Mohon tunggu...
a.wisnubroto
a.wisnubroto Mohon Tunggu... Administrasi - tukang masak di RM Supertelur Taliroso

tukang masak yang hobi berkebun, olah raga, bepergian dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arti Merdeka untuk Manusia Batu dari Kulon Progo

5 Agustus 2019   05:45 Diperbarui: 5 Agustus 2019   05:47 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUPERTELUR, 5/8/2019. Kisah perjalanan ini pernah saya tulis beberapa kali di website resmi Pemkab Kulon Progo maupun dibeberapa akun media sosial saya. Tak tahu kenapa ini salah satu perjalanan paling berkesan saya selama ini. Berikut kisahnya

Pernahkah Anda membayangkan hidup sendirian di dalam hutan? Memiliki rumah sederhana, mencukupi kebutuhan sehari-hari dari alam sekitar, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar? Sesekali mungkin pernah menginginkan hidup seperti itu, namun untuk waktu yang lama, mampukah? Berikut ini kisah manusia batu di jaman milenial yang penulis temukan di sebuah hutan dekat dengan tempat wisata alam Bukit Watu Kodok Pedukuhan Geden Desa Sidorejo Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo. Meski tempat wisata, tidak setiap hari ada yang mengunjungi tempat ini, sesekali ramai saat ada event acara otomotif saja, setahun sekali mungkin.

dokpri
dokpri
Pemilik rumah batu tersebut bernama Mbah Yatiman (70), warga sekitar memanggilnya dengan sebutan Mbah Timan. Lebih dari tiga puluh tahun Mbah Timan tinggal di sebuah rumah di tengah hutan, dinding rumah terbuat dari tumpukan batu kapur dan beratapkan terpal. Luas bangunan tidak lebih dari 10 meter persegi tidak berjendela, akses masuk dan keluar satu-satunya melalui pintu depan yang hanya ditutup dengan kain dan beberapa bilah bambu. Meski terbuat dari batu, rumah tersebut kelihatan kokoh. halaman rumah terlihat bersih pertanda Mbah Timan senantiasa mejaga kebersihan halaman tersebut.

Rumah batu Mbah Timan berada di bawah rerindangan pohon-pohon besar, seperti asem jawa (tamarindus indica) , trembesi (samanea saman), kleresede (grilicidia sepium) dan berbagai jenis tanaman hutan lainnya. Berada disekitar rumah batu tersebut berasa nyaman karena teduh, asri dihembus semilir angin perbukitan Watu Kodok. Lokasi rumah batu berada kurang lebih 200 s/d 300 meter dari pemukiman penduduk, belum ada penerangan listrik, satu-satunya alat penerangan di malam hari rumah batu tersebut adalah ting semacam lampu minyak tanah. Berada 300 meter dari pemukiman rasanya sangat jauh sekali, karena akses jalan menuju tempat Mbah Timan merupakan jalan setapak, menanjak dan berbatu.

Mbah Timan hidup sebatang kara, saudara-saudaranya tinggal di tempat yang jauh. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia bercocok tanam ala kadarnya di sekitar rumahn, berharap belas kasihan dari warga dan sesekali mendapatkan bantuan dari pengunjung Watu Kodok. Tidak terlihat kesedihan pada wajah Mbah Timan, kelihatan ia menikmati kehidupannya atau mungkin ia sudah kehilangan rasa sedih.  Mbah Timan layak untuk medapatkan penghidupan lebih baik di negeri ini, karena ia adalah warga Negara Indonesia, lahir, besar, tumbuh dan menua di negara ini juga.

Bantuan Pemerintah belum ada yang menyetuhnya secara regular, ia hanya mendapatkan bantuan ala kadarnya secara temporer saja atau kadang kala. Kepastian bahwa kehidupannya di Negara Indonesia terjamin belum ada sampai saat ini. Kondisi rumah memang terlihat kokoh, namun atap, sanitasi dan syarat untuk disebut sehat belum tgerpenuhi. Atap yang terbuat dari terpal sudah banyak yang bocor, sungai jadi tempat Mbah Timan untuk bersih diri dan membuang hajatnya, pintu sejak dibuat masih sama seperti itu. Di usianya yang senja mestinya ia tinggal menikmati masa tuanya itu, namun Mbah Timan masih berjuang sendirian untuk bisa sekedar tetap hidup.

dokpri
dokpri
Pernah saya tanyakan tentang bantuan untuk Mbah Timan kepada pemerintah terkait, namun pemerintahpun kesulitan untuk memasukan Mbah Timan pada daftar warga yang mendapatkan bantuan karena Mbah Timan tak punya data kependudukan yang resmi sebagai salah satu syarat mendapat bantuan. 

Sebentar lagi Bangsa Indonesaia akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-74. Gegap gempita menyambut pesta ulang HUT Kemerdekaan sudah dirasakan seluruh penjuru tanah air. Bagaimana dengan Mbah Timan? Semoga kemerdekaan juga dirasakan oleh orang-orang yang memiliki nasib sama seperti Mbah Timan. (AWB)

Referensi:

ditulis kembali dari : Kisah Manusia Batu dari Kulon Progo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun