Kota, sebuah wilayah yang tingkat kepadatannya tinggi dilengkapi fasilitas yang memadahi. Sejak 1970-an pembangunan perkotaan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Pertumbuhan kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, dan Makassar memikat pendatang untuk mencari peruntungan mengadu nasib untuk menjadi mapan keadaan ekonominya. Namun, tidak semua pendatang memiliki kemampuan memadai untuk mencari pekerjaan di kota. Sehingga memicu pemikiran untuk mendapatkan uang dengan melakukan tindak kriminal.
Tindak Kriminal sendiri dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan yang melanggar hukum. Di Indonesia sendiri tindakan kriminal selalu mengalami peningkatan terutama di kota-kota besar, tindak kriminalitas dilakukan baik oleh orang dewasa maupun kalangan remaja, baik pria maupun wanita. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar karena dorongan-dorongan paksaan, obsesi bahkan desakan pemenuhan kebutuhan hidup. Akan tetapi tindak kejahatan bisa juga dilakukan secara tidak sadar karena reflek naluri. Tingginya angka kejahatan di sebuah wilayah dan jenis kejahatan yang terjadi di suatu kelompok masyarakat merupakan sejumlah fenomena yang berkembang di masyarakat. Selain tindakan kriminal, terdapat beberapa cara yang tak halal untuk mendapatkan uang yakni dengan praktek prostitusi.
Prostitusi merupakan fenomena sosial yang selau ada dan berkembang di setiap masa. Keberadaan prostitusi tidak pernah selesai untuk dibahas. Meskipun demikian, dunia prostitusi setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang salah satu sisi gelap dalam kehidupan manusia. Prostitusi tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan prostitusi. Prostitusi merupakan kegiatan seksual yang dilakukan dengan tanpa pasangan sah dan sering bergonta-ganti psangan. Prostitusi dipandang  sebagai sebuah penyakit masyarakat oleh khalayak umum.
Awal sejarah prostitusi di Indonesia bisa dilihat saat penjajahan kolonial Belanda. Belum ada isilah wanita tuna susila (WTS), pelacur, pekerja seks komersial (PSK) atau pun wanita peghibur pada kala itu. Di masa kolonial Belanda, wanita penjaja seks disebut "wanita publik". Wanita publik tidak hanya berasal dari orang pribumi, tapi juga berasal dari wanita Eropa, Jepang maupun Cina. Pada abad XVII, praktek prostitusi tidak hanya beroprasi di Pulau Jawa, tetapi juga berkembang di kota-kota pulau Sumatra, yakni Palembang, Jambi, Padang, Tanjung Balai dan Tanjung Pinang. Maraknya prostitusi Wanita publik berperasi di rumah-rumah bordil di pusat kota, losmen serta toko-toko kecil. Pada masa kolonial prostitusi berpusat di pelabuhan-pelabuhan besar serta di kota Garnisun.
Dalam  perkembangannya  prostitusi berkembang pesat saat itu bahkan sampai detik ini. Hal ini terjadi karena seksualitas menjadi sebuah kebutuhan biologis manusia. Selain itu kemiskinan pula yang membuat para wanita tuna susila terpaksa melakukan prostitusi, sedangkan saat itu para tentara Belanda yang jauh dari rumah dan jauh dari istri terpaksa menggunakan jasa wanita tuna susila ini sebagai pelampiasan biologisnya, sehingga kebudayaan ini sulit dihilangkan bahkan oleh pemerintah, akhirnya dilegalkan.
Penyebab munculnya prostitusi sebagian besar karena faktor ekonomi. Para wanita susila terdesak kebutuhan ekonomi karena minimya lapangan pekerjaan. Banyak  wanita yang terjun dalam pelacuran karena juga dilatar belakangi oleh banyak faktor. Faktor yang menjadi pendorong wanita menjadi wanita tuna susila berasal dari faktor individu yang terdiri dari berbagai macam penyebab mulai dari aspek ekonomi yang telah dijabarkan, psikologi,  dan  ketidaktahuan,  serta  faktor  sosial  yang  merupakan  pengaruh  dari lingkungan  fisik  dan  lingkungan  alam  seorang  wanita.
Prostitusi merupakan  salah  satu  fenomena  sosial  dalam  masyarakat  yang  sangat kompleks,  baik  dari  segi  sebab-sebabnya,  prosesnya  maupun  implikasi  soasial  yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Di sisi lain pelacuran  yang  berkembang  pesat  di  kota  menjelaskan  tentang  keadaan  kota  yang  penuh dengan  hiburan  yang  bagi  kaum  profesional  dipandang  sebagai  sebuah  paket pelayanan yang diberikan kepada rekan bisnis.
Daftar Pustaka
Ashykin, S. (2019). PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN LOKALISASI DOLLY WILAYAH PUTAT JAYA PASCA PENUTUPAN 2014. Dalam SAVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarahvol. 7 no. 1.
Dimas, M. G. (2020). PROSTITUSI DI SURABAYA PADA AKHIR ABAD KE-19. Â Dalam Sejarah dan Budaya vol. 4 no. 1.
Melanton, T. S. (2020). Pelayanan Dalam Konteks Masyarakat Perkotaan. Dalam Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia. Vol. 1, no. 1.