Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Selamanya Penggusuran Pedagang dengan Kekerasan

30 Januari 2015   21:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14226023011035770711

[caption id="attachment_394053" align="aligncenter" width="480" caption="Pedagang dibadan Jln Pahlawan Kota Bagan Siapi Api digusur/fhoto Waj"][/caption]

Tidak selamanya dalam melakukan penggusuran terhadap pedagang harus dengan melakukan praktek kekerasan. Tapi ada kalanya di lakukan dengan sistim pendekatan yang persuasive dan musyawarah. Terkadang ada juga teori dalam melakukan penggusuran para pedagang dengan perakteknya yang tidak masuk diakal, namun berhasil dalam pelaksanaannya, ketika hal yang tidak masuk akal itu di peraktekkan dilapangan.

Dimanapun dalam hal melakukan penggusuran pedagang, baik itu pedagang kaki lima, maupun pedagang sayur mayor, ikan dan Sembilan bahan pokok yang di gelar oleh para pedagang di badan jalan, sering di lakukan oleh petugas  Keamanan dan Ketertiban  (Kantib) yang di tugaskan untuk menertibkan para pedagang sering di lakukan dengan kekerasan. Karena terkadang para pedagang sering membuat kesal para petugas. Hari ini di gusur, besoknya para pedagang kembali menggelar dagangannya di tempat yang telah di larang.

Bentrokan fisik antara pedagang dengan petugas Kantib pun terkadang tidak bias di untuk elakkan. Para pedagang merasa bahwa mereka mempunyai hak untuk berdagang di mana sajapun di negeri ini demi untuk memenuhi nafkah bagi keluarganya, karena mereka juga adalah anak negeri, bangsa Indonesia.

Sedangkan pemerintah, juga punya hak untuk melarang para pedagang menggelar dagangannya di sembarang tempat. Misalnya di badan jalan. Karena dapat mengganggu kelancaran lalu lintas, jorok dan tidak enak di pandang mata, demi untuk kenyamana pengguna jalan dan masyarakat sekitar, maka pemerintah daerahpun melarang para pedagang berjualan di badan jalan, terlebih daerah pemukiman warga yang rumahnya berada di sisi badan jalan. Warga ini jelas merasa tidak nyaman dan terusik rasa kenyamanannya, mereka tidak bias keluar masuk rumahnya dengan  leluasa, karena para pedagang menggelar dagangannya di pintu masuk rumahnya.

Oleh karena itu pemerintah membangunkan pasar untuk para pedagang bertransaksi, pemerintah daerahpun membangunkan fasilitasnya. Mulai dari membangun jalan pendukung keakses pasar, kemudian membangunkan kios dan los sesuai dengan peruntukannya. Pedagang ikan di tempatkan pada tempatnya, begitu juga terhadap para pedagang sayur mayur, pedagang sembila bahan pokok (sembako) juga di tata dengan afik dan rapi. Kebersihan pasarpun di pelihara dengan menempatkan petugas dari Dinas kebersihan.

Pendek kata, pasar bersih, dan tertata rapi, membuat para pembeli merasa nyaman dan aman untuk berlama lama berbelanja di pasar. Hal ini di lakukan oleh pemerintah daerah, karena bagi pemerintah daerah pedagang adalah asset daerah yang memberikan pemasukan  income kedalam kas Pendapatan Asli daerah (PAD) melalui restrebusi dan pajak yang di kutip dari para pedagang setiap harinya. Sebagai asset daerah maka para pedagang perlu untuk di lestarikan, serta di beri perhatian penuh, agar para pedagang itu merasa aman dan nyaman dalam melakukan transaksi terhadap dagangannya.

Akan tetapi kebaikan dan perhatian yang di berikan oleh pemerintah daerah itu, sering di salah gunakan oleh para pedagang. Pedagang tetap saja membandel dan tidak mau untuk diatur oleh pemerintah daerah. Peraturan yang di terapkan oleh pemerintah mereka anggap sebagai angin lalu, bak kata pribahasa “ Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu “.

Namanya Juga Pedagang :

Bukanlah pedagang namanya jika tidak pandai membuat ulah. Memang pada kenyataannya pedagang, terlebih pedagang kaki lima memang sulit untuk diatur. Entah apa sebabnya para pedagang lebih suka menggelar dagangannya di badan jalan, dan di tempat tempat tertentu yang sudah di larang oleh pemerintah daerah. Ketimbang dari pada menggelar dagangannya di pasar yang telah di sediakan oleh pemerintah daerah, lengkap dengan sarana dan prasarananya.

Dan yang anehnya lagi para pedagang lebih suka berdagang dengan cara kucing kucingan dengan para petugas kantib, dari pada duduk manis berdagang di tempat yang telah di sediakan. Sementara  bagi para pembeli, lebih suka yang ringkas ringkas. Jika pasar yang dibangun oleh pemerintah daerah berada jauh dari inti kota, pembeli lebih suka mencari pedagang yang berada di kota, pada hal rumahnya berdekatan dengan pasar yang di bangun oleh pemerintah daerah. Sekalipun dagangan yang di jual oleh pedagang di kota itu tidak lengkap. Dan inilah salah satu yang membuat para pedagang menjadi mangkak alias besar kepala.

Disamping itu ada pula petugas Kantib yang bermain mata dengan para pedagang, dengan melakukan pengutipan restrebusi dan pajak secara ileghal, sehingga para pedagangpun merasa bahwa mereka di leghalkan untuk tetap berdagang di tempat yang terlarang. Sekalipun mereka tetap main kucing kucingan dengan petugas Kantib yang benar benar melaksanakan tugasnya untuk menertipkan para pedagang.

Hati kitapun terkadang merasa terenyuh jika melihat petugas kantib melakukan penertiban dan penggusuran dengan melakukan tindakan kekarasan. Akan tetapi jika kita telusuri sebab dan akibat kenapa para pedagang itu di gusur kemudian dengan cara kekerasan pula, kitapun turut mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dan menyalahkan para pedagang yang membandel dan sok jagoan.Pemerintah daerah tidak akan melakukan penganiayaan terhadap para pedagang, karena para pedagang adalah manusia dan sebangsa dengan nya, dan diayomi oleh pemerintah daerah.

Pendekatan :

Teringat  penggusuran pedagang dengan tindak kekerasan. Ternyata tidak selamanya penggusuran para pedagang itu di lakukan oleh pemerintah daerah  dengan  menggunakan praktek tindak kekerasan. Seperti yang di lakukan oleh Pemerintah kabupaten (Pemkab) Rokan Hilir Bagan Siapi Api Provinsi Riau dalam melakukan penggusuran terhadap para pedagang, lebih mengedepankan pendekatan yang persuasive dan musyawarah.

Penggusaran yang di lakukan oleh pihak Pemkab Rohil, bukan asa gusur, akan tetapi Pemkab Rohil telah bertahun tahun untuk menghimabau para pedagang yang menggelar dagangannya di badan jalan Pahlawan, Jalan pahlawan satria Tangko dan Jalan Sotong, untuk pindah ke pasar yang telah dibangunkan oleh pihak pemkab Rohil untuk para pedagang. Tapi nyananya para pedagang tetap membandel dan Tidak mau pindah ketempat yang telah di sediakan.

Pemkab Rokan Hilir membangun empat pasar di kota Bagan Siapai Api, yakni pasar Datuk Rubiah di jalan Sumatera Laut, pasar pelita di jalan Perniagaan, Pasar Bintang di jalan bintang, dan pasar Bagan Hulu di jalan Perwira. Keempat pasar yang di bangun oleh pihak Pemkab Rohil berada di lingkaran inti kota Bagan Siapi Api. Dan di lengkapi dengan sarana dan frasarana, mulai dari tangga berjalan (eskulator) DI Pasar pelita yang bertingkat dan di Pasar bagan Hulu. Namun para pedagang tetap memilih menggelar dagangannya di badan jalan tersebut.

Dan pada akhirnya Pemkab Rohil melakukan pendekatan dan musawarah dengan para pedagang untuk mengosongkan jalan Pahlawan, Pahlawan Satria Tangko dan jalan sotong. Para pedagang di ultimatum harus pindah ke pasar pasar yang telah dibangun untuk para pedaganag. Dengan tempo lima belas hari.

Sambil menunggu batas selama lima belas hari, pihak Pemkab Rokan Hilir melalui Dinas Kebersihan melakukan penimbunan sampah di sepanjang jalan dimana para pedagang itu menggelar dagangannya. Hal itu di lakukan oleh petugas Dinas Kebersihan pada tengah malam dimana para pedagang sudah menutup dagangannya.

Bayangkan selama lima belas hari seluruh sampah yang ada di kota Bagan Siapi Api di timbun pada sepanjang jalan tempat para pedagang menggelar dagangannya. Sampah sampah itu di serak sepanjang jalan. Pendek kata jalan Pahlawan, jalan Pahlawan satria Tangko dan jalan Sotong di jadikan sebagai  Tempat pembuangan Sampah Akhir (TPA) selama lima belas hari. Dan di lakukan pada setiap tengah malam. Akhirnya para pdagang itu dengan senirinya mengalah, karena tidak tahan mencium aroma busuk yang di timbulkan oleh sampah sampah yang di serak di jalan. Persis seperti terjadinya tsunami. Dari segala jenis sampah berserakan di sepanjang jalan itu. Maka para pedagang itupun akhirnya pindah ketempat yang di sediakan.

Pada hal 90 % pedagang yang berjualan di badan jalan itu adalah penduduk Sumatera Utara yang mandah ke Bagan Siapi Api untuk mencari nafkah. Kita tahu. Maaf jika kita katakan  pedagang asal Sumatera Utara adalah pedagang yang paling “Gingging” (keras kepala ) di Indonesia, dan sulit untuk diatur.

Dengan cara ini pihak pemkab Rokan Hilir berhasil melakukan penggusuran kepada para pedagang, tanpa melalui praktek tindak kekerasan. Setelah para pedagang itu pindah ketempat yang telah di sediakan, jalan tersebutpun kembali di bersihakn dan setiap harinya di jaga oleh petugas Satpol PP. Teori ini memang layak untuk di contoh oleh daerah lain dalam melakukan penggusuran terhadap para pedagang. Semoga!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun