Oleh: Wisnu Wardana
Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Komunikasi pembangunan sebagai suatu disiplin ilmu dan praktik terus berkembang seiring dengan dinamika sosial, politik, dan budaya. Pada awalnya, komunikasi pembangunan lebih banyak dipahami sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menyebarkan informasi dan mengajak masyarakat mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang. Namun, seiring berjalannya waktu, kritik-kritik mulai bermunculan, menuntut adanya perubahan dalam pendekatan komunikasi yang lebih inklusif dan partisipatif.
Kritik terhadap komunikasi pembangunan muncul karena pola komunikasi yang cenderung bersifat top-down, di mana masyarakat hanya menjadi objek yang menerima informasi tanpa diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif. Pada era Orde Baru, komunikasi pembangunan lebih banyak digunakan untuk memperkuat kebijakan pemerintah, dengan media massa yang berfungsi sebagai alat propagandis. Model seperti ini memunculkan ketidakadilan dan ketimpangan informasi yang akhirnya mengekang kebebasan berekspresi.
Setelah era Orde Baru, di tengah reformasi dan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, paradigma komunikasi pembangunan mulai mengalami perubahan. Komunikasi tidak lagi dianggap semata-mata sebagai alat untuk mendukung program pemerintah, melainkan sebagai sebuah proses dialog antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat pun mulai dipandang sebagai subjek yang aktif dalam pembangunan, dengan hak untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam perencanaan serta pelaksanaan program pembangunan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi pendorong utama perubahan dalam perspektif komunikasi pembangunan. Internet dan media sosial membuka ruang bagi masyarakat untuk saling berbagi informasi, memberikan kritik, dan bahkan mengusulkan solusi terhadap berbagai isu pembangunan. TIK telah mengubah komunikasi menjadi lebih dinamis dan memungkinkan terbentuknya jaringan informasi yang lebih luas dan transparan, yang sebelumnya tidak tersedia.
Meski ada harapan baru seiring dengan perkembangan ini, kritik terhadap komunikasi pembangunan dalam konteks teknologi juga mulai berkembang. Banyak yang berpendapat bahwa meskipun teknologi mempercepat penyebaran informasi, kesenjangan digital yang ada, baik itu dalam hal akses maupun literasi teknologi, masih menjadi tantangan besar. Daerah-daerah terpencil yang belum memiliki akses internet, misalnya, cenderung terisolasi dari proses pembangunan dan informasi yang disebarkan.
Selain itu, dengan adanya kebebasan berekspresi melalui platform digital, muncul pula tantangan berupa penyebaran informasi yang tidak akurat, bahkan hoaks, yang dapat menyesatkan masyarakat. Kritik terhadap komunikasi pembangunan ini mencerminkan adanya kesulitan dalam mengelola arus informasi yang begitu besar dan beragam. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlanjutan dan efektivitas komunikasi pembangunan, diperlukan upaya lebih untuk memastikan informasi yang disampaikan benar, jelas, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Harapan besar terhadap komunikasi pembangunan adalah terbentuknya dialog yang lebih adil dan setara antara pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif ini, komunikasi bukan hanya sekadar penyampaian informasi, tetapi juga sebagai alat untuk membangun hubungan yang saling menghargai antara pengambil kebijakan dan warga negara. Pembangunan harus dimulai dengan memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat, serta memberi ruang bagi mereka untuk berkontribusi dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan.
Untuk mencapainya, pendidikan literasi media menjadi kunci yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat perlu dilatih untuk lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta memahami implikasi dari setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di sinilah peran media massa dan lembaga komunikasi yang independen menjadi sangat penting. Media harus berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan pengambil kebijakan, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pihak tertentu.