Mohon tunggu...
Wisnu Mustafa
Wisnu Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

pencari cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Antara Aku, Ibu, dan KPK

22 Desember 2013   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Benarkah semua tuduhan itu nak?’

“Jawab dengan jujur pertanyaan ibu!” Sorot mata tuanya tak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan sedihnya. Aku tak sanggup menatap matanya, yang menyorot tajam, menghujam kedalam sanubariku. Lututku gemetar, muka ku merah menahan malu.

“maa ..ma …maafkan aku bu, aku khilaf.

“Aku menyesal,…..aku menyesal,.seruku lirih, aku merunduk dan bersujud dikakinya., menangis sesugukan seperti layaknya anak kecil.

Hilang sudah kegagahan dan kharisma yang selama ini kuperontontonkan. Kepalaku tertunduk, air mata menetes deras. Menghadapi penyidik KPK aku bisa dengan lugas menyangkal semua tuduhan. Menyampaikan berbagai macam argumen cerdas yang sangat memukau. Di layar kaca, semua pemirsa terpana, aku menjurkirbalikan semua tuduhan dengan bantahan yang meyakinkan dan sangat mengena. Tapi di depan Ibu, semua kepandaianku berorasi, berargumen, berdebat seperti selama ini dipuji oleh banyak orang, tidak berguna sama sekali. Kata-kata tegurannya halus namun sangat tajam, manakala aku berbuat salah.

“Semua orang bisa saja kau bohongi dengan segala macam cerita mu itu, tapi tidak bagi Ibu”!.

“ Aku mengenal mu, seperti aku mengenal seluruh jiwa dan ragaku”

“apakah kamu ingat, kebohongan-kebohongan kecil yang dulu selalu kau buat? Ibu selalu tahu kan?

“ibu hafal semua gerak tubuhmu ketika kamu berbohong, alis kamu selalu terangkat ketika kamu berdusta!

Aku tertunduk semakin dalam. “a ak ..akumemang bersalah bu”! sahutku parau

“aku memang melakukan korupsi, aku khilaf,….aku khilaf…..maafkan aku bu!”

“Hehmmm, Ibu selalu mengajarimu kejujuran, kesederhanaan, keadilan, tanggung jawab dan kerja keras”

Apakah kamu ingat itu nak?

Aku termenung, Kilas-kilas balik kehidupannya bermunculan layaknya slide-slide film yang diputar berulang-ulang.

*********

“kita sarapan dulu yuk!, Ditangannya sudah ada 5 bungkus nasi tutug hangat. Harum daun pisang, oncom dan irisan cabai rawit, menyeruak ketika bungkusan nasi itu dibuka. Sedikit pedas dan asin, rasa yang begitu nikmat kala itu.

Sebuah keluarga sederhana dengan 4 anak yang harus dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat perkasa. Ibu sekaligus bapak bagi anak-anaknya. Telur dan daging adalah makanan mewah buat kami, belum tentu satu bulan sekali ada menu tersebut dirumah kami. Kalaupun ada, ibu akan membaginya dengan adil kepada kami berempat. Seperti ketika ibu membagi sebutir telur asin menjadi empat bagian yang sama rata, demikian juga dengan sepotong daging yang dibelinya diwarung. Ibutidak pernah makan lauk- pauk mewah itu bersama kami. Katanya ibu tidak suka dengan makanan seperti itu, sebuahkebohongan ibu yang akhirnya aku tahu. Ibu tidak ingin jatah buat kami semakin berkurang jika ibu ikut makan.

“Tak usah meratapi kemiskinan, kita tetap bahagia kan meski pun kita bukan orang berpunya”. Kata Ibu sambil meniup nasi tutug yang masih mengepulkan asap.

“kita harus bersyukur, Allah masih memberi kita kesempatan menikmati nasi terenak ini”, kami pun tertawa mendengar celoteh ibu.

“Ibu jauh lebih bangga melihat kamu menjadi orang biasa tapi jujur dibandingkan jadi pejabat tapi selalu membohongi rakyat, seperti lurah kita itu”.

“Memangnya kenapa dengan pak Lurah Bu?

“ ya..itu, hidup bermewah-mewah sementara, rakyat nya hidup melarat! Sahut ibu dengan ketus.

“Tapi jadi orang kayak ngak salah kan bu?

“ya ngak salah nak, malah kamu memang harus jadi orang kaya, tapi dengan cara yang benar! Kalau jadi pejabat ngak usah macam-macam, kalau memang uang untuk rakyat, ya jangan kamu korupsi, ingat itu nak”!

Aku tersenyum lebar, aku berjanji bu………!!

********

Aku melangkahkan kaki dengan mantap, masuk kedalam gedung KPK. Ibu dengan setia mendampingiku. Kehadiran ibu menumbuhkan berjuta keberanian dalam diri, aku akan mengakui semua kesalahan dan bersedia mempertanggungjawabkan semuanya.

Ibu menatapku, “mengakui kesalahan dan bersedia bertanggung jawab adalah keberanian yang luar biasa, ibu bangga padamu nak!”.

“Terima kasih bu, aku jauh lebih takut kepada ibu daripada penyidik KPK bu”,Jawabku sambil tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun