Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Impor Pakaian Bekas dalam Problema Ekonomi

22 Februari 2015   13:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14245610931768021877

[caption id="attachment_398554" align="aligncenter" width="604" caption="Pasar TPO Tanjungbalai Sumut Tempat Jual Beli Pakaian Bekas Impor Dari Malaysia/Fhoto T.Surya Darma"][/caption]

Impor pakaian bekas (Bal Pres) kini kembali dipersoalkan oleh pemerintah. Hampir sepuluh tahun sudah impor pakaian bekas ini tidak mencuat ke permukaan. Sekitar tahun 2010, setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden, dan JendEral Polisi Soetanto sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), kran penyeludupan di Indonesia ditutup. PErihal pakaian bekas pun tidak terdengar lagi.

Kini persoalan pakaian bekas itu muncul kembali, hal itu dikarenakan banyaknya pakaian bekas yang beredar dan diperjualbelikan di pasar-pasar Ibu Kota Jakarta, seperti di Tanah Abang, Pasar Senen dan di tempat-tempat lainnya di Jakarta. Dengan harga yang cukup murah dan dengan kualitas yang baik.

Padahal larangan tentang impor pakaian bekas telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui Undang Undang No. 7 Tahun 2014. Menurut Undang Undang tersebut pemerintah melarang impor pakaian bekas, karena mengandung virus (kuman) yang membahayakan yang dapat menularkan penyakit. Di samping impor pakaian bekas dapat mematikan industri garment dan tekstil dalam negeri.

Kendatipun bahwa pemerintah sudah mengeluarkan Undang Undang tentang dilarangnya impor pakaian bekas, namun pakaian bekas tetap saja memasuki pangsa pasar di Indonesia. Masyarakat juga tetap memburu pakaian bekas yang dijual oleh para pedagang. Karena harganya terjangkau dan kualitasnya juga bagus.

Pada era tahun 1980 sampai dengan tahun 2010, Sumatera Utara terutama Medan adalah pusat perdagangan pakaian bekas yang diimpor dari negara Malaysia melalui Pelabuhan Belawan. Di Medan pakaian bekas ini dijual di sepanjang Jalan Mangunsidi yang terkenal dengan Mangunsidi Flaza (Monza).

DiMonza ini dipajang segala jenis barang bekas. Tidak saja hanya untuk pakaian, tapi juga sepatu, tas, jaket, seprei, gorden, sampai kepada pakaian dalam wanitadan juga beberapa alat elektronik. Dan berbagai jenis barang bekas lainnya.

Adanya peraturan Menteri Perdagangan yang melarang masuknya barang bekas dari Pelabuhan Belawan. Monza pun dengan sendirinya tutup, karena tidak ada lagi pakaian bekas yang masuk dari Pelabuhan Belawan.

Ternyata para pelaku impor pakaian bekas tidak habis akal, mereka mengalihkan usaha untuk impor pakaian bekas dari negara Malaysia ke Indonesia melalui Kota Tanjungbalai. Masuknya pakaian bekas ini via Tanjungbalai melalui kapal-kapal penyeludupan. Kapal-kapal penyeludupan dari Tanjungbalai ke Pelabuhan Protklang Malaysia tidak saja membawa pakaian bekas, tapi juga membawa bawang putih, gula, biji plastik, dan obat-obatan terlarang.

Sedangkan dari Tanjungbalaike negara Malaysia kapal-kapal penyeludupan ini membawa kayu, pupuk, rokokdan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Lewat aksi penyeludupan inilah ribuan bal pres pakaian bekas setiap harinya memasuki pelabuhan-pelabuhan tikus yang banyak terdapat di sepanjang aliran Sungai Asahan Kota Tanjungbalai.

Pusat perdagangan pakaian bekas pun beralih dari Monza Medan ke Kota Tanjungbalai. Bahkan pemerintah kota (Pemko) Tanjungbalai sepertinya melegalkan masuknya impor pakaian bekas dari negara Malaysia melalui Kota Tanjungbalai.

Dengan menggunakan APBD-nya, Pemko Tanjungbalai membangunkan pasar secara permanen di lokasi TPO , yang dahulunya bekas pergudangan milik DSM perkeretaapian untuk tempat para pedagang pakaian bekas bertransaksi. Di pasar ini pun dipajang segala jenis pakaian bekas, sama seperti Monza di Medan.

Problema Ekonomi:

Pasar TPO pun diserbu oleh para pembeli pakaian bekas. Para pembeli yang datang ke pasar TPO ini bukan saja dari dalam Kota Tanjungbalai, tapi melainkan dari luar kota, Medan, Pekan Baru, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, dan dari Jakarta dan Pulau Jawa serta Bali, datang ke pasar TPO ini untuk membeli pakaian bekas dalam partai besar.

Lewat para pembeli pakaian bekas dalam partai besar inilah, belakangan pakaian bekas itu dikirim ke kota-kota besar yang ada di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali dengan menggunakan truk kontainer.

Jika ditinjau dari sisi problema ekonomi yang serbasulit dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini, impor pakaian bekas cukup membantu masyarakat untuk mendapatkan sandang. Dengan modal Rp 50.000,- masyarakat sudah bisa untuk mendapatkan dua sampai tiga pasang pakaian bekas.

Jika dibanding dengan pakaian baru produk dalam negeri, harganya cukup melambung tinggi, Rp 200.000,- sampai Rp 300.000,/pasang, itu pun dengan kualitas yang rendah. Tentu jika kita bandingkan dengan harga Rp 200.000,-sampai Rp 300.000,/pasang, jika dibelikan kepada pakaian bekas yang layak pakai, setidaknya masyarakat bisa memiliki sepuluh sampai lima belas pasang pakaian bekas.

Lahirnya Undang Undang No : 7 Tahun 2014, tentang pelarangan impor pakaian bekas, tak obahnya seperti dua sisi mata uang yang saling berbeda. Pada satu sisi pemerintah melarang impor pakaian bekas, karena mengandung virus yang membahayakan. Serta impor pakaian bekas dapat mematikan produksi garment dan tekstil dalam negeri.

Namun di sisi lain, masyarakat sangat membutuhkan sandang dengan harga yang murah dan terjangkau. Sementara pemerintah tidak mampu untuk mengontrol dan menekanharga sandang produksi dalam negeri.

Tidak bisa pula untuk dipungkiri bahwa faktanya, sejak beredarnya pakaian bekas di pasaran, sulit untuk mencari masyarakat yang berpakaian compang-camping dengan penuh tambalan (tempelan), sebab dengan uang Rp 10.000,- saja masyarakat sudah bisa mengganti pakaiannya yang koyak dengan pakaian yang bagus, walaupun bekas.

Perlu Keseimbangan:

Menyangkut tentang masalah pakaian bekas ini, pemerintah harus bersikap lunak. Seperti menarik rambut dalam tepung. Bagaimana rambut tak putus dan tepung pun tak rusak. Masyarakat memerlukan pakaian bekas karena harganya murah dan terjangkau.

Sementara di sudut lain pemerintah juga harus memperhatikan, jangan sampai gara-gara impor pakaian bekas, produk garment dan tekstil dalam negeri menjadi mati. Seperti yang pernah dialami oleh pabrik gula dalam negeri yang terpaksa tutup karena bangkrut akibat tidak mampu untuk bersaing dengan harga gula yang masuk ke Indonesia secara ilegal.

Pemerintah perlu untuk memantau harga sandang dalam negeri, setidaknya harga sandang dalam negeri itu mampu menyamai harga pakaian bekas impor dari negara Malaysia. Walaupun mutunya kurang, tapi harganya murah dan terjangkau, masyarakat tentu akan membelinya.

Inilah yang perlu untuk menjadi perhatian pihak pemerintah. Pemerintah jangan hanya bisa mengeluarkan undang-undang tentang pelarangan impor pakaian bekas. Sementara untuk memenuhi kebutuhan sandang bagi masyarakatnya dengan harga murah dan terjangkau, pemerintah tidak mampu. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun