Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membanding Nasib Wartawan Daerah dengan Nasib Buruh

25 Juni 2016   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2016   16:16 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber fhto/koran sinar harian

            

Buruh yang idientik dengan pekerja kasar memiliki standar upah berdasarkan peraturan Pemerintah. Buruh memiliki Upah Minimum Regional (UMR), sesuai dengan peraturan daerahnya masing masing. UMR para buruh ini ditetapkan oleh Kepala Daerah Provinsi yakni Gubernur dimasing masing Provinsi.

Bila dibanding nasib buruh dengan  nasib wartawan daerah dalam hal UMR, berdasarkan UMR buruh lebih sejahtera bila dibandingkan dengan wartawan daerah yang bekerja disurat kabar yang terbit didaerah. Karena para wartawan daerah yang bekerja disurat kabar yang terbit didaerah tidak memiliki gaji yang tetap berdasarkan UMR, melainkan penghasilan yang mereka terima berdasarkan honor dari pemberitaan yang terbit disurat kabarnya.

Tidak adanya standar upah/gaji yang dimiliki oleh wartawan daerah, karena status pekerjaan para wartawan itu sampai saat ini tidak ada kejelasannya, apakah wartawan merupakan pekerjaan atau profesi. Jika wartawan adalah merupakan pekerjaan non Pegawai Negeri Sipil (PNS)/BUMD/BUMN, berarti wartawan memiliki standar gaji berdasarkan UMR. Tapi sampai saat ini pula wartawan daerah tidak memiliki standar gaji berdasarkan UMR.

Akan tetapi sebaliknya jika wartawan bukan merupakan pekerjaan tapi melainkan wartawan adalah profesi non PNS, lantas acuan apa yang diterapkan untuk membayar upah/gaji mereka. Karena profesi wartawan berbeda dengan profesi dokter dan pendidik yang diangkat menjadi PNS.

Jika wartawan daerah hanya mengandalkan honor yang diterimanya berdasarkan hasil pemberitaan yang terbit disurat kabar dia bekerja. Mereka hanya mendapatkan honor antara Rp 30,000,- sampai dengan Rp 50,000,-/berita. Jika dikalkulasikan secara menyeluruh, jika seorang wartawan menulis berita setiap harinya satu berita, maka honor yang akan mereka terima sebesar Rp 50,000,- X 30 hari kerja = Rp 1,500,000,-/bulannya. Itupun jika setiap hari ada berita yang ditulisnya diterbitkan oleh Pemimpin Redaksinya. Akan tetapi jika honor satu berita itu hanya dibayar Rp 30.000,-/berita, maka satu bulan dia mendapatkan honornya sebesar Rp 900.000,- kedua penghasilan para wartawan daerah ini jelas dibawah UMR nya para buruh. Tentu dengan penghasilan sebesar itu setiap bulannya, alamat dapur para wartawan daerah tidak akan mengepulkan asap.

Dalam konstek seperti ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan? Bagaimana para wartawan daerah untuk mempertahankan hidupnya dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, jika dia sudah berkeluarga dengan penghasilan yang demikian rendah dibawah UMR nya para buruh? Tentu jawabannya tidak perlu lagi dijabarkan disini. Karena banyak juga para wartawan daerah yang bisa hidup mewah, dengan penghasilannya yang sedemikian rendah.

Walaupun didalam Kode Etik Jurnalistik pada Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalah gunakan profesi dan tidak menerima suap, dengan penafsirannya : a) Menyalah gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas imformasi yang diperoleh saat bertugas sebelum imformasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b) Suap  adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Jika mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik ini, tentu menimbulkan pertanyaan yang lain pula. Bagaimana seorang wartawan, khususnya wartawan daerah mentaati Kode Etik Jurnalistik dengan penghasilannya yang begitu minim.  Maka jadilah Kode etik Jurnalistik itu hanya merupakan sekedar semboyan belaka, yang terpampang dietalase hanya untuk dilihat, tapi tidak untuk diterapkan oleh para wartawan khususnya wartawan daerah dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sementara prakteknya dilapangan, hanya wartawanlah yang mengetahuinya, bagai mana dia memamfaatkan kartu Persnya, dan memainkan peranannya sebagai wartawan dalam menggarap obyeknya.

Yang ironisnya wartawan daerah yang tidak memiliki standar UMR, malah dibebani lagi dengan menjualkan surat kabar dimana dia bekerja. Pemimpin Perusahaan/Pemimpin Redaksinya tidak mau tahu, kalau Koran itu laku atau tidak dipasaran. Yang penting setiap bulannya siwartawan harus membayar uang Koran berdasarkan jatah oplah yang ditetapkan kepadanya.

Apakah nasib wartawan daerah yang menjadi bahasan dalam tulisan singkat ini, sama dengan nasib wartawan Koran nasional yang dicetak di Jakarta? Yang pasti kehidupan para wartawan daerah tidaklah lebih baik dari kehidupan seorang kuli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun