Mohon tunggu...
Wisnu Mustafa
Wisnu Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

pencari cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya

19 Maret 2012   09:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:48 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada malam itu aku meluncur dari tubuh seorang lelaki. Menyembur seperti curahan hujan yang jatuh dari langit. Bagai seorang pelari marathon, aku berlari menelusuri lorong-lorong basah dan hangat, bersaing dengan jutaan peserta lain. Aku melesat mendahului mereka semua demimemeluk sebuah ovum matang seorang wanita. Dari setitik kemudian tubuhku berkembang sedemikianrupa sampai Sang Khalik meniupkan roh kedalam ragaku.

Ketika aku sudah mulai hidup, dapat kurasakan kecemasan dan ketakutan pada hati wanita muda ini. Aku bisa merasakan degup jantung dan kegelisahan hatinya. Beda sekali ketika bulan-bulan sebelumnya. Kasih sayang diantara mereka begitu membuncah. Seperti tak ada lagi tempat untuk orang lain di dunia ini. Tubuh mereka sepertidua kutub magnit yang selalu menarik satu sama lain. Tubuh-tubuh hangat dan basah yang selalu menyiramiku.

Aku mencoba bertanya pada hati. Apakah aku ada karena cinta atau karena bujukan nafsu? tapi dia diam seribu bahasa

Plasenta satu-satunya sahabatku diruangan ini berkata, “sulit membedakan antara cinta dan nafsu, karena penyatuan fisik tidak berarti penyatuan hati”.

“Inilah ironi kehadiran kita di rahim seorang wanita. Kita bisa disambut dengan penuh sukacita tapi kita juga bisa disambut dengan tangisan duka”, lanjutnya lagi.

“aku hamil mas, wanita itu berkata dengan wajah sumringah dan disambut oleh sang lelaki dengan jutaan kebahagiaan.

Atau bisa juga

“aku hamil mas, wanita itu berkata sambil tertunduk dan menangis, dan si lelaki akan melotot karena marah dan bingung.

“hmm…….”, aku menarik nafas. Itulah nasib kita, plasenta dan janin.Kita tidak pernah tau akan jatuh di rahim wanita seperti apa. Seperti yang kualami saat ini. Aku jatuh dalam rahim seorang wanita muda yang masih berstatus pelajar.,Sedangkan lelakinya sudah beristri. Aku bisa merasakan bahaya yang mengintai setiap saat dalam fase-fase perkembanganku.

Ketika cairan-cairan jamu, nanas muda dan segala macamracun tak mampu membunuhku.

Aku mencium rencana jahat mereka yang lain. Lelaki itu membisikan suatu kata, dan wanitamuda ini hanya tertunduk sambil menangis.Belum sempat aku menaksir apa rencana mereka, bencana itu sudah datang.

Aku tak tau apa kesalahanku, ketika tiba-tiba saja tang yang tajam itu memotong-motong tubuhku.Tang itu masuk kedalam kamarku yanghangat dan nyaman. Mengoyak plasentasahabatku, memotong tanganku, kaki, perut dan bagian apa saja yang bisa diraihnya. Potongan-potongan tubuhku yang sudah kecil-kecilitu kemudian dipaksa keluar. Di kumpulkan dalam kresek hitam persis seperti sampah pasar.

Kini aku hanyalah seonggok daging tak berarti. Dilemparkan dalam kubangan kotoran.Berkumpul bersama segala macam najis. Kematianku tidak berarti apa-apa. Meskipun aku mahluk yang telah bernyawa.Tidak ada upacara penguburan, doa-doa, kain putih apalagi bunga.

Dalam gelapnya septic tank ini aku bisa mendengar tangisanratusan janin yang benasib sama denganku. Entah apa yang ada dipikiran manusia-manusia durjana ini. Siapa yang akan kupersalahkan. Wanita muda yang harusnya kupanggil ibu, lelaki mata keranjang yang tak jadi kupanggil bapak atau dokter yang harusnya memelihara kehidupan tapi malah membunuhku.

Dalam kesunyian yang teramat dalam, ditempat kotor ini,

“Aku mohon kepadamu ya Allah sang pemberi kehidupan, jika nanti aku kembali lagi kedunia, jatuhkanlah aku dalam rahim seorang wanita yang sholehah. Seorang wanita yang memang berniat menjadi ibu bagiku. Masukan aku kedalam benih-benih manusia yang beriman, yang memang berniat melanjutkan keturunan. Mereka yang telah diikat oleh tali pernikahan. Bukan pada manusia-manusia penikmat nafsu sesaat.”

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun