Hari Senin (11/9/2017) yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadwalkan memanggil Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) untuk diperiksa dalam kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Pemanggilan terhadap Setnov, adalah merupakan pemanggilan untuk pertama kali setelah Setnov ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tiga bulan yang lalu.
Walaupun saat ini Setnov yang juga Ketua DPP Partai Golkar, menempuh jalur hukum melalui proses praperadilan terhadap kasus yang membelitnya. Namun menurut juru bicara KPK Febriansyah, tidak ada satupun undang undang yang bisa menghalangi pemeriksaan terhadap Setnov. Praperadilan yang ditempuh oleh Setnov tidak ada sangkut pautnya dengan pemeriksaan dirinya sebagai tersangka.
Akan tetapi pada hari yang telah dijadwalkan oleh KPK untuk memeriksa Setnov, yang bersangkutan mangkir dari panggilan KPK. Mangkirnya Setnov atas pemanggilan KPK, karena menurut yang bersangkutan, pihaknya sedang mengalami sakit dan dirawat dirumah sakit. KPK kemudian melalui juru bicaranya mengatakan akan menjadwal ulang pemanggilan terhadap Setnov.
Kini masyarakat bertanya tanya, apakah Setnov pimpinan Partai Politik dan juga pejabat Negara yang taat hukum? Karena pemanggilan terhadap Setnov yang telah dilayangkan oleh KPK kepadanya untuk diperiksa oleh KPK adalah dalam kaitan hukum. Sebagai rakyat dan juga sebagai pejabat public yang taat hukum, Setnov akan menghadiri panggilan KPK. Tapi nyatanya pada hari Senin (11/9/2017) itu, Setnov berhalangan hadir dengan alasan sakit.
KPK kembali menjadwalkan ulang atas pemanggilan Setnov, tentu banyak pihak berharap untuk pemanggilan yang kedua kalinya, diharapkan Setnov dapat menghadirinya, karena kehadiran Setnov atas panggilan KPK akan menjadi contoh bagi rakyat Indonesia. Bahwa sesungguhnya setiap rakyat harus taat kepada hukum, kendatipun bahwa rakyat tersebut memiliki jabatan dipemerintahan, pejabat public, maupun sebagai ketua partai Politik.
Sejak terbongkarnya kasus degaan mega korupsi dana proyek pengadaan e KTP yang ditengarai merugikan Negara lebih kurang Rp 2,3 triliun, dari pagu proyek pengadaan e KTP sebesar lebih kurang Rp 5,8 Triliun, nama Setnov dengan nama puluhan anggota DPR RI lainnya terbawa bawa masuk kedalam pusaran kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan e KTP.
Masuknya nama Setnov dalam barisan kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan eKTP, Setnov tetap membantah bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan e KTP tersebut.
Walaupun KPK telah menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan eKTP, Setnov tetap berkeras tidak mengakui jika dirinya terlibat, terakhir untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus korupsi berjemaah itu, dia menempuh jalur hukum mempraperadilkan KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka.
Bantahan yang dilakukan oleh Setnov bahwa dirinya tidak ikut dalam barisan kasus dugaan mega korupsi dana proyek pengadaan eKTP, tidak ada bedanya dengan apa yang pernah dilakukan oleh Anas Urbaningrum, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) dalam kasus korupsi dana pembangunan wisma atlit Hambalang Bogor.
Nazararuddin, mantan Bendaharawan PD, dengan jelas dan secara berulang ulang dalam setiap persidangan yang menjeratnya dalam kasus yang sama, mengatakan bahwa Anas Urbaningrum turut terlibat dalam kasus korupsi dana proyek pembangunan wisma atlit Hambalang Bogor, namun secara mati matian pula Anas Urbaningrum membantah bahwa dirinya terlibat dalam kasus korupsi dana proyek pembangunan wisma atlit hambalang bogor.
Bahkan bantahan Anas Urbaningrum yang cukup phenomena, sehingga mengundang decak kagum rakyat negeri ini, Anas mengatakan " Jika ada satu senpun uang proyek pembangunan wisma atlit yang dimakan Anas, gantung Anas di Monas". Tapi kenyataannya, ketika Anas Urbaningrum dijadikan tersangka oleh KPK, dan kemudian kasusnya lanjut kemeja Hijau, Hakim yang menyidang Anas menjatuhkan ponis kepadanya, karena Anas Urbaningrum terbukti dan meyakinkan jika dirinya turut terlibat dalam korupsi dana pembangunan wisma atlit Hambalang.