Penulis: Wisnu Wardana
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga mesin ekonomi yang menggerakkan konsumsi. Di balik keasyikan menggulir layar, algoritma bekerja untuk mendorong pembentukan kebutuhan baru, banyak di antaranya adalah kebutuhan palsu. Dengan meminjam perspektif teori kritis Herbert Marcuse, kita dapat melihat bagaimana iklan di media sosial tidak hanya mempromosikan produk, tetapi juga membentuk kebutuhan artifisial yang menguntungkan kapitalisme sekaligus mengaburkan kebebasan sejati individu.
Menurut laporan Datareportal tahun 2024, pengguna media sosial global telah melampaui 5 miliar orang, dengan rata-rata waktu penggunaan harian mencapai lebih dari 2 jam. Di Indonesia, angka ini lebih tinggi, mencapai 3 jam per hari. Iklan di media sosial tidak hanya menargetkan konsumen berdasarkan demografi, tetapi juga memanfaatkan data pribadi untuk menyesuaikan promosi dengan preferensi individu. Misalnya, algoritma Instagram dan TikTok secara terus-menerus mengumpulkan data perilaku pengguna untuk menyajikan iklan yang relevan, sehingga mendorong konsumsi impulsif dan menciptakan ketergantungan pada platform tersebut (We Are Social & Hootsuite, 2024).
Iklan dan Manipulasi Kebutuhan
Dalam perspektif Marcuse, sistem kapitalis menciptakan false needs atau kebutuhan palsu untuk mempertahankan dominasi ekonomi (Marcuse, 1964). Iklan di media sosial dirancang untuk membuat individu merasa bahwa mereka memerlukan produk tertentu agar dapat diterima secara sosial atau merasa puas. Kebutuhan palsu ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan identitas pribadi dapat diperoleh melalui konsumsi barang dan jasa.
Salah satu strategi utama adalah menciptakan rasa kurang atau ketidakcukupan. Sebagai contoh, kampanye produk kecantikan sering menggambarkan narasi "kekurangan" pada kulit atau penampilan, dan menawarkan solusi instan melalui produk tertentu. Penelitian oleh Global Web Index tahun 2024 menunjukkan bahwa 42% pengguna media sosial membeli produk karena merasa "terinspirasi" oleh konten yang mereka lihat di platform tersebut. Dalam pandangan Marcuse, ini adalah bentuk manipulasi kebutuhan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus membatasi kebebasan individu untuk berpikir kritis (Marcuse, 1964).
Statistik terbaru dari Statista menunjukkan bahwa pengeluaran global untuk iklan digital pada tahun 2023 mencapai $626 miliar, dengan mayoritas anggaran dialokasikan ke platform media sosial (Statista, 2024). Strategi seperti influencer marketing semakin memperkuat mekanisme ini, karena influencer dianggap lebih autentik dan relatable dibandingkan iklan tradisional (Influencer Marketing Hub, 2024).
Algoritma dan Budaya Konsumsi
Marcuse mengkritik bagaimana teknologi sering digunakan untuk memperkuat dominasi kapitalisme (Marcuse, 1964). Di media sosial, algoritma bukan hanya alat teknis, tetapi juga agen ideologis yang memengaruhi pola pikir pengguna. Algoritma menonjolkan konten yang mendorong konsumsi, baik melalui iklan langsung maupun konten organik bersponsor.