“Suamiku bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tapi oleh karena dendam pribadi, suamiku dituduh sebagai Anggota PKI. Dia dijemput dari rumah tengah malam di saat aku, suamiku dan lima orang anak-anakku sedang tidur lelap, oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya dari Komando Aksi yang terdiri dari Organisasi Masya (Ormasy)berbasis Islam dan Organisasi Kepemudaan (OKP) yang juga berbasis Islam di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara," kata wanita yang sudah berusia 85 tahun kepada penulis, di saat bangsa ini sedang memperingati Gerakan 30 September (G-30 S) Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 2014.
Pasca meletusnya G-30 S PKI, mungkin kota Tanjungbalai Sumatera utara adalah kota yang paling sadis melakukan pembunuhan terhadap orang orang yang di tuduh sebagai Anggota atau Antek anteknya PKI. Memang tidak ada data pasti berapa jumlah warga kota Tanjungbalai yang di tuduh sebagai anggota /antek anteknya PKI yang di bunuh secara sadis dan keji dan kemudian mayatnya dibuang begitu saja kedalam sungai Silau yang bermuara ke Sungai Asahan dan Selat Malaka.
Namun di perkirakan setidaknya ada seribuan orang yang di bunuh dan mayatnya dibuang kesungai Silau. Perkiraan ini berdasarkan jumlah mayat setiap harinya yang mengapung di sungai Silau ratusan mayat. Dan sampai saat ini tidak ada satu lembagapun yang pernah melakukan pendataan terhadap korban yang di bunuh oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Komando aksi terhadap orang orang yang di tuduh sebagai anggota/antek antek PKI. Mereka di habisi dengan tuduhan bahwa mereka adalah anggota/antek antek PKI tanpa melalui keputusan pengadilan.
Wanita itu kemudian melanjutkan ceritanya. “ Tanda tanda bakal terjadinya pembunuhan itu memang sudah terlihat. Situasi politik di tanah air semakin tidak menentu. Di kota Tanjungbalai Peristiwa pasca G-30 S PKI itu di awali dengan adanyaperintah untuk membuat lobang dengan leter el di depan rumah warga masing. Lobang tersebut di katakana untuk di jadikan benteng tempat berlindung jika terjadi sesuatu. Namun tidak pernah jelas di ketahui perintah itu datang nya dari siapa. Yang pasti masyarakat kota Tanjungbalai mematuhi perintah itu “, kata wanita sepuh itu yang minta namanya untuk tidak di sebutkan.
“ Seminggu setelah adanya perintah untuk membuat benteng itu “, wanita itu kembali melanjutkan kata katanya, rona wajahnya tampak begitu memelas, garis gari penderitaan yang di alaminya tampak terlukis dengan nyata di wajahnya.
“ Udara kota Tanjungbalai di raungi oleh beberapa unit pesawat udara jenis Hercules. Pesawat itu terbang cukup rendah, kemudian dari dalam perut pesawat itu memuntahkan ratusan orang dengan pakaian loreng tentara di udara. Dengan menggunakan parasut mereka seakan akan seperti burung elang terbang melayang layang di udara kemudian mendarat di areal persawahan milik penduduk yang berjarak 5 Km dari inti kota Tanjungbalai.
Kemudian besoknya sepasukan Tentara melakukan latihan di sungai Silau dengan menggunakan perahu karet. Latihan para Tentara ini sempat menjadi tontonan oleh masyarakat kota Tanjungbalai. Menurut orang orang Tentara yang sedang melakukan latihan itu berasal dari Kesatuan Para dan Cakrabirawa dari pulau jawa.
Dan pada malamnya para tentara ini melakukan latihan perang dengan menggunakan peluru tajam. Apa bila pukul 22 malam, masyarakat tidak di bolehkan keluar rumah, lampu lampu rumah di matikan, suasana kota tajungbalai dalam keadaan gelap gulita. Suara dentuman senjata saling bersahut sahutan membuat suasana kota benar benar sedang dalam keadaan perang. Suasana mencekam itu sampai menjelang sholat subuh, barulah para Tentara itu menghentikan latihannya. Pendek kata sejak kehadiran banyak Tentara di kota Tanjungbalai, situasi kota Tanjungbalai begitu mencekam.
Satu bulan para Tentara itu melakukan latihan perang di kota Tanjungbalai, terdengar kabar di Jakarta terjadi penculikan dan pembunuhan para Jendral yang mayatnya di buang kedalam lubang buaya. Dari sinilah awal petaka itu menimpa keluargaku “ setitik embun Nampak mencair dari matanya yang telah mulai kabur, rasa haru tampak terpancar dari wajahnya yang sudah semakin menua.
“ Pasukan komando aksi dengan bantuan meliter menangkapi orang orang yang di tuduh sebagai anggota dan antek antek PKI, kemudian para anggota gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) organisasi wanita anderbournya PKI. Orang orang yang di tuduh sebagai anggota/antek antek PKI di tangkapi, kemudian di bawa ke Komando Distrik meliter untuk di periksa.
Bagi yang tidak terbukti di kembalikan kepada keluarganya, tapi bagi yang terbukti mereka di tempatkan di sebuah Gedung Kesenian yang terletak di jalan Pahlawan di samping stadion sepak bola Asahan Sakti, akan tetapi tidak sedikit juga yang di pitnah sebagai anggota/antek antek PKI yang tidak di lepaskan. Di dalam tempat penampungan sementara ini mereka di perlakukan tidak manusiawi. Setiap pagi mereka di giring ketepian sungai silau untuk di mandikan dengan keadaan tangan dirantai dan dalam keadaan telanjang.
Jarak gedung kesenian dengan tempat mereka di mandikan hanya lebih kurang 300 meter, yakni di belakang Istana Sultan Asahan, yang di jadikan sebagai Asrama Tentara dari kesatuan 124. Dan pada malam harinya mereka diangkut dengan menggunakan truk Tentara. Ada yang diantara mereka di bawa kearah Hessa, ada yang di bawa kearah Pantai Olang. Di tempat inilah mereka di habisi oleh para komando aksi, dan kemudian mayatnya dibuang ke sungai Silau.
Besoknya Gedung Kesenian itu kembali ramai dengan orang orang yang di tangkapi oleh para Komando aksi, dan malamnya mereka yang di tangkap kemudian di bunuh, begitulah seterusnya “ ujar wanita itu seakan mengenang pristiwa yang menghilangkan nyawa suaminya.
“ Suamiku bukan anggota ataupun simpatisan maupun antek antek PKI, tapi dia dipitnah sebagai anggota PKI oleh seorang tetangga kami yang merupakan anggota komando aksi. Bagaimana mungkin suamiku anggota PKI, sementara berorganisasi saja dia tidak pernah. Suamiku bekerja di perusahaan orang Cina. Pulang kerja sore hari dia langsung kerumah, kemudian pergi kemesjid untuk sholat setelah itu kembali kerumah. Kalaupun dia mau keluar ada urusan dia tetap membawaku. Jadi aku tidak yakin kalau suamiku itu anggota PKI.
Tiba tiba saja pada suatu malam , setelah satu minggu aku bertengkar dengan tetangga yang ternyata suaminya anggota komando aksi, suamiku di jeput oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Komando Aksi, diantara orang orang yang datang menjeput itu, kulihat ada tetangga kawanku bertengkar diantara para komando aksi itu.
Hampir satu minggu aku tidak mengetahui keberadaan suamiku, barulah aku di kabari oleh tetanggaku, bahwa suamiku ada di kamp gedung kesenian tempat di kumpulnya para orang orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Menjelang saat saat suamiku akan di habisi, aku sempat bertemu dengannya, walaupun waktu yang di berikan kepadaku hanya sekitar 10 menit.
Suamiku mengatakan kenapa dia di tangkap, karena dia dituduh sebagai anggota PKI oleh tetangga kawanku yang bertengkar itu. Fitnah yang di lakukan oleh tetanggaku itu diterima begitu saja oleh para Komando Aksi, karena tetangga kawanku bertengkar suaminya anggota komando aksi. Jadi omongan nya di dengarkan oleh para anggota kelompok komando aksi lainnya.
Sebelum kami berpisah suamiku meninggalkan pesan, untuk menjaga dan membesarkan anak anak kami. Kemudian katanya jangan tanamkan rasa kebencian apa lagi dendam kepada orang yang telah melakukan fitnah kepadanya, biarlah Tuhan yang akan menghukumnya kelak. Begitu pesan suamiku “, wanita itu akhirnya tak mampu untuk membendung linangan airmatanya. Pembicaraan penulis dengan wanita itu berhenti sejenak, kemudian setelah wanita itu mampu menmgendalikan perasaan dukanya dia melanjutkan kata katanya.
“ Besok paginya setelah pertemuanku dengan suamiku, aku mendapat kabar dari tetangga kalau mayat suamiku terapung di sungai Silau bersama ratusan mayat mayat yang hayut dan bergelimpangan di bawa arus sungai Silau, sementara sampai saat ini tuduhan bahwa suamiku sebagai anggota PKI tidak bisa untuk dibuktikan.
Apa yang kuceritakan ini, mungkin juga di alami oleh orang lain, karena dendam pribadi orang dengan gampang menuduh orang lain sebagai anggota PKI, lalu di habisi, pada hal ternyata orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan yang namanya PKI. Tapi keadaan waktu itu membuat orang mudah mempercayai perkataan orang lain tanpa pernah mengecek benar atau tidak perkataan tersebut.
Sampai saat ini peristiwa itu masih kusimpan jauh di lubuk hatiku. Rasa benci dan dendam terhadap tetanggaku itu tetap kupupuk dengan baik agar ia senantiasa tumbuh dengan subur di hatiku sampai akhir hayatku.
Namun kepada putra putriku yang kesemuanya sudah sarjana, sedikitpun tidak pernah kutanamkan rasa benci dan dendam kepada orang yang telah memitnah ayahnya sebagai anggota PKI dan kemudian di habisi.Walaupun sejak kejadian itu mereka tidak pernah lagi untuk bertemu dengan ayahnya untuk selama lamanya “.Wanita itu menutup pembicaraannya, air matanya deras mengalir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H