Sebelumnya baca disini
Suara deru sepeda motor terdengar dari kejauhan, walaupun orang yang mengenderainya belum terlihat, tapi para kuli cukup mengenali suara deru mesin sepeda motor itu. Para kuli tadinya bercerita berkelompok kelompok, kini mereka membubarkan diri dan masing masing kuli melakukan tugas pekerjaannya. Karena mereka tahu bahwa yang datang itu adalah mandor Sarmin. Hartini, Parni dan Sutinah memilih pekerjaan saling berdekatan agar mereka dapat untuk berbisik bisik.
Sampai dipembibitan, mandor Sarmin turun dari sepeda motornya, lalu mengitari lokasi pembibitan. Dengan angkuhnya mandor Sarmin memberi petunjuk kepada kuli. Kebiasaannya memegangi para kuli wanita, hari itu tetap dilakukannya. Nafisah melihat semua kelakuan mandor Sarmin, perasaannyapun tidak menentu.
" Sepertinya kau kurang tidur ?", tangan mandor Sarmin mencolek buah dada Nafisah. Nafisah hanya bisa pasrah. Hartini, Parni dan Sutinah memandang dari tempat kerjanya.
" Kenapa kau tidak bisa tidur, apakah kau membayangkan saya didalam tidurmu ?", tangan mandor Sarmin berpindah kearah wajah Nafisah, Nafisah tetap diam.
" Nafisah saya masih berlaku baik denganmu. Saya minta agar kau dengan suka rela mau menjadi gundik saya?", Nafisah tetap diam.
" Tetapi jika kau tidak mau menjadi gundik saya, saya akan melakukannya dengan kekerasan ", mandor Sarmin memukulkan tongkat rotan yang sering dibawanya keatas tanah. Nafisah tetap diam, dia tetap melakukan pekerjaannya.
" Hartini ! ", suara mandor Sarmin menggelegar, laksana petir disiang bolong ditelinga Nafisah.
" Kamu dipanggil tuan mandor ", Sutinah memberi tahu kepada Hartini. Para kuli memperhatikan kearah mandor Sarmin. Dilangit terik mata hari semakin menyengat, tidak ada tempat perlindungan para kuli, karena pembibitan masih ditumbuhi oleh pohon pohon sawit yang masih rendah.
Sama seperti nasib para kuli, mereka tidak pernah mendapatkan perlindungan, baik dari para petinggi perkebunan maupun tuan pemilik perkebunan. Para petinggi perkebunan dan mandor masing masing ingin untuk mempertahankan kekuasaan mereka terhadap para kuli. Sebagai kuli nasib mereka sama dengan pohon sawit yang mulai tumbuh, belum berdaun rindang, sehingga mereka hanya bisa berpasrah disiram sinar mata hari pagi yang terik.
Begitulah kekuasaan seorang mandor diperkebunan terhadap kulinya. Para kuli diperlakukan secara tidak manusiawi, walaupun mereka diberi gaji, tapi gaji yang mereka terima hanya bisa untuk membayar hutang, dan berikutnya mereka kembali berhutang. Mereka juga mendapatkan catu beras, tapi beras yang mereka terima dan mereka makan penuh dengan kutu. Ini menandakan beras catu yang diterima oleh para kuli berkualitas rendah. Cara kerja kuli tidak jauh beda dengan cara kerja rodi yang dilakukan oleh bangsa Kolonial jauh sebelum Indonesia merdeka.