Mohon tunggu...
Wita Novely
Wita Novely Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Bakrie

Aktif dalam menganalisis fenomena politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Kebebasan Berpendapat Terancam: Saatnya Meninjau Kembali UU ITE

7 November 2024   13:50 Diperbarui: 7 November 2024   14:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia, yang dikenal sebagai negara demokrasi dengan Pancasila sebagai dasar negara, memahami betul pentingnya hak asasi manusia, salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Namun pada nyatanya menunjukan bahwa, kebebasan berpendapat saat ini seringkali terhambat oleh kebijakan yang menghalangi individu untuk mengkritik dan berekspresi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu contoh kebijakan yang seringkali digunakan untuk mengancam hingga menjerat para individu yang berani mengungkapkan kritik atau pendapatnya. 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur perilaku masyarakat di dunia maya dan media sosial. Namun, undang-undang ini menjadi kontroversial karena dianggap berdampak buruk pada kebebasan berpendapat. Alih-alih memberikan perlindungan, UU ITE justru membuat masyarakat enggan menyuarakan pendapat atau kritik karena takut terjerat pasal-pasalnya. Kekhawatiran semakin besar karena UU ini sering dimanfaatkan oleh aparatur negara untuk membungkam kritik dan suara masyarakat terhadap pemerintah. (Indriyana & Amelia, 2021)

Beberapa pasal dalam UU ITE yang awalnya bertujuan baik justru sering disalahgunakan, sehingga mengancam kebebasan berpendapat. Pasal 27 ayat 3, yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik, dan Pasal 28 ayat 2, yang ditujukan untuk menindak penyebaran informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian terhadap individu atau kelompok, kini sering kali digunakan untuk menekan kritik dan membatasi kebebasan berpendapat. (Ningrat & Nulhaqim, 2023)

Pasal 27 ayat 3 ini sering disalahgunakan oleh aparatur negara atau pihak penguasa untuk menekan kritik atau protes yang disampaikan oleh masyarakat. Pasal ini kerap disebut sebagai "pasal karet" karena adanya multitafsir dan kurangnya batasan yang jelas dalam penerapannya. (Nanda & Hariyanta, 2021). Pasal 28 ayat 2 juga berdampak pada kebebasan berpendapat, terutama karena terdapat perbedaan arti dalam istilah "ujaran kebencian" dan "permusuhan," yang membuat pasal ini rentan terhadap berbagai interpretasi. Pasal ini sering disalahgunakan untuk mempidanakan individu atau kelompok yang mengkritik pemerintah atau institusi tertentu  (Pakpahan, 2021).

Di era demokrasi modern, suara rakyat seharusnya menjadi tonggak utama dalam kebijakan publik. Namun, di Indonesia, kebebasan berpendapat terus diuji melalui regulasi seperti UU ITE yang sering kali digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan berpotensi membatasi ruang bagi individu untuk menyuarakan pendapat mereka. Apakah sebuah kritik yang sehat terhadap pemerintah bisa dianggap ancaman? Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menimbulkan ketakutan yang mendalam bagi mereka yang ingin menyuarakan pendapat.

Marshall & Bottomore (1987) dalam bukunya Citizenship and Social Class berpendapat bahwa kewarganegaraan modern terdiri dari tiga dimensi hak yang harus dijamin oleh negara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Dimensi pertama adalah hak sipil, yang mencakup kebebasan individu seperti kebebasan berpendapat dan berkumpul. Dimensi kedua adalah hak politik, yang meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Dimensi ketiga adalah hak sosial, yang mencakup hak untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi dan jaminan sosial. Namun, dengan adanya UU ITE, kebebasan ini terancam, karena risiko bagi individu yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial dapat berujung pada tuduhan pencemaran nama baik atau penyebaran ujaran kebencian, yang pada akhirnya membatasi ruang bagi kebebasan berpendapat dalam masyarakat.

Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas (2015) menyatakan bahwa ruang publik adalah tempat di mana individu dapat memberikan kritik atau opini terkait masalah sosial, politik, dan budaya tanpa adanya pembatasan. Hal ini sangat penting bagi negara demokrasi karena memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskusi-diskusi publik yang sehat. Media sosial, sebagai salah satu bentuk ruang publik di era modern, seharusnya menjadi wadah bagi kebebasan berpendapat. Namun, UU ITE justru bertentangan dengan prinsip yang dijelaskan oleh Habermas. Alih-alih memperluas ruang publik, UU ITE malah mempersempit ruang untuk berdiskusi dan menghambat partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan demokrasi, karena banyak individu yang merasa takut mengungkapkan pendapat atau kritik karena risiko dijerat hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara formal warga negara Indonesia dijamin hak sipilnya, yang seharusnya memberi mereka kebebasan untuk berdiskusi secara terbuka tanpa rasa takut, kenyataan pemberlakuan UU ITE justru menciptakan ketidaksetaraan dalam akses untuk berpartisipasi dalam ruang publik. UU ITE, yang seharusnya mengatur dengan bijak ruang digital, malah menghambat kebebasan berpendapat, membuat masyarakat merasa terancam dan enggan menyuarakan kritik atau pandangan mereka. Hak sipil yang dilanggar mengurangi peran warga negara dalam proses demokratis, sementara hambatan dalam ruang publik membatasi fungsi diskusi yang sehat.

Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, pemerintah perlu merevisi UU ITE dengan cermat dan hati-hati, agar regulasi tersebut tepat sasaran sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan kebijakan. Revisi ini harus memastikan bahwa hak-hak kewarganegaraan dalam kebebasan berpendapat secara mutlak dapat dilindungi, Selain itu, penting untuk memastikan bahwa media sosial berfungsi secara optimal sebagai ruang publik yang terbuka, tempat masyarakat dapat berdiskusi dan berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi tanpa takut terjerat hukum.

Indonesia, negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak kewarganegaraan dan memiliki hak untuk mendapatkan ruang publik guna diskusi yang bebas berpendapat. UU ITE menjadi penghalang bagi masyarakat serta negara Indonesia menjadi warga serta negara demokrasi yang sempurna. Dengan itu, untuk mempertahankan demokrasi perlu adanya revisi UU ITE yang lebih terstruktur dan lebih transparan lagi. Dengan begitu Indonesia dapat memenuhi hak hak masyarakatnya sebagai warga negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun