Mohon tunggu...
Wisnu Pambudi
Wisnu Pambudi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an average joe lives in the value of curiosity

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Fiksi Kopi: Bertemu dengan Teman Lama

28 Juni 2015   15:37 Diperbarui: 28 Juni 2015   15:57 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Perkenalkan namaku Ringga. Nama keluarga tak perlulah aku sebutkan. Aku baru saja bertemu teman lamaku di coffee shopnya yg terkenal itu. Aku ingin bercerita sedikit tentangnya.

Namanya flat-white. Dia adalah teman lamaku ketika aku sering berkutat dengan skripsi tentang pengaruh kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja karyawan di perusahaan telekomunikasi terkemuka di Jakarta. Cukup rumit ya variablenya, tapi bukan itu yg ingin ku bahas. Flat white adalah sebuah komposisi antara espresso, aku lebih suka ketika dia menggunakan double shot, steam milk dan foam yg datar. 

Dulu dua hingga tiga kali per hari aku bertemu dengannya tanpa bosan.  Dia cukup atraktif sehingga membuatku tanpa kantuk mengerjakan skripsi dengan variabel sulit tersebut. Sekarang setelah hampir tiga tahun tak jumpa, dia terkenal menjadi ikon di surga tersembunyi bagi penikmat kopi ibu kota.

Surga itu bernama Gayatri.

Terletak memang agak disembunyikan dan hanya buka beberapa hari dalam seminggu. Cukup eksotis untuk membuatnya menjadi surga tersembunyi yg menimbulkan rasa penasaran, bukan? Aku mengunjungi teman lamaku ini, si flat white, pada hari Rabu. Rabu adalah hari pertama dalam seminggu dimana coffee shop ini membuka surganya.

Aku tak sabar bertemu dengannya yang mana aku dengar dia telah menjadi ikon disana. Singkat cerita aku kesana dan bertemu dengannya. Dengan cukup anggun aku tanyakan kepada kasir untuk bertemu dengan teman lamaku si flat white itu. Sang kasir tersenyum dan berkata selamat datang di Gayatri lalu dia pergi untuk memanggil temanku itu.

Aku menengadah.

Terpampang namanya di tempat tertinggi papan menu. Namanya cukup indah diukir oleh kapur warna warni dengan tipografi luar biasa indah yang biasa aku lihat di Instagram. Aku cukup bangga padanya karena aku tak menyangka namanya bisa diukir seindah itu dan dia bisa seterkenal itu.

Tak berapa lama aku menunggu, ia datang dengan bau khasnya dan penuh senyum bahagia.

Aku juga tersenyum padanya.

Lantas aku duduk dan menyeruput untuk pertama kali. Dia tersenyum simpul dan mulai menanyakan kabarku. Aku bilang cukup baik. Aku berterima kasih kepadanya karena berkat dirinya pulalah skripsiku yang tiga tahun lalu itu selesai. Aku juga katakan padanya bahwa ada kredit terimakasih untuknya di skripsiku tersebut.

Dia kembali tersenyum bahagia.

Aku bertanya bagaimana kabarnya dan juga teman-temannya yang kini bersama dengannya menjadi malaikat di surga tersembunyi ini.

Flat white berkata bahwa dia merasa bahagia aku kembali menemui dirinya. Sebenarnya ini adalah sebuah kejutan karena dia tidak mengetahuinya lebih dulu jikalau aku ingin datang ketempatnya. Mungkin karena itu dia gembira.

 Selebihnya awal perbincangan  kami adalah perbincangan penuh nostalgia. Tak perlulah aku ceritakan semua perjuangan menulis skripsiku itu.

Dia menanyakan dimana aku bekerja sekarang dan apakah masih sebagai peminum kopi berat. Aku bilang bahwa aku sudah amat jarang bertemu dengan kopi semanjak lulus kuliah. Tanpa alasan yang jelas aku memutuskan untuk pindah menjadi  peminum teh.

Dia hanya tersenyum ketika aku mengungkapkannya.

Aku bertanya mengenai dia dan teman temannya. Dia memulai ceritanya dari bagaimana dia bisa menjadi ikon di coffee shop ini.

Namanya dilambungkan menjadi pusat perhatian para penikmat kopi ketika banyak ulasan mengenai coffeeshop ini dan dirinya di Internet. Hampir lebih dari 256.425 ulasan baik mengenai coffee shop ini katanya. Dia suka bermetafora juga rupanya aku rasa. 

Aku bertanya mengenai teman kerjanya, yang mana namanya cukup familiar bagiku, sebut saja americano, caffe latte, cappucinno dan beberapa nama kawakan lainnya. Dia cukup bahagia dengan rekan kerjanya saat ini. Aku bertanya mengenai apakah dia lebih bahagia saat ini dengan mereka atau  menemaniku  mengerjakan skripsi, dia menjawab sambil tertawa. Tentu kebahagiaan yang berbeda katanya.

Teman kerja yang paling pertama ia  bicarakan adalah cappucinno yang mana berkomposisi sepertiga espresso, sepertiga steam milk dan sepertiga foam milk. Cappucinno adalah kawan yang ramah. Tidak bisa dipungkiri bahwa dia adalah kawan yang mampu menyeimbangkan antara kapan kerja dan harus berleha-leha katanya. Itu bisa dilihat dari komposisinya yang seimbang jawabku.

Kemudian  ia mulai berbicara tentang americano. Sejauh pemikiranku americano adalah kopi yang cukup serius dan sedikit kaku. Ia bilang bahwa itu ada benarnya tapi sifat yang paling menonjol dari americano adalah ketenangan dan kesungguhannya dalam bekerja. Americano leluconnya dalam dan satir yang mana kadang tidak kami, ia dan kawan kerjanya, pahami katanya sambil tertawa lepas.

Aku bertanya bagaimana dengan kawannya yang berada di list kedua menu dengan ukiran kata indah itu. Kawannya yang beberapa konsumen anggap sebagai saudara dari dirinya yaitu:  caffe latte.  Ia tertawa dan mengingatkan jangan sekalipun menganggap ia bersaudara dengan caffee latte karena mereka berbeda.

Secara komposisi tidak jauh berbeda memang namun dia tidak ingin dianggap bersaudara karena sifat caffee latte yang kadang membuat ia cukup kesal. Caffee latte adalah kawan kerja yang sering bimbang. Sulit menentukan pilihan dan sering termenung mengenai kinerjanya. Padahal jika mereka sedang berbicara penjualan, caffee latte adalah  salah satu kopi yang banyak dipesan, lantas mengapa mesti terlalu memikirkan kinerja, keluhnya. Mungkin dia temasuk kopi yang cemas kataku. Dia hanya menghela mendengarnya.

Dia berkata bahwa ada kalanya, tidak selalu tentu saja, kopi yang kita pesan merefleksikan diri kita. Aku hanya mengangguk  saja karena ada satu pertanyaan lagi yang terlintas untuk  aku ajukan padanya.

 Aku bertanya mengenai dirinya tentang sifat yang ada padanya. Dia hanya menjawab sederhana.

“Ya memang seperti apa kamu mengenal dirimu?” jawabnya dengan bertanya.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun