Dua tahun yang lalu, saat liburan semester, saya dan keluarga menikmatinya dengan menghabiskan waktu berjalan-jalan. Saat itu suami sengaja mengambil cuti dari kantornya agar bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak.
Hampir setiap hari anak-anak diajak jalan-jalan. Maklum saja saya tinggal di Bali, yang setiap jengkalnya ada tempat wisata, mulai dari ke pantai, ke pusat perbelanjaan, ke gunung juga ke danau. Sehingga mungkin matanya kena debu, angin atau yang lainnya karena sering berada di luar. Atau cuaca dingin yang sering terjadi di bulan itu.
Setelah habis masa cuti ayahnya, anak-anak kemudian lebih banyak menghabiskan waktu bersama neneknya. Karena masa liburan itu saya juga ditugaskan mengikuti pelatihan.
Ketika pulang dari pelatihan, saya melihat anak saya yang bungsu mata kirinya merah. Saya kemudian bertanya kepada mertua, kenapa mata anak saya merah. Saat itu musimnya permainan spiner. Mertua saya bilang, si adik tidak ada mengeluh apa-apa dan bermain seperti biasa. Saya benar-benar curiga spiner yang dia pakai bermaian berputar mengenai matanya. Karena dia sering memutar spiner dekat-dekat dengan matanya.
Dengan memakai BPJS kemudian saya periksakan anak saya ke RS. Saat itu, anak saya diresepkan obat tetes antibiotik. Alangkah kagetnya kemudian setelah obat diteteskan mata anak saya menjadi bengkak. Sangat bengkak,sampai dia tidak sanggup membuka matanya.
Kembali saya ke dokter menanyakan prihal mata anak saya yang sebelumnya merah kenapa malah membengkak setelah diobati. Karena matanya bengkak dan besar dokter kemudian menyarankan CT Scan. Namun hasil saat itu hanya ditemukan ada sedikit inflamasi di otot mata kirinya.
Saya kemudian sedikit memaksa dokter agar diberi Rujukan ke RS Indra di Denpasar  yang khusus melayani penyakit mata. Disana obat yang diberikan juga masih mirip yaitu tetes mata antibiotik dengan kombinasi dexamethasone.Â
Setiap seminggu kami disarankan untuk kontrol. Namun tetap juga mata anak saya tidak ada perubahan. Setalah membaca komposisi obat, ternyata jika sering dipakai kandungan dalam obat tersebut bisa menimbul glukoma. Saat kontrol ke RS ini kami sudah menemui dua dokter yang berbeda, dokter mata yang biasa menangani katarak dan satu lagi yang biasa menangani anak.
Saya dan suami merasa khawatir, kemudian mencoba alternatif lain untuk menemui dokter di rumah sakit swasta tanpa menggunakan BPJS, saat itu dokter mengatakan mata anak saya mungin infeksinya sudah parah dan harus diberi tetes mata yang mengandung antibiotik yang lebih paten. Namun setelah diperiksa dokter keempat ini, beberapa hari pemakain obat ternyata masih sama hasilnya, belum ada perubahan apa-apa.
Setelah kontrol lagi, dokterpun kemudian menyarankan agar kami menemui rekannya dokter mata khusus menangani alergi dan imunologi di sebuah klinik mata di Denpasar. Tanpa basa-basi kami langsung menelpon tempat praktek dokter tersebut untuk mencari antrean.
Akhirnya kami periksa ke dokter yang kelima, dokter yang kelima ini adalah dokter mata perempuan yang masih muda. Kami benar-benar berharap dia bisa menyembuhkan buah hati kami.