"Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak bumiputra. Mereka, orang Barat yang putih seperti salju asli memandang rendah kepadaku karena aku anak bumiputra atau inlander". Sebuah utas pengalaman pahit yang dialami Bung Karno ketika bersekolah di Europeese Logere School. Diskriminasi sikap anak-anak Belanda yang meremehkan anak pribumi semakin berkembang. Atas pengetahuan sejarah itu lah yang memengaruhi jiwa dan alam pikiran Siti Nurizka untuk sangat peduli terhadap anak-anak. Bagi Rizka, perlakuan diskriminasi terhadap anak-anak itu suatu bentuk penghinaan yang begitu menyakitkan.
Sejak saat itu ia bertekad untuk berjuang membuat suatu perhatian khusus kepada anak-anak yang kemudian menjadi pendorong bagi setiap tindakan politiknya. Tidak mudah baginya untuk berjalan di rel perjuangan. Ia menyadari jalan yang ditempuh sangat terjal. Sosok perempuan yang memiliki jiwa petarung ini harus melewati masa-masa sulit pada awal perjuangan politiknya. Hal ini saya ketahui dari cerita orang-orang yang mengenal Rizka. Bahkan tak segan mereka mengungkapkan Rizka adalah seorang perempuan yang memiliki jiwa laki-laki. Lebih laki-laki dari laki-laki umumnya karena mental petarungnya Rizka.
Tak jauh beda dari kepribadian Rizka yang saya kenal. Ketika pertama mengenal Rizka, saya melihat bahwa perempuan ini "agak lain".
Ketika berargumen dengannya selalu sengit. Nada suaranya tegas ketika berdebat, apalagi menyangkut persoalan prinsip. Ditambah dengan latar belakang hukumnya, ia memiliki sikap yang kritis dan akan selalu mencecar dengan lugas lawan bicaranya. Dia bagaikan singa podium yang sulit dikalahkan.
Rizka memang perempuan. Tapi ia dikenal sebagai perempuan yang garang. Ia kerap melontarkan pertanyaan dan pernyataan pedas ketika tampil dalam kegiatan rapat politik sebagai anggota DPR-RI.
Sikap garangnya itu bukan tanpa alasan. Kemampuan dia membedah persoalan sangat di atas rata-rata.
Itu baru urusan sikap. Soal politik, perempuan yang memiliki mata indah ini juga dikenal sangat keras.
Berkali-kali mengalami kegagalan di politik hingga dia sukses mencapai keberhasilan adalah sebagai bentuk penilaian betapa keras kepalanya dia. Betapa gigihnya dia berjuang di jalan politik untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya perhatian kepada anak-anak. Tak heran ia dicitrakan sebagai wakil rakyat yang idealis dan pro-rakyat.
Namun, sejumlah stigma bahwa Rizka adalah sosok yang keras itu luntur. Dalam satu momen ketika saya sedang bersama Rizka, saya menyaksikan secara langsung dan bersaksi bahwa identitas 'keras' yang melekat pada Rizka seakan sirna. Hilang. Sikapnya sangat kontras jika berhadapan dengan anak-anak. Dia tidak berkutik.