang kita baca hari ini, apakah itu Babad Tanah Jawa atau Mahabarata bercerita tentang peran mereka mempengaruhi warna kehidupan.Â
Sekalipun belum tentu benar adanya. Tetapi karena kisah mereka ditulis, sejarah itu yang kita yakini kebenarannya, sebab orang-orang kecil jangankan menulis sejarah, membaca saja mereka buta. Membaca dan menulis adalah kerja para pujangga yang dibayar untuk mengabadikan kisah mereka.
Dan ketahuilah, begitu pentingnya menulis sejarah, sebab kehidupan manusia masa lalu diketahui manusia karena ditulis. Kehidupan sebelum sejarah ditulis, nir lekha atau tiadanya tulisan benar-benar kehidupan masa lalu yang sulit dibaca. Karena itu, masih kata Pramoedya, sehebat apapun kamu dalam berkuasa, selama kamu tidak menulis, kamu akan ditelan zaman.
Kurang hebat apanya Socrates, tetapi sebenarnya dia tidak meninggalkan karya tulis apapun, kecuali dari catatan kaki yang ditulis oleh Plato, bisa jadi Plato memutarbalikkannya, atau menjadikan tulisannya seolah-olah dari Socrates. Plato tentu saja menjadi penghubung antara Socrates dengan zaman kita, dengan apa Ia menghubungkan tak lain dengan pemikirannya.
Jasad orang boleh mati tertimbun tanah, tetapi namanya akan terus abadi, begitu pula dengan upaya para Kompasianer, apa yang membuat mereka semua giat menulis, bahkan pasti tidak mengharapkan uang, tak lain untuk keabadian, ya masih menurut Pram, menulis aalah kerja untuk keabadian, selama dunia masih ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H