Gambang kromong mungkin tak asing lagi buat masyarakat Betawi tempo dulu. Kesenian khas Betawi yang merupakan perpaduan antara budaya lokal dan cina ini pernah mencapai kejayaannya pada era 70-80-an. Kelompok-kelompok kesenian ini muncul di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya. Keberadaannya biasanya bersama lenong Betawi. Nama-nama seperti Benyamin S, Ida royani, Bokir, Nasir, Anen, Pok Nori, Mandra dan lain lain, pernah meramaikan dunia hiburan di Tanah Air.
[caption id="attachment_155518" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: celebrity.okezone.com"][/caption]
Seiring dengan kemajuan jaman, kesenian-kesenian daerah pun akhirnya mati suri. Demikian pula dengan kesenian Betawi. Order untuk pentas semakin hari-semakin sepi. Orang lebih suka menanggap organ tunggal dan orkes melayu karena lebih disukai oleh masyarakat. Gambang kromong, lenong, cokek, rasanya kurang cocok dengan selera anak muda jaman sekarang. Gambang kromong dan lenong Betawi hanya tampil sesekali saja di acara-acara tertentu. Salah satunya adalah acara-acara yang diadakan oleh kelenteng kelenteng yang ada di sekitar Jakarta.
Sejarah Gambang Kromong
Gambang kromong adalah hasil inkulturasi budaya Betawi dan budaya China. Konon kehadiran kesenian ini tak lepas dari peran pemimpin komunitas China di Batavia kala itu, Nie Hoe Kong. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Imhoff 1743-1750 ini kesenian gambang kromong terus berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya pada era 70-an.
Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek, yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu dan sebagainya (Wikipedia.com)
Kekhasan lain dari kesenian ini adalah lirik-liriknya yang jenaka dan nyeleneh. Sering pula dinyayikan secara bergantian antara pria dan wanita. Benyamin. S dan Ida Royani merupakan pesangan penyanyi yang sangat digandrungi masyarakat ketika itu. Salah satunya seperti lagu berjudul Hujan Gerimis berikut ini,
Eh ujan gerimis aje
ikan teri di asinin
eh jangan menangis aje
yang pergi jangan di pikirin
Eh ujan gerimis aje
Ikan lele ada kumisnye
Eh jangan menangis aje
Kalo boleh cari gantinye
Kejayaan Gambang kromong memang hanya cerita masa lalu. Saat ini banyak grup kesenian ini yang akhirnya gulung tikar. Salah satu yang bertahan adalah Gup gambang kromong pimpinan Mpok Nori. Grup bernama NORAY ini masih rutin mendapatkan order untuk khitanan, nikahan dan acara-acara di kelenteng.
Sejak pemerintahan Gus Dur, kesenian dan budaya China kembali berkibar. Acara-acara kesenian pun rutin di laksanakan di kelenteng-kelenteng. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat keturunan China tapi juga oleh kelompok-kelompok kesenian seperti grupnya Mpok Nori ini. Sejak tiga tahun belakangan ini, Mpok Nori dan kelompoknya rutin mengisi acara hiburan di kelenteng Hok Tek Bio Cibinong. Tahun ini pun rencananya Mpok Nori akan kembali tampil di acara Cap Go Meh.
Mpok Nori adalah salah satu seniman betawi yang masih eksis hingga saat ini di dunia hiburan Tanah Air. Wajahnya masih sering tampil di acara-acar lawakan di TV. Di luar itu nenek yang satu ini juga masih rajin mengisi acara-acara off air di pinggiran Jakarta. Untuk menyiasati agar gambang kromong masih tetap bisa diterima masyarakat, alat-alat music modern pun akhirnya digunakan. Di sela-sela acara gambang kromong, dan lenong selalu ada organ tunggal dengan lagu-lagu dangdut dan pop. Dengan cara ini mereka berharap masih bisa bertahan.
Kelenteng dengan segala fungsinya, baik sebagai pusat keagamaan maupun sosial, secara tidak langsung telah memberikan andil bagi kelestarian kesenian-kesenian daerah di sekitarnya. Setidaknya itu yang bisa aku saksikan di kelenteng yang ada dekat rumahku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H