Mohon tunggu...
Wisnuaji Gagat Priambada
Wisnuaji Gagat Priambada Mohon Tunggu... lainnya -

Lelaki yang 'terpaksa' mencari nafkah di dunia IT. Penikmat kopi. Sangat benci ketika kopi di cangkir sudah habis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Self Reminder: Pelajaran Setelah Nginep di Rumah Sakit

28 Agustus 2015   22:48 Diperbarui: 28 Agustus 2015   22:48 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lalu saya banyak berkutat di RS Siloam Surabaya. Anak saya opname sejak Ahad sore lalu hingga Kamis siang. Kebetulan anak dua-duanya kompak opname semua.

Terkena bronkopneumonia. Singkatnya, ada radang di saluran napas kecil pada paru-paru. Selain itu ada dahak-dahak beberapa bagian paru-parunya. Penyebabnya virus atau bakteri. Kebetulan dalam kasus anak saya, menurut dokter, penyebab awalnya karena batuk pilek yang tidak bisa dikeluarkan dahaknya. Dahaknya malah ditelan sehingga lama kelamaan mengendap dan menimbulkan virus/bakteri. Detilnya tentang broncopneumonia silakan digoogling sendiri ya :D

Memang orang jawa ini selalu melihat “untung”-nya. Masih sakit saja tetap merasa masih “beruntung”. Hehe... Bagaimana bisa? Lha kata dokternya masih “untung” baru broncopneumonia, belom sampai pneumonia. Kalau sudah pneumonia, yang bengkak paru-parunya bukan hanya saluran-saluran yang seperti akar. Penyembuhan makin susah dan lama. “Untung”-nya lagi, menurut dokter tersebut, penyakit ini tidak akan berpengaruh pada kesehatan paru-parunya di kemudian hari, baik saat masih kecil mau pun sudah besar, asal penyembuhannya total. Awalnya sempat khawatir nanti terbawa hingga dewasa menyebabkan masalah di paru-parunya. Syukur deh… Alhamdulillah….

Nginap di rumah sakit selama lima hari empat malam memang benar-benar memberi banyak pelajaran mengenai “rasa beruntung”. Beberapa kali tegur sapa dengan orang tua yang sakitnya mungkin lebih parah dibanding sakit anak saya. Beberapa kali pula melihat anak yang menurut saya kondisinya lebih kurang beruntung.

Ada seorang anak usia satu setengah tahun , sebaya dengan Rinjani anak bungsu saya, namun anak itu bahkan belum bisa duduk sendiri. Bisa guling-guling pun belum lama. Lain hari, bertemu anak yang saya tidak tahu apa sakitnya karena tak sempat bertegur sapa dengan orang tuanya. Yang jelas bentuk wajahnya menunjukkan ada “perbedaan” pada anak itu. Mata cekung, bentuk kepala agak lancip ke atas. Entah autis atau apa saya kurang tahu. Ada dua anak seperti itu yang terlihat.

Lain lagi dengan seorang anak yang kamarnya di sebelah kamar saya. Di usianya yang baru dua setengah tahun, dia terkena virus yang menurut cerita orang tuanya menyerang saluran koroner jantung. Ketika ngobrol dengan saya, bapak anak tersebut terlihat lesu keletihan.

Tak terbayang, betapa kesabaran orang tua mereka benar-benar diuji. Lha wong saya melihat Raras –si sulung– nangis sambil teriak-teriakpas dipasang infus aja sudah serasa teriris-iris pisau kok. Kalau bahasa jawanya, Raras nangisnya mbeker-mbeker. Hehe..Ndilalah kok ya Raras harus beberapa kali bongkar pasang infus gara-gara tingkahnya yang banyak gerak lari sana sini, naik turun ranjang, akhirnya infusnya ketarik.

Itu baru ngeliat si kecil nangis karena bongkar pasang infus ajarasanya sudah seperti itu. Apalagi yang dirasakan orang tua anak-anak yang tadi saya ceritakan. Tapi saya yakin Allah maha adil. Tentu dibalik kondisi anak-anak tadi yang kurang beruntung, Dia akan memberi kelebihan lain. In syaa Allah.

Meliha itu semua, sungguh saya merasa masih sangat beruntung, karena sakit anak-anak saya masih tergolong “tidak terlalu parah”. Setidaknya jika dibandingkan anak-anak yang saya ceritakan tadi. Benar-benar pelajaran berharga yang menohok saya. Karena saat saya mendengar ucapan dokter yang menyuruh anak saya opname, saya sempat menggerutu dalam hati. Kalau bahasa jawanya nggresulo :D

Pelajaran tak berhenti sampai di situ. Masih pada rentang waktu yang sama, saya melihat langsung seseorang yang saya kenal jatuh dari kursinya dan terkapar karena terlambat cuci darah akhirnya drop. Tak perlu saya ceritakan detilnya, namun pelajaran yang dapat diambil bahwa sungguh kesehatan ini mahal harganya. Bahkan ketika biaya pengobatan sudah ditanggung kantor atau asuransi atau mungkin punya harta melimpah untuk biaya pengobatan, tentu tidak ada yang ingin sakit. Siapa yang mau harta melimpah tapi tak bisa kentut? Hayoo angkat tangan! Siapa yang mau emas segunung tapi pipis-nya harus lewat selang terus? Hayoo angkat tangan! Siapa mau mobil mewah seratus buah tapi hidungnya upilan terus? Hayoo angkat tangan! Ups…

Saya yakin tidak ada yang mau sakit walau harta melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun