Tidak banyak yang mengenal nama seorang Latief Syahril. Seorang seniman dan pencipta lagu yang saat ini berusia 64 Tahun. Walaupun memiliki saudara, tapi hidup yang dilakoni oleh Latief atau lebih akrab dipanggil Mak Jain, lebih memilih menjalani hidup sebatang kara.
      Sehari harinya ia bekerja membersihkan Mesjid di Jalan Tanjungbalai Air Joman, Kelurahan Sungai Raja Kecamatan Sungai Tualang Raso Tanjungbalai. Sebagai pembersih dan sekaligus sebagai penjaga mesjid, kegiatannya mulai dari menyapu, membuka dan menutup mesjid. Dan apa bila waktu sholat telah tiba, tak jarang pula dia harus menjadi muazzim, menyerukan azan sebagai pertanda sudah masuk waktu sholat.
      Ditengah kesibukannya dalam menekuni pekerjaannya sebagai penjaga dan pembersih mesjid, terkadang Latief menyempatkan dirinya untuk mengoret ngoret syair lagu. Lagu lagu yang diciptakannya bergenre dankdut.
      Suatu malam disebuah warung kopi dibawah pohon jambu dijalan AR Hakim kota Tanjungbalai, tempat biasa Latief nongkrong untuk menikmati secangkir kopi, penulis sempat berbincang bincang dengan nya.
      Latief Syahril menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh dengan liku liku dan duka, layaknya seperti syair lagu yang diciptakannya " Sudah Luka Ditimpa Duka ". Syahril yang melajang sampai saat ini lahir dan besar di Tanjungbalai. Kemudian pernah hijrah ke ibu kota Jakarta pada tahun 1985 sampai dengan tahun 2005.
      Di ibu kota Jakarta kehidupan tidak seperti yang dibayangkannya, seperti air dalam becana, tidak bergelombang. Tapi nyatanya hidup di Jakarta bagaikan air dilautan yang penuh dengan riak riak gelombang.
      Bagaikan perahu ditengah samudra, yang terombang ambing dipermainkan oleh gelombang, akhirnya membawa Latief Syahril pada kehidupan yang semu, yang selama ini tidak pernah terbayang dalam hidupnya.
      Waktu di Jakarta, kata Syahril,  terlalu cepat berlalu, sehingga membuat orang orang di kota besar yang mega metropolitan itu harus berburu dengan waktu. Tidak ada waktu untuk ber ongkang ongkang di Jakarta jika perut ingin terus terisi.
      Mau tidak mau, senang atau tidak senang. Kita juga harus memburu waktu, kalau tidak waktu itu akan menggilas kita. Tutur Syahril sambil menyeruput kopi panas yang telah terhidang dihadapannya.
      Hidup menumpang dari satu kontrakan kekontrakan yang lain, Syahril harus melakukan pekerjaan apa saja, mulai jualan rokok,  dan barang barang elektronik kecil kecilan dikaki lima pasar Glodok. Sampai menjual kapur barus dengan cara menjajakannya disepanjang trotoar Glodok sampai kepasar Senin dan Tanah Abang.
      Dalam menjalankan usahanya untuk bertahan hidup, beberapa kali dia pernah terjaring oleh pentugas trantif DKI Jakarta. Barang barang dagangannya disita, dan dia diberi ancaman agar tidak lagi berdagang dikaki kaki lima diemperan toko toko yang ada di ibu kota. namun hidup perlu makan dan hidup adalah perjuangan. Ujar Syahril.