Sumber fhoto/FITO/Kompasiana
Lama kami duduk membisu, seolah olah kami telah banyak menumpahkan kata kata. kupandangi ia dengan penuh seluruh. Ia bagaikan boneka yang telah lama tersimpan didalam etalase. Wajahnya tampak tidak bersemangat, pucat bagaikan tidak memiliki sinar kehidupan.
Hiruk pikuk dermaga tampak mulai terlihat, orang orang ada yang naik turun dari atas kapal kedermaga. Para penjual makanan tampak hilir mudik menjajakan makanannya, satu dua para penumpang kapal yang akan membawa mereka mengharungi luasnya samudra ada juga yang membeli dagangan yang mereka tawarkan.
“ Apakah keputusanmu telah bulat untuk meninggalkan kampung halamanmu, kemudian mencari kehidupan yang baru dinegeri yang lain pula?”, kataku kepadanya sebelum ia menaiki kapal yang akan membawanya untuk mencari kehidupan yang semu dinegeri orang.
“ Tekadku sudah bulat, aku telah bosan dengan kehidupan yang penuh dengan labirin kemiskinan, aku muak dengan suasana kampung yang hanya menawarkan kehidupan yang penuh dengan dilema, hanya berkutat tentang agama, adat dan kebudayaan yang kolot. Tidak seperti kehidupan dikota yang menawarkan moderenisasi dan glamaour “, matanya menatap kapal yang sebentar lagi akan membawanya kepada kehidupan yang diinginkannya.
Aku memang sangat mengenalnya, sejak kecil kami hidup dikampung yang sama, sekolah di sekolah dasar yang sama. Kemudian di SMP dan SMA juga kami duduk dilokal pada sekolah yang sama dikota kami.
Sejak dari SD dia memang telah bercita cita untuk hidup menjadi artis. Dan cita citanya itu memang tidak salah, karena dari bentuk tubuh dan paras wajahnya yang cantik tidak kalah dengan artis artis yang ada di ibu kota.
“ Aku ingin hidup seperti mereka”, katanya pada suatu hari ketika kami duduk dibangku dihalaman sekolah. Waktu itu aku hanya diam, membantah sepatah katapun tidak.
“ Aku ingin seperti Syahrini, memiliki hidup yang glamaour, memiliki pesawat terbang yang namanya jet milik pribadi. Berpergian kenegeri yang menawarkan kehidupan bagi kaum jetset. Tidak seperti hidup dikampung, sepulang sekolah harus bergelut dengan lumpur dibawah terik panasnya mata hari yang membuat kulit menjadi terbakar dengan warna hitam legam “. Ujarnya tanpa beban kepadaku.
Kini setelah tamat SMA harapan, cita cita, dan keiinginannya itu ingin dicapainya, walaupun dia sendiri tidak mengerti apakah keiinginannnya itu bisa digapainya dikehidupan yang baginya asing, dan membuat dia menjadi terasing.
Diatas dermaga, dimana kapal yang akan membawanya kenegeri impian masih bersandar . Angin sepoi sepoi basah yang datangnya dari samudra yang luas seakan tidak mampu untuk memupuskan harapannya. Dia menatapku tajam ketika aku membujuknya untuk tidak meninggalkan kampung halamannya, dan mengurungkan niatnya untuk tidak teropsesi dengan kehidupan glamaour sebagai artis.