Mohon tunggu...
Wita Larosa
Wita Larosa Mohon Tunggu... -

Love nature and natural, I travel and share the love

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Si "Dewasa" dan Mesin Waktu

18 September 2014   06:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:22 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalan mundur kira-kira 20 tahun yang lalu, sudah lama sekali.
hmm..

Saat itu berusia 6 tahun, bocah kecil berperawakan tomboi, haha. Aku.
20 tahun yang lalu, saat itu. Bocah 6 tahun yang hanya tau bermain, bermain, dan bermain. Berkelahi, berantem dan bertengkar. Hanya tau, saat pulang dari TK sudah ada si casper anjing kesayangannya yang diajak bermain. Hanya tau, bermain guli dan bermain gambar-gambaran di lapangan adalah permainan yang paling asik dan sangat sangat membutuhkan banyak waktu untuk itu.
Seorang bocah perempuan kecil yang mempunyai imaji tersendiri dan segudang keinginan sederhana.
Itu Aku.
Perempuan kecil yang suka minta ini, minta itu. Dimana yang disukainya adalah mainan mobil-mobilan. Tidak seperti bocah perempuan lain yang merengkuh berbie di tangannya. Bocah kecil yang dituntut mendapatkan mainan dengan syarat. Bocah yang punya senyum lebar ketika keinginan tercapai dan tangisan yang besar bila diabaikan. Aku.
Berharap dewasa tidak merengkuh si bocah 6 tahun itu.Tapi waktu mematahkan segalanya. Waktu memang kejam. Mendidik penuh dengan libasan-libasan paksa, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus menghadapi berbagai keadaan. Menjadi dewasa.
Aku. Bocah 6 tahun yang dari umur 5 tahun sudah terpisah tidur dari orangtua. ruang tidur sendiri namun masih tetap dengan manjanya yang khas. Dituntut untuk hidup mandiri. Puluhan tahun kemudian, ia dipaksa, lagi-lagi oleh waktu, untuk belajar hidup bersama, hidup berkelompok, berpasang-pasangan.
Dua puluh tahun kemudian, andai saja perempuan kecil itu tau kenyataan yang akan dihadapinya sekejam ini dimana batas antara dosa dan doa sudah memasuki ruang yang tak lagi sinergi. Abu-abu.
Kabur sama seperti foto lawas itu.
20 tahun yang lalu.
Hanya tau, bahwa dongeng - dongeng negeri khayangan, putri-putri dan cinderella itu berasal dari dunia nyata. Hanya tau, aku dikelilingi bocah 6 tahun lainnya yang memiliki kesederhanaan, cerita-cerita yang sama tanpa perlu tau persoalan orang dewasa.
Puluhan tahun kemudian,
hidup tak seindah Kisah dongeng. Kawan tak selamanya menjadi teman. Teman akan menjadi lawan, lawan akan menjadi musuh. musuh dalam selimut itu TEMAN.
Dewasa sudah merengkuhmu. Dan kau sudah didewasakan oleh waktu. Nikmat bukan?
Kecaplah kopi pahitmu bocah cantik, atau tambahkanlah gula cinta ketika kau ingin memaniskannya. Semua itu kau yang memutuskan.
Dua puluh tahun kemudian, bocah perempuan cantik itu belajar tersenyum kepada waktu, Menunggu waktu untuk kembali memaksanya mengerti. Dan kali ini disertai satu harapan, Semoga waktu memaksanya juga untuk belajar kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun