[caption id="attachment_394345" align="aligncenter" width="310" caption="Ilustrasi/Sumber davinanews.com"][/caption]
Setelah pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di Istana Bogor kemarin. Jokowi seakan mengirim pesan ucapan “ Sayonara” Mega, Selamat Tinggal Paloh. Gambaran seperti itulah yang terlihat setelah pertemuan Jokowi dengan Prabowo.
Realisasi dari pertemuan itupun kemudian melahirkan satu komitmen dari Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR RI. Komitmen yang di bangun di KMP itu cukup membuat Jokowi merasa aman, dan seperti terlindungi. Menurut Wakil Ketua DPR RI Fadli Zhon yang juga petinggi partai Gerindra, KMP siap untuk menjadi Bamfer (Pasang Badan) buat keputusan yang akan di ambil oleh Presiden Jokowi tentang dilantik atau tidaknya Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri. Bahkan Fadli Zhon mengatakan jika keputusan Presiden Jokowi di keritik oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) KMP siap untuk berada di depan keputusan yang diambil oleh Presiden Jokowi.
Tentu isyarat yang di lemparkan oleh KMP ini bukan saja nantinya terhadap keputusan Presiden Jokowi terhadap persoalan calon Kapolri. Tapi melainkan bias jadi isyarat tersebut untuk membeking Jokowi dalam menjalankan tugasnya selama lima tahun kedepan. Dan tentu Jokowi merasa aman dan terlindungi oleh KMP, jika Jokowi menggandeng KMP.
Ibarat sebuah kapal, Jokowi adalah Kapten Kapal tersebut. Tapi sayangnya kapal ini sempat terombang ambing, karena selain Jokowi ada lagi dua Nakhoda di dalamnya yang menetukan haluan kapal. Dan kedua nakhoda ini tidak mampu untuk di kendalikan oleh Jokowi, karena keduanya punya andil dalam menjadikan Jokowi sebagai Nakhoda.
Pertemuan Jokowi dengan Prabowo, akhirnya membuat Jokowi percaya diri, bahwa sesungguhnya dialah Nakhoda yang di tugasi untuk melayarkan kapal yang di tumpangi oleh ratusan juta orang. Keselamatan penumpang adalah hal yang utama dalam pelayaran ini. Maka mau tidak mau, Jokowi terpaksa mendepak dua Nakhoda lainnya yang sempat membuat kapal terombang ambing.
Seperti apa yang di katakan oleh Sunyatsen “ Payah nian papan kucari, berat pula untuk memikulnya, namun perahu harus jadi, untuk kulayarkan kepulau harapan “. Gambaran seperti inilah yang kini di rasakan oleh Jokowi, dia harus rela mendepak dua nakhoda yang membesarkannya, demi untuk rasa nyaman dan aman bagi penumpangnya.
Jika memang Jokowi benar benar berpaling dari Megawati Soekarno Putri dan Surya Paloh, tentu keduanya telah merasa membesarkan anak buaya di tepian mandi, yang akhirnya menelan sang tuan yang membesarkannya. Anggapan seperti itu jelas terbersit di hati keduanya?. Akan tetapi jika ini terjadi , kesalahan bukan pada sang buaya, tapi melainkan adalah kesalahan sang tuan nya sendiri, yang terlalu jauh mencampuri urusan sang buaya.
Mega Wati Soekarno Putridan Surya Paloh bukanlah seorang negarawan, tapi melainkan adalah seorang politisi sejati, yang penuh dengan ambisi dan kepentingan. Sejauh kepentingan dan ambisinya bisa tercapai, mereka tidak segan segan untuk mengorbankan rakyat. Beda jika mereka adalah seorang negarawan. Seorang negarawan, tidak memiliki kepentingan dan ambisi pribadi, yang ada pada dirinya adalah memperjuangkan bangsa dan Negara.
Jika menelisik, terjadinya gonjang ganjing di negeri ini, dan terkait pula dengan pemilihan calon Kapolri yang telah di jadikan sebagai tersangka korupsi dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi . Sebenarnya Megawati tak tulus dan ikhlas untuk melepas Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia, akan tetapi karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang di ketuai oleh Megawati tidak memiliki pigur yang dapat untuk di tampilkan sebagai calon Presiden kala itu, maka mau tidak mau suka atau tidak suka, Mega terpaksa memajukan Jokowi sebagai calon presiden dari partainya, dengan cacatan Jokowi adalah petugas partai yang di calonkan sebagai Presiden.
Sebenarnya waktu itu Mega ingin mencalonkan putrinya Puan Maharani sebagai Presiden dari PDIP. Tapi pencalonan Puan mendapat tantangan dari kalangan politisi PDIP. Karena Puan di nilai tidak memiliki nilai jual untuk di calonkan sebagai Presiden. Berbeda dengan Jokowi, yang telah di agung agungkan oleh Media memiliki nilai jual yang tinggi sebagai calon Presiden.
Mega dan Palohpun sebetulnya sudah menyadari, bahwa suatu saat Jokowi akan meninggalkan mereka. Akan tetapi sebelum Jokowi berlalu dari hadapan mereka berdua. Keduanya mencoba untuk menyuntikkan jarum ke dalam pikiran pikiran Jokowi. Pada awalnya memang Jokowi sempat menerima masukan masukan yang di berikan oleh kedua petinggi partai politik ini, tapi lama kelamaan Jokowi menyadari bahwa dirinya di jadikan boneka oleh keduanya.
Akhirnya Jokowi melawan, dan mencoba merobah haluan kapal yang di bawanya. Artinya Jokowi merobah pandangan nya dari KIH kepada KMP. Nampaknya bagi Jokowi, KMP lebih realistis dalam menilai keadaan, ditimbang dari pada KIH, yang mempunyai kepentingan kepentingan Politik dan pribadi.
Mega dan paloh sebenarnya berharap seperti sair sebuah lagu “ Walau hatiku hancur berkeping keping, namun cintaku tidak akan pernah berpaling”, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Malah Jokowi mengucapkan Sayonara. “ Selamat tinggal Mega, Selamat tinggal Paloh” relakan aku berjuang untuk nusa dan bangsa. Pesan inilah yang tersirat dari pertemuan Jokowi dengan Prabowo, kepada Mega Wati dan Surya paloh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H