[caption id="attachment_371459" align="alignnone" width="256" caption="Raden Nuh Salah Satu Orang Dibalik Akun Trio Macan 2000/Fhoto Blibli.com"][/caption]
Menekunitulis menulis dan berkicau di media social, baik melalui akun FB, Twiter dan zitizen warga, bersiap siaplah untuk masuk bui. Karena siapa tahu pada suatu saat dan waktu kita lupa mengontrol emosi lalu menulis dan mengkeritik pemerintah dan jajarannya, atau kita lagi emosi ketika berkicau di dunia maya sehingga kicauan kita membuat orang lain merasa tak senang lalu membuat pengaduan dengan mengatas namakan penghinaan ataupun pencemaran nama baik.
Memang ada etika dalam melakukan penulisan, setidaknya etika ini bisa menyelamatkan kita dari delik hukum yang akan menjerat kita. Menulislah dengan hati yang panas tapi kepala tetap dingin agar kita bisa menganalisa apakah tulisan yang kita tulis tidak menyentuh kepada delik hukum, dan apakah yang kita tulis tidak membuat orang lain merasa terusik, terhina dan teraniaya.
Kasus Muhammad Arsyad (MA) situkang tusuk sate dan Raden Nur pemilik akun Trio Macan 2000 yang di tangkap oleh Pihak Polri karena melakukan pencemaran nama baik/fitnah melalui akun media sosial yang mereka miliki bisa membukakan mata kita, agar kita dapat berhati hati, untuk menahan emosi ketika kita memfosting sebuah tulisan baik di FB, Twiter dan media social lainnya yang bisa mencelakakan diri kita. Walaupun sebenarnya apa yang kita tulis adalah fakta. Tapi yang perlu diingat tidak semua fakta bisa dijadikan berita, dan tidak semua berita layak untuk di fosting dan disebar luaskan kepada public. Sekalipun berita yang kita fosting itu sudah melalui chek and richek.
Karena sistim demokrasi yang kita anut masih separoh hati, belum demokrasi sejati, di mana kebebasan untuk berbicara, menyampaikan pendapat dan unek unek masih jauh dari kenyataan. Tidak seperti di Negara yang menganut demokrasi sejati, rakyatnya bebas untuk menyampaikan pendapat, sekalipun dalam bentuk hinaan kepada pemerintahnya.
Jangankan kita sebagai zitizen warga yang tidak di lindungi oleh Undang Undang, wartawan yang bekerja di surat kabar yang jelas dan di lindungi pula oleh Undang Undang toh juga bisa terjerat hukum. Ingat kasus Tempo dengan Tomywinata gara gara berita Ada Tomy di Tenabang, kasusnya sampai kepengadilan.
Walaupun wartawan yang bertugas untuk mencari berita di lindungi oleh hukum, namun wartawan tak luput dari jerat hukum. Pada hal setiap berita yang di kirimkan oleh wartawan kepada surat kabar di mana dia bekerja dan kemudian berita itu terbit di surat kabar dimana dia bertugas. Dan belakangan berita yang dikirimkannya dan sudah diterbitkan oleh surat kabarnya menimbulkan persoalan, wartawan nya turut terbawa bawa. Dan akhirnya bisa masuk bui.
Undang Undang N0 : 40 tahun 1999 tentang Pers belum sepenuhnya berpihak kepada wartawan. Seharusnya wartawan harus di bebaskan dari hukum, kalau seandainya berita yang telah di muat di surat kabar dimana dia bekerja menimbulkan masalah. Pemimpin Redaksi adalah orang yang harus bertanggungjawab jika berita itu menjadi delik hukum. Karena berita yang di kirim oleh seorang wartawan sebelum naik cetak untuk di terbitkan sudah di baca oleh pimpinan redaksi ataupun redakturnya. Jika berita itu menyerempet hukum seharusnya Pemimpin Redaksi atau Redaktur yang menangani bidang pemberitaan itu melakukan kompirmasi kepada wartawannya apakah berita itu sesuai fakta, dan ataukah sudah di lakukan chek and richeknya, baru berita itu di muat, bukankah sebelum semua berita naik cetak untuk dimuat/di terbitkan terlebih dahulu membawanya kepada dewan redaksi untuk memilah berita berita yang masuk yang akan di terbitkan.
Tapi yang terjadi tidak seperti itu. Pemimpin Redaksi mau enaknya saja. Setiap berita yang masuk kemejanya, jika berita itu dapat mengangkat tiras korannya langsung dimuat tampa harus berpikir bahwa berita itu bisa melahirkan gejolak dan berujung kepada hukum. Jikapun tersandung hukum paling paling wartawan nya yang harus di hadapkan. Karena di dalam UU N0 : 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Wartawan boleh mewakili Pemimpin Redaksi diluar maupun di dalam pengadilan. Di sinilah susahnya untuk menjadi wartawan.
Ketika Ki Panji Kusmin menulis cerpen dengan judul “ Langit Mangkin Mendung “ di majalah sastra yang di pimpin oleh HB Yasin. Dan cerpen itu mengundang kontrapersi yang berujung kepada hukum, karena pemerintah menganggap bahwa cerpen itu melakukan kritikan/penghinaan pedas terhadap pemimpin Orde lama, yasin dalam pengadilan tidak membeberkan siapa penulis Cerpen itu. Yasin mengatakan bahwa dirinya sebagai pemimpin Redaksi Majalah Sastra yang memuat cerpen itu yang bertanggung jawab. Dan akhirnya HB Yasinpun masuk Bui. Cerpen Langit Mangkin Mendung sampai saat ini menjadi misteri siapa penulisnya.
Kembali kepada persoalan diatas, kasus yang menimpa MA dan RN, adalah pelajaran buat kita. Maka untuk itu berhati hatilah untuk memfosting suatu berita dan tulisan, jangan sampai langkah kita akan terhenti di balik terali besi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H