Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengajukan uji materi terhadap Undang Undang No : 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kepada Mahkamah Konstitusi (MK).  Pengajuan uji materi itu  terhadap pasal 251 ayat (1), (2),(7), dan (8) UU Nomor : 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
      Putusan  yang dikeluarkan oleh MK  atas uji materi tersebut, bahwa frasa Peraturan Daerah (Perda )Provinsi dan yang tercantum didalam Pasal 251 ayat (7) serta Pasal 251 ayat (5) pada UU Nomor :23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya keputusan tersebut, maka Menteri Dalam Negeri tidak lagi bisa dan berwenang mencabut Perda Provinsi.
      Pertimbangan yang diberikan oleh MK dalam amar putusannya mengacu kepada putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada 5 April 2017. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Pasal 251 ayat (2), (3) dan (4) tentang Undang Undang Pemerintahan Daerah sepanjang mengenai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945.
      Didalam amar keputusannya itu juga menyebutkan, demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusi Mahkamah Agung (MA) bukan  wewenang MK.
      Dengan ditolaknya Uji Materi tentang Pasal 251 Undang Undang Pemerintahan Daerah, membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bingung. Kebingungan Presiden ini diungkapkan oleh Panglima TNI Jend Gatot Nurmantio. Kebingungan Presiden itu kata Gatot diceritakan oleh Presiden kepadanya, disebabkan banyaknya peraturan yang tidak bisa dipangkas,  karena kewenangannya dibatalkan oleh MK. Hal tersebut dikatakan oleh Palima TNI digedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakata Jumat malam (6/10/2017) seperti yang diberitakan oleh Kompas.com).
      Menteri dalam Negeri Tjahyo Kumolo telah memapras sebanyak 3000 aturan, namun MK menolak untuk menghapus peraturan peraturan tersebut. Akibatnya Menteri Dalam Negeri tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memangkas Perda yang ada didaerah daerah. Mulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota.
      Banyaknya Perda yang lahir didaerah daerah, yang tidak dapat untuk dicabut dan dibatalkan oleh Pemerintah pusat, disebabkan lahirnya UU Otonomi Daerah, sehingga muncul raja raja Kecil Didaerah yang melahirkan peraturan peraturan tersendiri didaerahnya. Dan yang ironisnya Perda Perda yang dilahirkan oleh raja raja kecil didaerah ini, terkadang bertentangan dengan hati nurani masyarakat, karena Perda Perda itu tidak berpihak kepada mereka, tapi melainkan berpihak kepada penguasa.
      Perda Perda itu dijadikan oleh para Kepala Daerah mulai dari Provinsi sampai kepada Kabupetn dan Kota, hanya untuk mencari pemasukan income sebanyak banyaknya, kemudian dari inkome Perda ini masuk kedalam kas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dari PAD ini kemudian mengalir kepundi pundi Kepala Daerah.
      Jika kita amati, banyak Perda yang lahir didaerah, bertentangan dengan UU Peraturan Presiden/Menteri dan Gubernur, pada hal secara juridisnya, Perda tidak dapat dijalankan apa bila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dari Perda. Tapi yang terjadi didaerah daerah, Kepala daerahnya seperti mengabaikan juridis hukum ini.
      Adanya putusan MK tersebut, kini Kepala Daerah sepertinya mendapat angin, karena setiap Perda yang dilahirkan oleh masing masing daerah,  tidak dapat lagi dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Dan ini akan menjadi peluang bagi Kepala Daerah untuk melahirkan Perda Perda baru yang bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi lagi, dengan alasan untuk meningkatkan PAD daerahnya.
      Kalahiran Perda yang dibidani oleh Kepala Daerah, baik Provinsi, Kabupaten/Kota, dampaknya akan berimbas kepada masyarakat kecil didaerah. Jikapun ada Perda yang berpihak kepada masyarakat kecil, bisa dihitung dengan jari. Maka wajar saja jika Presiden Jokowi menjadi bingung, karena sebagai Presiden dia tidak lagi mempunyai wewenang untuk melakukan pemangkasa terhadap peraturan peraturan yang ada didaerah.