Mohon tunggu...
Wisnu Nugroho
Wisnu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis -

mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krikilan

19 November 2010   10:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:28 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1290161280907607455

berkali-kali pertanyaan itu mengemuka. berkali-kali pula jawaban sama saya terima dari para tetua. namun, jawaban yang semula membuat saya mengerutkan dahi menjadi sahih ketika saya mengalaminya sendiri. abu vulkanik masih beterbangan di dusun krikilan yang sepi karena ditinggal lebih dari separuh penghuninya. jumat 5 november tengah malam, tidur malam kami sekeluarga dikejutkan. bukan lantaran gemuruh petir yang sesekali menyambar. bukan pula lantaran gemuruh perut merapi yang tidak pernah berhenti. tidur kami sekeluarga dikejutkan dengan suara seperti hujan lebat. ya, suara seperti hujan lebat. namun, saat kami terjaga dan menengok ke halaman, tidak air yang ditumpahkan. suara seperti hujan lebat itu justru menambah abu vulkanik yang sebelumnya menutupi halaman makin berhamburan seperti ketakutan. sambil memeluk dan menggendong byakta yang terjaga karena takut, saya tengok halaman depan. hujan pasir dan sejumlah di antaranya kerikil yang membuat suara seperti hujan lebat. gemuruh petir, gemuruh perut merapi, dan suara seperti hujan lebat bertambah dengan gemuruh suara kendaraan. sejumlah warga dusun krikilan yang masih tersisa dan bertahan di rumah pergi jumat dini hari. sejumlah dari mereka lari ke pengungsian. sejumlah lagi mencari tempat perlindungan yang lebih aman. menjauh dari merapi yang sedang berbagi menjadi pilihan. jalan-jalan padat kendaraan yang dibawa keluarga-keluarga dalam kepanikan. dalam kalut dan gelap, warga berhamburan mencari tempat perlindungan yang lebih aman. dalam beragam suara gemuruh yang bercampur itu, kami sekeluarga  berkumpul di ruang tengah dengan beragam pertanyaan. demam tinggi yang mendera membatasi saya panik belebihan di tengah banyaknya pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban. energi yang tidak banyak tersisa membuat saya dan akhirnya kami sekeluarga pasrah dan lebih rela berserah. di tengah gemuruh suara petir, gemuruh suara perut merapi, gemuruh hujan pasir dan kerikil, dan gemuruh suara kendaraan di jalan-jalan, kami memilih tetap tenang. dalam tenang, gemuruh suara petir, gemuruh suara perut merapi, gemuruh hujan pasir dan kerikil, dan gemuruh suara kendaraan di jalan-jalan justru makin tidak mengkhawatirkan. bermacam suara gemuruh itu sebenarnya tidak berkurang. namun, karena kami mendengarnya dengan tenang, bukan ketakutan berlebihan yang datang. syukur untuk tenang yang menjadi pilihan. menjelang pagi, suara gemuruh itu berkurang. pertama-tama suara gemuruh kendaraan menghilang. berikutnya suara gemuruh petir. berikutnya lagi suara gemuruh karena hujan pasir dan kerikil. terakhir suara gemuruh dari perut merapi. di pagi hari saat kami terjaga, abu vulkanik merapi yang sebelumnya menutup halaman, kini tetutup pasir dan sejumlah kerikil. atap rumah seluruh dusun juga tertimbun pasir dan kerikil. saat melongok ke luar rumah, dusun krikilan sepi karena ditinggal pergi yang sebelumnya bertahan meninggali. jejak langkah kaki dan kendaraan yang pergi meninggalkan dusun masih membekas di jalan-jalan. sejumlah gang ditutup portal atau tanaman agar tidak sembarang orang leluasa masuk ke dalam. setelah mengumpulkan tenaga karena demam tinggi tidak juga mereda, saya memutuskan untuk meninggalkan dusun krikilan. setelah berkemas, saya peluk kiandra dan byakta yang masih balita. dihujani pertanyaan dua balita saya yang tidak bisa saja jelaskan, saya bawa mereka ke dalam kendaraan yang warnanya tidak karuan. isteri saya berkemas membawa sejumlah barang yang diperlukan. menjauhi merapi untuk beberapa saat kami rasakan sebagai pilihan tepat. kami mengungsi. beruntung kami, karena tidak harus tinggal di pengungsian seperti warga kebanyakan yang tidak punya pilihan. masih ada kerabat yang bersedia menampung kami di kota yogyakarta yang jaraknya sekitar 30 km dari puncak merapi. kami titipkan kiandra dan byakta di pengungsian. diantar isteri yang tiba-tiba berani membawa kendaraan, saya pergi ke rumah sakit. demam tinggi yang tidak mereda meskipun sudah seminggu membuat saya harus diopname. isteri saya merelakan. jarum yang dihubungkan dengan selang menusuk pergelangan tangan. di tengah puncak letusan merapi yang membuat banyak nyawa hilang, saya terkapar. malu sebenarnya dengan teman-teman yang tangguh di lapangan. apalagi dari kejauhan saya mendengar pak beye datang berkantor di yogyakarta agar dekat dengan rakyatnya yang sedang menderita. kabar berkantornya pak beye di yogyakarta, tepatnya di istana gedung agung saya dapat dari  televisi. namun, detil kegiatannya justru saya dapatkan dari isteri. di pengungsian kami di pakualaman yang jalannya terhubung langsung dengan istana gedung agung, banyak sekali patroli polisi. dari patroli polisi itu, isteri saya mengetahui berbagai agenda pak beye. aganda itu disampaikan saat patroli polisi meminta kendaraan yang diparkir isteri saya di tepi jalan dipindahkan. tidak hanya kendaraan yang harus dipindahkan untuk membuat lengangnya jalan. tenda untuk menerima tamu karena ada tetangga yang meninggal pun harus dirobohkan. menurut patroli polisi, jalanan harus bersih tanpa penghalang saat iring-iringain kendaraan pak beye dan tim horenya melintas. di pembaringan, saya mendengar cerita itu sambil tersenyum. baik sekali kerja polisi. pak beye yang ingin dekat dengan rakyatnya yang sedang sengsara pasti tidak menghendaki perlakuan seperti ini. tidak lama pak beye berkantor di istana gedung agung. kehadiran obama harus disambut dengan persiapan prima di istana. karena itu, setelah dua hari berupaya dekat dengan rakyat yang menderita dengan menggelar berbagai rapat di istana yang berpagar dan tertutup rapat, pak beye kembali ke jakarta. pasti kerena kebetulan, saat pak beye kembali ke jakarta, badan saya terasa enak dan dokter yang bertanggung jawab untuk kesehatan saya memberi ijin untuk meninggalkan rumah sakit. senang rasanya. apalagi mendapati kabar, merapi yang sebelumnya sangat tinggi aktivitasnya, kini mulai mereda. krikilan menjadi tujuan saya dan keluarga yang menjemput di rumah sakit. [caption id="attachment_73711" align="alignright" width="300" caption="pak beye dan kerabatnya. buku #3 tetralogi sisi lain sby. (2010.pbk)"][/caption] setelah beberapa jam tiba di krikilan yang masih berdebu dan seperti dusun tak berpenghuni, mobil tiki berhenti di depan rumah. paket dari penerbit buku kompas saya terima. senang bertambah untuk saya. buku berwarna hijau dengan judul "pak beye dan kerabatnya" saya buka. kesenangan saya bertambah lagi karena ternyata ada bonus di dalamnya. sejumlah halaman oleh penerbit buku kompas dicetak berwarna. sambil menikmati isi buku, saya dan isteri membersihkan rumah dari abu vulkanik merapi. saya naik atap rumah untuk mengambil pasir dan kerikil yang menghalangi lobang-lobang di talang. empat ember pasir saya turunkan sebagai berkah merapi yang hendak berbagi. meskipun aktivitas merapi tidak berkurang dan status awas tetap diberlakukan, kami sekeluarga tidak lagi mengungsi. sambil waspada dan memerhatikan batas bahaya, kami mencoba memahami bahwa merapi sedang berbagi. karena merapi kami hayati sedang berbagi, kami yang hendak menerimanya tidak pergi. kami baru pergi jika kemampuan kami menerima kebaikan hati merapi tidak lagi tidak menyanggupi. seperti merapi yang hendak berbagi, begitu juga empat buku yang diterbitkan penerbit buku kompas dalam "tetralogi sisi lain sby". sejak awal, tidak ada niat selain berbagi dalam berbagai tulisan tidak penting tentang pak beye dan istananya. bahwa kemudian tulisan itu dibukukan dan dijual, kang pepih lah yang punya ide. saya sendiri, tidak berubah karena tetap hanya ingin berbagi. karena hanya berbagi, anda yang tidak suka tidak perlu sungkan menolaknya. lagi pula, apa yang saya bagi hanya hal-hal tidak penting saja. sambil menolaknya, anda toh bisa berujar dengan ringannya: masih banyak hal penting yang harus diurusi. salam tidak penting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun