Sesaat adzan magrib penanda buka puasa hari terakhir bergema, hujan masih turun dengan derasnya di daerah Pulomas tempat kami tinggal. Meski hembusan angin dingin mendera dan malam terlihat kelam tanpa bintang, kami sekeluarga berbuka bersama dalam nuansa syukur/kegembiraan karena telah diberi Allah SWT kesehatan dan kesempatan untuk bisa menjalankan ibadan puasa dengan sebaik-baiknya.
Malam ini adalah malam yang paling ditunggu oleh ummat islam. Datangnya malam takbiran disebut sebagai malam perayaan kemenangan setelah berpuasa penuh selama 29/30 hari, Sebagai ungkapan kegembiraan tersebut, TV mengabarkan bahwa ada sejumlah warga Jakarta memilih cara konvoi atau arakan keliling kota atau ada yang hanya keliling kampung/RW . Ada pula yang membakar petasan dan kembang api. Dan ada yang terlihat memadati mall dan toko-toko untuk berbelanja berbagai kebutuhan Lebaran (terutama ibu-ibu!).
Saya sekeluarga memilih berdiam dirumah melihat cuaca yang sama sekali tidak bersahabat. Meski sudah reda, hujan masih tetap turun rintik-rintik. Ditambah dengan angin yang tak hentinya berhembus, serasa bagai di Puncak karena dinginnya menusuk tulang. Namun karena harus pergi ke ATM (ambil uang) dan harus membeli beberapa bahan masakan lebaran, saya diantar suami pakai mobil (meski berat hati!) keluar rumah. Dan…sayapun bertemu dengan Ibu Yati serta Kuspandi anaknya, yang berprofesi sebagai pemulung.
Ya, meski pengakuannya ia berusia sekitar 40 tahun, kerasnya badai kehidupan yang dijalani setahun ini di belantara Jakarta menyebabkan fisiknya terlihat seperti wanita usia 50 tahunan. Dia berasal dari Cileungsi Bogor, dimana saat ini dia tidak punya apa-apa lagi disana karena rumah peninggalan orangtua nya telah dijual oleh kakaknya yang gemar berjudi. Sedang suaminya sudah lama meninggal dunia. Dia berkelana bersama anaknya Kuspandi yang berusia 13 tahun (putus sekolah kls 3 SD). Hati saya trenyuh melihatnya duduk sembari bekerja dengan anaknya memisahkan/membersihkan gelas/botol bekas aqua di pinggir jalan Pulomas Raya sekitar 500 meter dari rumah saya. Saat itu hujan masih turun rintik-rintik dan saya dalam perjalanan pulang menuju rumah setelah bersama suami dari ATM dan berbelanja keperluan lebaran.
Beberapa minggu sebelumnya saya sudah pernah melihatnya di tempat yang sama bersama anaknya. Namun perasaan saya dan suami kali ini sangat iba melihatnya tetap bekerja keras tanpa tempat berteduh dalam cuaca seburuk ini. Dingin, hujan, basah dan becek…duh…Tuhan, begitu nian nasib yang menimpa ummatMu. Di malam takbiran yang seharusnya orang bergembira ria menyambut datangnya hari kemenangan Iedul Fitri esok hari, masih banyak ummat islam yang berada dalam kemiskinan yang menyesakkan dada. Ternyata ibu Yati tidak sendiri. Sekitar seratus meter dari tempatnya (masih di Jl Pulomas Raya) saya sempat memotret keluarga Bapak Suraji (bukan Kol Adjie Soradjie lho…kebetulan namanya mirip).
Bapak ini sekeluarga juga tidak bisa ikut bergembira ria di malam takbiran karena sekeluarga hanya bisa berteduh seadanya di pinggir jalan dengan sealas plastik yang disampirkan dari pagar pembatas trotoar ke gerobak dorong pemulungnya. Kondisi ini hanya cukup untuk menghindarkan dari guyuran hujan, Namun basah, becek serta dingin yang mendera tak mampu mereka kesampingkan karena ‘ketiadaan’ itu. Jangankan untuk ikut takbir keliling atau berbelanja keperluan lebaran, bisa selalu sehat dan makan cukup 3 kali adalah suatu kemewahan bagi mereka meski di saat malam takbiran yang besok adalah hari Iedul Fithri. Dan kondisi yang dialami keluarga Bapak Suraji itu juga dialami oleh beberapa keluarga lainnya yang saat ini berteduh di jalan Pulomas Raya yang rata-rata berprofesi pemulung. Karena keterbatasan tempat, waktu, sarana serta cuaca yang tidak mendukung (saya tidak punya lensa jarak jauh) maka tidak sempat saya potret semua.
Dengan melihat situasi di atas, seyogyanya kita ummat islam sadar bahwa meski berhak menyambut hari kemenangan Iedul Fithri setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, tetapi tetap dihimbau untuk tidak berlebihan dan bermewah-mewah mengingat banyaknya saudara-saudara kita berada dalam kondisi yang memprihatinkan…
Jika HATI sejernih AIR, jangan biarkan ia keruh,
Jika HATI seputih AWAN, jangan biarkan dia mendung,
Jika HATI seindah BULAN, hiasi ia dengan IMAN…
Keindahan ramadhan tetap bersinar seiring datangnya hari yang fitri.
Selamat Idul Fitri 1431H
Minal aidin wal faizin.
Mohon maaf lahir dan batin terucap setulus hati untukmu sahabat…
(source of poems from google)
Pulomas, 9 September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H