Isak tangis memecah suasana pagi itu, ketika peti mati mulai diangkat dan dimasukan kedalam mobil ambulan. Ini adalah hari keempat setelah kematiannya, tapi kesedihan itu masih sangat dirasakan keluarganya. Sirene ambulan mulai memekik. Mendesirkan kesedihan setiap orang yang mendengarnya. Usia 86 tahun adalah rentang waktu yang dianggap cukup panjang bagi kehidupan manusia jaman sekarang. Tapi bagi keluarganya tetaplah sulit menerima setiap kehilangan anggota keluarga. Empat hari lamanya peti mati itu teronggok di depan rumah tetanggaku, di semayamkan dalam tradisi tionghoa yang kental. Peti mati kayu berukir, yang konon harganya cukup mahal, ini adalah sebagai bentuk penghormatan anak-anak kepada orang tuanya. Enam orang anaknya adalah keluarga-keluarga sukses yang rasanya pantas saja jika membeli peti mati yang mahal. Harum hio berbaur dengan semerbak bunga-bunga disekitar peti mati. Foto almarhum, dupa untuk wadah hio, di letakan di depan peti mati. Pelayat datang silih berganti, mendoakan almarhum, mengangkat hio diatas kepala,mengucapkan doa-doa kemudian meletakan hio dalam wadah. Buah-buahan , kue-kue basah dan aneka macam roti bermerk mahal disajikan diatas meja-meja besar di depan rumah yang dinaungi sebuah tenda besar. Peralatan untuk mengiringi pamakaman pun disiapkan berupa rumah-rumahan berukuran besar, mobil-mobilan,Televisi,kulkas,handphone,dvd player, uang dan 2 orang pembantu, laki-laki dan perempuan,yang kesemuanya terbuat dari kertas dan kayu. Perlengkapan ini dibuat dengan detail yang rapi dan menyerupai aslinya. Semua perlengkapan ini di percaya akan dapat dipergunakan oleh orang yang sudah mati di dunianya. Mereka mengharapkan orantua mereka tidak hidup susah di alam kubur sana. Tiga buah bis ukuran besar di siapkan untuk mengantar kepergian kami,belum lagi deretan mobil-mobil pribadi yang berjejer di sepanjang jalan. Jam 9 pagi, di iringi sirine pengawalan polisi, rombongan kami pun segera berangkat menuju krematotium Cilincing. Hampir semua tetanggaku ikut serta, tinggal di lingkungan Pecinan membuat aku dan beberapa keluarga muslim lainnya menjadi terbiasa dengan tradisi-tradisi cina di daerah ini, meskipun aku tidak terlalu mengerti maksud dan tujuan dari ritual-ritual tersebut. Dua jam kemudian suara Ambulan perlahan mulai terdiam, rombongan besar kami masuk ke kompleks Krematorium di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Sebuah tempat parkir yang sangat luas, gersang dan menyiratkan kesunyian, dan keangkeran menyambut kami. Tungku-tungku oven, dan kayu bakar, berjejer, aroma hio, bunga dan bau daging terbakar menyiratkan rasa takut dalam hati. Deretan tempat peyimpanan abu jenazah tampak berjejer rapi. Desir angin dan debur ombak teluk Jakarta menambah kesan mistis di tempat ini. Oven dan kayu bakar adalah dua pilihan yang ditawarkan untuk mengkremasi jenasah. Di sisi lain kulihat seorang wanita muda berwajah cantik sedang dikremasi dengan tungku kayu bakar, usianya baru 23 tahun, kulihat dari foto dan tulisan di depan tungku. Bergidik aku melihatnya, suara gemeretak tubuhnya yang meregang sesaat sebelum kemudian api mulai membakar tubuhnya, menjerit keluarga nya dalam kesedihan yang amat dalam, tak kuat aku melihatnya dan segera berlalu pergi. Kini tiba giliran tetanggaku, petinya mulai dimasukan kedalam Oven listrik, seperti pemanggang roti. Tak lama lampu berwarna merah menyala, panas tinggi segera menghancurkan peti mati dan seluruh isinya. Menyisakan abu dan isak tangis dari anak dan cucunya. Kurang lebih 3 jam kemudian abu dikumpulkan, sisa-sisa tulang yang tidak terbakar kemudian dihancurkan dengan palu. Tinggalah kini seonggok abu halus. Sesuai dengan permintaan almarhum, abu jenasah kemudian di buang kelaut diiringi dengan doa-doa. Sejenak aku termenung, ingat akan obrolan-obrolan yang sering aku lakukan bersamanya. Di usianya yang sudah tua, dia sebenarnya adalah lelaki kesepian yang merindukan kehadiran anak dan cucu nya. Sepeninggal isterinya 5 tahun lalu, kesepiannya kian menjadi-jadi. Mengobrol sambil sarapan pagi atau makan siang di rumah makan milik orang tua ku adalah salah satu kebiasaan nya untuk membunuh sepi. Dulunya dia adalah orang yang cukup sukses, bisnis angkutan yang digelutinya membawa kelimpahan materi buat dia dan anak-anaknya. Namun kini setelah bisnis itu di pegang dan dikendalikan oleh anak-anaknya, dia merasa tersingkir dalam kesepian. Anak-anaknya tinggal di beberapa kota, ada yang di Jakarta, Surabaya, Batam dan Medan. Tak satupun dari mereka yang datang menjenguknya. Paling setahun sekali di kala Imlek, satu atau dua anaknya datang, itupun hanya beberapa jam saja, setelah itu merekapun pergi lagi persis seperti tamu-tamu yang biasa datang menyambanginya. Hari itu,di kamis pagi, pembantu yang mengurusi rumahnya datang memberitahu kami semua,kabar kematiannya. Dia pergi dalam kesepian, terjatuh di kamar mandi tanpa seorangpun tahu, sampai keesokan paginya. Kalau saja ada yang tahu sejak awal, mungkin nyawanya masih bisa tertolong. Kini di tengah Teluk Jakarta ini, abu jenazahnya di semayamkan dalam riuh rendahnya desiran ombak dan burung camar. Dia yang pergi membawa sepi hanya ingin hidup tenang, tidak membebani anak-anaknya dengan segala ritual-ritual keagamaan. Aku ingat ketika itu ia dengan bibir bergetar mengungkapkan kekesalan kepada anak-anaknya yang tak kunjung datang." Ketika aku masih hidup saja,tak seorangpun datang menjenguk, apalagi kalau aku sudah mati, siapa nanti yang akan mengurus abu jenasahku, mendoakanku ketika Ce it, Cap Go, Imlek,Cap Go Meh ataupun Sembahyang kubur (maybong). Maka sesuai pesannya dia pun memilih untuk di kremasi dan abunya di buang kelaut supaya tidak ada lagi hal yang menghubungkan dirinya dengan anak-anaknya, demikian pemikirannya ketika itu. Kini Ditengah segala kemewahan dan kemegahan prosesi penguburan ini, aku hanya tertegun, Orang tua itu tidak perlu semua kemewahan ini karena yang dia butuhkan sebenarnya hanya kasih sayang anak-anak dan cucunya, tidak lebih dari itu. Maka bahagiakan lah dia selagi masih hidup, jangan kau manjakan ketika dia sudah mati tapi kau sia-siakan dikala masih hidup. Catatan : Ce It : Sembahyang diawal bulan cina Cap go : Sembahyang di pertengahan bulan cina Imlek : Tahun baru cina Cap go meh : hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek Maybong : ziarah kubur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H