Mohon tunggu...
Wisnu Nugroho
Wisnu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis -

mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Iwan

27 Januari 2010   17:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

unjuk rasa besar-besaran katanya akan dilakukan di jakarta dan sejumlah kota pada 28 januari. meskipun menghormati niat suci unjuk rasa besar-besaran itu, saya yakin, massa yang akan ikut serta tidak sebanyak seperti yang digembar-gemborkan. tidak hanya sekali. setiap unjuk rasa yang digembar-gemborkan dari sisi jumlah peserta, justru tidak banyak diminati. bukannya simpati, antipati justru yang kerap didapati. meskipun demikian, jangan pernah berkecil hati. teruslah berujuk rasa dengan niat suci. perubahan yang diwacanakan memang tidak bisa serta-merta datang. butuh proses. karena proses itu, saya heran juga dengan kebiasaan pak beye meninggalkan istana kepresiden, jakarta ketika mendengar rencana rakyatnya menggelar unjuk rasa. bukan saat menghadapi rencana unjuk rasa 28 januari ini saja pak beye pergi. saat unjuk rasa sebelumnya, 9 desember 2009, pak beye juga tidak ada di istana. istana yang megah tempat rakyat menempatkan pemimpinnya ditinggalkan kosong. suwung. sepanjang lima tahun pertama pemerintahannya, kebiasaan pak beye meninggalkan istana membuat saya bertanya-tanya. untuk setiap unjuk rasa memperingati hari buruh pada 1 mei misalnya, pak beye tidak pernah ada di istana. padahal, buruh itu menurut saya hendak mengadu pada pemimpinnya, bukan kepada dingin dengan bekunya tembok-tembok istana. meskipun pak beye kerap mengeluh tentang banyaknya unjuk rasa di depan istana yang ditinggalinya, menurut saya, sah-sah saja jika rakyat yang dipimpinnya mengadu apa saja kepadanya. bukankah itu tanda masih dipercaya? karenanya, cukup aneh di mata saya ketika pak beye merasa terganggu dengan teriakan para pengunjuk rasa di depan istana merdeka. terganggunya pak beye kemudian terterjemahkan seminggu kemudian. penggunaan pelantang saat ujuk rasa di depan istana dilarang. soal unjuk rasa, kita lihat saja bagaimana jumlah massanya dan apakah niat suci mereka didengar pihak istana. untuk kali ini, saya lebih tertarik berbagi tentang kerap perginya pak beye dari istana. berbeda dengan kebanyakan dari kita, perginya kepala negara dan kepala pemerintahan seperti pak beye merepotkan. karena enggan kerepotan ini yang mungkin menginspirasi pembelian pesawat kepresidenan. dengan pesawat kepresidenan yang dapat menampung penumpang ratusan, kerepotan pasti jadi berkurang. untuk urusan kerepotan itu, salah satunya dialami pak iwan. saya pernah tanya nama lengkapnya. namun, karena tugas yang melekat padanya lebih menjadi ciri, pak iwan selalu saya dan kami panggil sebagai pak iwan podium. podium itu mengacu pada tugasnya. ke mana pun pak beye pergi di seluruh pelosok tanah air, podium berlambang garuda harus selalu dibawanya. tidak sendiri memang pak iwan, tetapi pak iwan-lah yang selalu diandalkan pak beye. berat tugas pak iwan karena harus juga memastikan ujaran pak beye sampai ke pendengarnya. karena itu saya, saya merasakan bagaimana repotnya pak iwan saat pak beye kerap ke luar kota. repotnya pak iwan dibanding tim hore yang datang bersama pak beye bisa berlipat-lipat. selain tidak bisa minta perlakuan khusus, pak iwan juga harus membawa podium yang hanya bisa dibawa minimal oleh dua orang karena ukuran dan beratnya. meskipun berat dan merepotkan, untuk tugasnya yang harus keluar masuk pedalaman seperti kerap dilakukan pak beye, pak iwan tidak pernah mengeluh. apalagi bilang-bilang kalau diancam dibunuh. semua dijalankannya dengan gembira. setiap bertemu saya, pak iwan juga senang bercanda. tidak pernah keluhan keluar dari mulutnya. kami justru sering tertawa-tawa meskipun sama-sama terjepit duduk di mobil kijang berisi sembilan orang menuju kawasan pedalaman kalimantan. meskipun tidak pernah mengeluarkan keluhan, saya yakin, kerapnya pak beye meninggalkan istana membuat pak iwan yang kurus kering tubuhnya kelelahan. karena itu, saya hanya bisa berharap agar pak beye tidak kerap pergi meninggalkan istana. mereka yang datang ke istana dengan berujuk rasa adalah rakyat indonesia juga. untuk para pengemplang dana bantuan likuiditas bank indonesia saja istana terbuka, kenapa untuk rakyat yang menanggung beban karena ulah para penggemplang justru membuang muka? kasihan pak iwan dan juga rakyat kebanyakan seperti juga dirinya yang ingin mengadu ke pemimpinnya tapi diterima dingin dan bekunya tembok istana. salam suwung. [caption id="attachment_62676" align="alignnone" width="500" caption="pak iwan dan seorang teman menggotong-gotong podium garuda untuk pak beye. kemana pun pak beye pergi, podium garuda harus selalu ada. pak iwan dan teman-teman adalah pengusungnya. (2008.wisnunugroho)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun