[caption caption="Ilustrasi/fhoto prtampokan Bank CIMB Niaga Medan/www.mentari.biz personal blog"][/caption]Saya tidak pernah menyangka jika ustadz yang saya kenal ini adalah salah satu anggota kelompok radikalisme di Indonesia. Apakah benar dia kelompok radikalisme? Tentang ini pun saya tidak tahu pasti. Saya tidak menyebutkan nama ustadz tersebut secara lengkap, cukup dengan inisialnya demi untuk menjaga marwah istri-anak dan keluarganya.
Ustadz yang saya maksud adalah ustadz KG. Sekarang beliau mungkin masih menjalani hukuman, atau sudah bebas, karena dari sidang di pengadilan Medan, sang ustadz dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Saya tidak mendapatkan informasi itu lagi. Saya melihat sang ustadz yang saya kenal tidak mencerminkan bahwa dia adalah anggota kelompok radikalisme. Tindak-tanduknya selama tinggal bertetangga dengan saya di Jalan Pesat Kelurahan Bunga Tanjung, Kecamatan Datuk Bandar Timur, Kota Tanjungbalai Sumatera Utara, adalah seorang ustadz yang rendah hati, terbuka dan cukup sosial di lingkungan di mana kami tinggal.
Tidak seperti kalangan teroris maupun kelompok radikalisme yang sering diberitakan tertutup, baik dalam pergaulannya maupun kegiatan yang dilakukannya. Tapi sang ustadz KG ini sedikit pun tidak mencerminkan hal itu. Ia dan keluarganya terbuka, dan menerima siapa saja yang datang ke rumahnya, baik untuk bertanya maupun yang membutuhkan pertolongan. Pendek kata, dia cukup bergaul di lingkungan di mana dia tinggal.
Ia sering bertindak sebagai imam ketika masuk waktu sholat. Dan sering memberikan tausiyah kepada para jemaah mushollah yang ada di lingkungan itu. Tausiyah-tausiyah yang diberikannya kepada jemaah, sedikit pun tidak pernah menyimpang dari ajaran hadist dan Al-Qur’an. Dia juga seorang penulis buku tentang agama Islam. Banyak buku hasil tulisannya yang telah terbit dan beredar di beberapa Negara Asia Tenggara. Di samping itu, dia juga ahli dalam pengobatan bekam serta rukyah. Buku-bukunya dicetak oleh salah satu penerbitan resmi di negara Malaysia.
Tentang pencetakan buku di Malaysia ini, saya pernah bertanya kepadanya, kenapa buku bukunya dicetak di Malaysia, kenapa tidak di Indonesia. Waktu itu dia menjawab, percetakan di Malaysia lebih terbuka dan jujur. Dibanding dengan percetakan di Indonesia. Malaysia kata sang ustadz, mereka jujur dalam hak cipta dan royaltinya jika buku tersebut dicetak ulang.
Sementara di Indonesia katanya percetakannya kurang terbuka dan jujur. Misalnya kata sang ustadz, ketika kita sodorkan tulisan kepada percetakan untuk diterbitkan sebagai buku, percetakan itu memang menerimanya. Tapi dalam jangka yang cukup lama baru mereka kabari. Iya kalau diterima? Malah setelah kita menunggu cukup lama barulah mereka kabari kalau tulisan itu tidak dapat dicetak sebagai buku. Tapi yang mirisnya kata sang ustadz, kita melihat ada buku dengan judul yang berbeda dan penulisnya juga orang lain tapi isinya hampir mirip dengan tulisan yang kita kirimkan itu.
Sedangkan di Malaysia, mereka jujur kalau bisa dicetak sebagai buku, ya mereka katakan bisa, kalau tidak mereka katakan tidak. Kita tidak perlu untuk menunggu lama. Makanya kata sang ustadz itu, dia lebih menyukai percetakan di Malaysia ketimbang di Indonesia.
Suatu hari saya pernah kumpul dengan para tetangga di rumah salah satu tetangga lain. Hari itu sekitar pukul 23.00 WIB malam. Kami baru pulang melayat dari salah satu rumah warga yang anaknya meninggal dunia. Sewaktu hidup, anak tetangga ini berusia sekitar 25 tahun tapi belum berkeluarga, mempunyai sifat yang jelek. Suka minum-minuman keras, membuat onar dan mencuri, sehingga warga sekitar kurang menyenangi keluarga ini.
Si anak hanya tinggal berdua dengan ayahnya yang sudah renta, sementara ibunya sudah lama meninggal. Dan abang, kakak, serta adiknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain. Si anak itu jatuh sakit yang cukup lama. Badannya penuh dengan kudis dan bernanah sehingga tidur harus beralaskan daun pisang. Ketika pemuda itu meninggal, aroma yang tidak sedap pun menusuk hidung sehingga warga yang datang membesuk tidak tahan berlama-lama di rumah yang ada kemalangan itu.
Lagi asyiknya ngobrol sambil nonton bola, sang ustadz datang menanyakan keluarga yang ditimpa musibah itu. Kata sang ustadz, dia baru pulang dari satu tempat dan baru mengetahui kalau ada warga yang anaknya meninggal. Tapi dia katanya heran juga karena ketika ia melihat ke rumah yang anaknya meninggal itu, sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau di rumah itu ada musibah.
Seorang teman menjelaskan kepada sang ustadz kalau warga yang datang membesuk sudah pada pulang dan termasuk para famili dekat yang ditimpa musibah juga sudah pada pulang. Tak satu pun familinya yang menginap di rumah itu, kata sang teman tadi. Lantas sang ustadz memberikan sedikit pencerahan tentang kematian dan pelaksanaan fardu kifayahnya. Sang ustadz lalu mengajak kami untuk kembali ke rumah warga yang ditimpa musibah itu.