Mohon tunggu...
Wisnu Mustafa
Wisnu Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

pencari cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(KCV) Pelangi

14 Februari 2012   03:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329190240178952824

By: Wisnu Mustafa & Yulia Rahmawati

No.103

Awan hitam masih menggelayut, walau rintik hujan sudah pergi. Kabut itu perlahan-lahan berlalu, menampakkan rumput hijau dan pohon-pohon rindang dari balik jendela kamarku. “Aku pergi dulu ya Mas, kalau ada perlu apa-apa, di belakang ada mbok Minah,” teriak Pelangi, isteriku dari ambang pintu.

Belum sempat aku menjawab teriakannya, terdengar pintu depan tertutup. Taklamasuaramobilmulaimenderumenjauhdarihalamanrumahku. Wangi parfumnyamasihtertinggal diterpaangin.Hatikubergetar, betapaakusangatmerindukanpelukandanbelaiannya.Duatahunsudahkulaluiharidalamkesunyian, kegelapan, dankelumpuhan.

“Pelangi...” gumamku dalam rindu. Walau kita berada dalam satu atap, rinduku padamu terhalang raga yang tanpa daksa. Proses penyembuhanku ini benar-benar telah menyiksaku lahir dan batin.

Pelangi.... Terbayang dalam rindu ini padamu, ketika aku mulai merasakan sakit kepala yang berkepanjangan. Belum lagi penglihatan dan pendengaranku mulai memudar, kau setia mendampingiku.

Kau menyarankanku untuk periksa ke dokter, tapi aku mengabaikannya karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Ya, saat itu, dua tahunlaluakuadalah the best marketer di perusahaanku. Posisi itu kuraih selama tiga tahunberturut-turut. Tentunya, itu tidak lepas dari prestasi dan kegigihanku dalam bekerja. Posisi yang sangat aku banggakan. Betapa tidak, uang yang melimpah, kedudukan dan fasiltas yang sangat mumpuni, seakan semua keberuntungan tercurahkan dari langit kepadaku. Semua begitu mudah kuraih. Karir yang cemerlang, kekayaan, isteri yang cantik dan seorang anak yang manis. Sempurna, semua itu dambaan hidup yang selalu dicari oleh kebanyakan orang.

Sampai suatu saat, kepalaku terasa sangat sakit, berdenyut-denyut. Awalnya aku mengabaikannya, cukup hanya dengan obat dari apotek saja. Namun, belakangan sakit kepala itu semakin sering terjadi. Sampai suat saat vonis itu benar-benar meluluhlantakan semua semangat hidupku.

Kankerotakandasudahdalam stadium lanjutpak, kerusakannyaakanmenyebabkangangguanpada organ-organ lainnya,” suaradokterbagaikangodambesar yang dihantamkankekepalaku.

Hari-hariselanjutnyamulailahbabakbarupenderitaanku. Walau aku langsung ditangani dokter spesialis, sakit kepalaku masih sering terasa. Pandangankupun mulai tak jelas, sebelum akhirnya hanya berupa bayang-bayang seperti siluet. Kedua kakiku pun akhirnya tidak dapat menyangga tubuhku. Lemas seperti tak bertenaga.

Sebuah keadaan yang bagiku merupakan hal yang lebih buruk dari kematian itu sendiri. Pernah terpikir untuk bunuh diri, namun aku tidak berani. Dini, anakku yang baru berumur 5 tahun menyadarkanku, betapa ada tanggung jawab besar yang harus kupenuhi. Di usiaku yang belum genap 40 tahun, jiwaku sekarat dalam tubuh yang sebenarnya sudah kuaggap mati.

Atas rujukan dokter, aku pun dioperasi ke luar negeri. Uang yang berlimpah tiba-tiba terkuras oleh biaya pengobatan. Perusahaan pun akhirnya terpaksa memberhentikanku. Pensiun dini, sebuah istilah yang terdengar sangat menyakitkan.

Uang pesangon yang diberikan perusahaan memang cukup besar. Namun itu juga akhirnya habis untuk biaya pengobatanku.Hanya rumah ini yang tersisa dari harta kita, inilah salah satu hal yang sangat kusesalkan dalam hidup. Tak berdaya dan terpakksa aku mengizinkanmu bekerja untuk kebutuhan kita. Namun seiring dengan karirmu yang terus menanjak, kurasakan kau semakin berbeda. Sikapmu semakin dingin, kemesraanmu tidak kurasakan lagi. “Aku rindu semua kasih mu Pelangi”……

“Pelangi, rupamu semakin hari semakin indah tapi sayang kau tak dapat kuraih,” perlahan aku mengguman. Hanya sapaanmu yang masih terngiang di telingaku. Datar dan terkesan dipaksakan, tapi selalu aku kenang. Wajahmu menyeruak dalam bayangan mataku. Namun, aku harus membebaskanmu, aku dan anak kita dari semua ini.

Kini, aku sudah mulai bisa bergerak walau hanya dengan kursi roda. Tetapi dokter menyemangatiku bahwa aku pasti bisa berjalan seperti semula bila aku rajin terapi. Bila tidak sedang terapi, Dinilah yang menjadi temanku bermain dan bercengkrama sepulang dia sekolah.

***

Bentangan gunung salak tampak samar tertutup awan tebal. Sisa-sisa rintik hujan yang turun subuh tadi masih terasa. Mentari yang berusaha keras keluar dari jebakan awan bersinar dengan malu-malu menghangatkan pagi. Cahayanya dipantulkan sisa air di udara menampilkan pelangi yang sangat indah di angkasa.

Pagi ini aku menatap keindahan alam Gunung Salak di teras rumah. Menunggumu keluar, sebelum kau pergi meninggalkanku.

Suara ketukan sepatu high heels mulai terdengar, menyadarkanku akan kehadiranmu. “Mas, kok ada di luar? Dingin kan?” Sapa Pelangi.

“Iya, aku sengaja menunggumu,” jawabku tersenyum.

“Oh... ada apa Mas?” kata Pelangi sambi melirik jam tangan, “Pagi ini aku ada meeting, kalau ada yang mau diomongin...”

“Iya,” potongku cepat. “Aku... aku hanya ingin menyapamu, sudah lama kita tidak ngobrol,” kataku.

“Mas, ngobrolnya lain waktu aja gimana?” kata Pelangi.

“Pelangi...!” aku terdiam, tapi aku harus mengatakannya.

“Iya...” jawab Pelangi dengan tak sabar.

“Bila kamu merasa terbebani sama sakitnya Mas, Mas akan membebaskanmu, Pelangi,”

“Maksud Mas?” Pelangi terduduk. Wajahnya tampak sangat terkejut.

“Ya, aku membebaskanmu untuk memilih bersamaku atau melanjutkan hidupmu sendiri. Aku tak tahan kau abaikan Pelangi. Aku mengerti bahwa kamu sangat sibuk, dan semua itu untuk biaya penyembuhanku dan memenuhi kebutuhan keluarga kita. Tapi, aku tak mau jadi bebanmu. Aku paham, bukan hanya kebutuhan lahir yang tidak bisa kupenuhi, tapi kebutuhan batin juga,” kataku pelan.

“Mas...”, mata Pelangi mulai berkaca-kaca

“Sebenarnya aku tak ingin melepaskanmu Pelangi. Kaulah pelangi hati dalam hidupku. Tapi, aku tak ingin membuatmu terkungkung dalam diriku yang tak berguna ini.”

“Tidak Mas...” Pelangi menatapku tak percaya. “Aku masih setia padamu. Dan aku tidak akan pergi darimu. Akad pernikahan kita adalah janji kita pada Tuhan. Aku tidak akan mengkhianatinya.”

“Tapi Pelangi...”

“Mas, aku minta maaf bila semenjak bekerja aku seperti mengabaikanmu,” Pelangi tertunduk. “Aku sadar dan malu bertemu Mas, karena aku mengabaikan dan tidak menjagamu. Tapi, aku juga harus bertemu banyak klien, yang kuanggap itu jalan rejeki kita.Akhirnya aku malah mengabaikanmu dan Dini,lupa akan tujuan aku bekerja. Maafkan aku Mas...”, Pelangi sudah tidak dapat membendung linangan air mata yang membasahi pipinya.

“Aku sudah memaafkanmu Pelangi... hanya saja aku tak ingin membebanimu... Bila kau ingin pergi, pergilah. Asalkan kau bahagia, aku akan sangat bahagia.”

“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu,mas. Aku akan berusaha untuk seimbang antara pekerjaan dan menjaga mas serta Dini. Aku sudah bahagia berada di sisi mas dan Dini.”

“Kita akan selalu bersama, sampai maut memisahkan kita mas, itu janjiku”sans-serif“Oh Pelangi... alangkah bahagianya aku mempunyai istri sepertimu,” lirihku dalam genggaman tangan Pelangi.

“Mama... Papa... lihat ada pelangi...!” teriak Dini, putri kami, sambil menunjuk ke arah pegunungan. “Indah ya...”

Nb : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju CintaFiksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun