Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Chairil Anwar dalam Cinta yang Kandas

1 Desember 2017   00:21 Diperbarui: 1 Desember 2017   00:25 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta Yang Kandas :

Ketika Chairil sedang berhadapan dengan cinta, Chairil menuangkannya kedalam bait bait puisinya, apa lagi cinta yang dirajutnya terputus, yang membuat hatinya nelangsa, membuat pusi pusinya semakin romantic, seperti puisinya dibawah ini :

"Lagu Biasa " Ditears rumah makan kami kini berhadapan/Baru berkenalan Cuma berpandangan/Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam/Masih saja berpandangan/Dalam lakon pertama/Orkes meningkah dengan "Carmen" pula/Ia mengerling ia ketawa/Dan rumput kering terus menyala/Ia berkata suaranya nyaring tinggi/Darahku berhenti berlari/Ketika orkes memulai "Ave Maria"/Kuseret ia kesana (Maret 1943)

Dalam pertemuannya dengan seorang wanita yang bernama Mirat, Chairil menuliskan rasa cintanya yang dalam. Rasa cinta Chairil kepada wanita Mirat, seakan tidak terpisahkan, Chairil ingin cintanya kepada Mirat, hanya kematian yang dapat memisahkannya, tapi apa daya, cinta Chairil terhadap Mirat kandas ditengah perjalanan. Kisah cinta Chairil dengan Mirat ini terlukis dengan jelas dalam puisi yang diberinya judul Sajak Putih

" Buat Tunanganku Mirat " Bersandar pada tari warna pelangi/Kau didepanku bertudung sutra senja/Dihitam matamu kembang mawar dan melati/Harum rambutmu mengalun bergelut senda/Sepi menyanyi malam dalam mendoa tiba/Meriak muka air kolan jiwa/Dan dalam dadaku memerdu lagu/Menarik menari seluruh aku/Hidup dari hidupku, pintu terbuka/Selama matamu bagi menengadah/Selama kau darah mengalir dari luka/Antara kita mati datang tidak membelah../Buat Miratku Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,/Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati dialam ini!/Kucuplah aku terus, kucuplah/Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku..( 18 Januari 1944).

Dalam larik puisi " Senja Dipelabuhan Kecil " yang ditujukan Chairil kepada Sri Ajati, Chairil menceritakan tentang kesepiannya secara implicit, ketika hubungannya dengan Sri Ajati putus. Kelelahan dan kepasrahan dalam menunggu membuat Chairil begitu lelah, Namun dia tetap pasrah dengan qotrad yang harus dijalaninya.

Senja Dipelabuhan Kecil " buat Sri Ajati " Ini kali tidak ada yang mencari cinta/Diantara gudang, rumah tua pada cerita/Tiang serta temali, kapal, perahu tiada berlaut/Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut/Gerimis mempercepat kelam, ada juga kelepak elang/Menyinggung muram, desir hari lari berenang/Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak/Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak/Tiada lagi aku sendiri berjalan/Menyisir semenanjung masih pegap harap/Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan/Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa terdekap (1946).

Akhir Dari Perjalanan Cinta Chairil :

Puisi kepada Sri Ajati, tidak saja ditulis oleh Chairil dalam puisinya Senja Dipelabuhan Kecil, tapi Chairil juga menulis puisi kepada Sri Ajati dengan judul Hampa. Hanya ada tenggang waktu yang cukup lama antara puisi Senja Dipelabuhan Kecil yang ditulis Chairil Anwar tahun 1946, sedangkan puisi Hampa ditulis Chairil pada tahun 1943. Ada tenggang waktu tiga tahun.

Dalam puisi Hampa Chairil meyakinkan kepada Sri Ajati bahwa cintanya kepada Sri Ajati melebihi terhadap cintanya kepada wanita wanita yang lain yang pernah dekat dengan dirinya, hal itu bisa dilihat dari sub judul yang ditulis Chairi "Kepada Sri Ajati Yang Selalu Sangsi "

Sepi diluar sepi mendesak desak/Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak/Sampai kepuncak/Sepi memangut/Tak satu kuasa berani melepaskan diri/Segala menanti. Menanti-menanti/Sepi/Dan ini menanti penghabisan mencekik/Memberat-mencengkung punda/Udara bertuba/Rontok gugur segala setan bertampik/Ini sepi terus ada menanti menanti (Maret 1943)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun