“ Disekolah yang elit dan mutu pendidikannya hebat, kalau muridnya bodoh ia tetaplah bodoh. Sebaliknya jika walaupun sekolahnya tidak elit dan mutu pendidikannya rendah, tapi jika siswanya pintar pintar sekolah itu akan menjadi hebat”. Azis menyambung perkataannya yang semapat dipotong oleh Jamal.
“ Lagi pula jika aku sekolah di Sinaboi ini, aku bisa ikut melaut sama ayah, jika hari hari libur. Kan lumayan bisa membantu biaya sekolah”. Jamal menuturkan kenapa dia tidak bersekolah diluar Sinaboi.
“ Kalau kau Zis menyambung kemana?”, Tanya Jamal.
“ Mungkin aku tak menyambung”. Jawab Azis singkat, walaupun dalam hatinya diua masih mempertimbangkan tawaran dari Meilan dan keputusan dari ibunya.
“ Kenapa kau tak melanjutkan?”, susul Jamal lagi.
“ seperti yang kau katakan tadi, sekolah perlu biaya”.
“ Kita menyambung di Sinaboi ini saja, sewaktu waktu kita bisa melaut untuk mencari uang”, Azis terdiam sesaat, dia membenarkan juga apa yang disarankan oleh temannya ini.
“ Betul juga kau bilang itu Mal, kalau kita sekolah di Sinaboi ini, siang pulang sekolah kita bisa menjaring ditepi tepi pantai itu. Dan hasilnya bisa untuk menambah biaya sekolah kita”, Bono termaka hasutan yang disampaikan oleh Jamal.
“ Iya, dari pada kita tak sekolah, mau jadi apa”, kata Jamal pula. Ketiganya terus melangkah untuk menuju pulang kerumah. Sebagai biasa pula dipersimpangan Balai Desa ketiganya berpisah.
“ Besok jam berapa kita kesekolah”, Jamal bertanya sebelum ia membelok kearah kiri
“ jam sepuluh pagi”, jawab Bono. Lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Azis. Jamal juga membelok kekanan. Azis dengan hati yang bingung dia juga melanjutkan langkahnya menuju rumah.