[caption caption="@Wsukmantoro"][/caption]Hampir satu minggu, isu gajah memborbardir berita utama Kompas minggu lalu. Isu gajah menjadi berita utama adalah hal yang jarang terjadi tetapi ini menyiratkan betapa pentingnya perlindungan gajah ditengah habisnya hutan alam di seluruh sumatera dan rentannya terhadap konflik manusia dan perburuan liar.
Sampai akhir tahun ini, 70-80% populasi gajah berada di wilayah konsesi perusahaan dan binaan masyarakat. Kondisi ini sangat ekstrim dimana populasi spesies berbadan besar ini harus berhadapan dengan manusia secara langsung.Â
Konflik tidak dapat dihindarkan sehingga menimbulkan korban kedua belah pihak dan menjadi peluang dan akses perburuan gading. Sebaran konflik dan perburuan terjadi di Aceh, Riau dan Lampung. Ke-3 kawasan ini adalah paling potensi terhadap populasi gajah dan paling tinggi ancamannya. Catatan kematian gajah terhampar di tiga propinsi ini.
Di Riau dari 10 kantong gajah terkini, hampir semua tidak punya kantong-kantong perlindungan, jika konflik terjadi, masyarakat pasti kesulitan melakukan pengusiran karena tidak ada tempat bagi gajah, sedangkan potensi gajah masuk ke pemukiman atau kebun dan ladang semakin meningkat.Â
Konsesi perusahaan yang mengonversi lahan sangat besar, terutama kelapa sawit dan karet, menimbulkan dampak konflik juga bagi perusahaan. Meskipun konflik terjadi dan intensitas dapat meningkat atau stabil, kematian gajah sampai tahun 2014, meningkat di banyak tempat.
Peluang perburuan tinggi karena akses informasi tentang keberadaan gajah lebih tinggi di wilayah konversi lahan. Beberapa catatan, perburuan gading terjadi dengan motif murni perburuan atau dengan dalih konflik.Â
Perburuan dilakukan dengan senjata (catatan tahun 2015 di Riau dan Jambi) dan racun (Aceh, Riau, Jambi dan Lampung). Penggunaan senjata relatif jarang dibandingkan racun dan penggunaan racun dimulai untuk tujuan konflik dan dipasang random, untuk perburuan ditujukan ke gajah jinak, kemudian racun dipakai untuk gajah liar untuk tujuan gading.Â
Dari sejumlah kasus perburuan, baru dua kasus yang signifikan tertangani yaitu melibatkan 7 tersangka yang sudah divonis di pengadilan negeri Bengkalis dan Pelalawan, Riau untuk perburuan dengan total 8 gading gajah pada bulan Februari 2015. Sedang, kasus-kasus lain sejak 7 tahun terakhir hanya mandek di penyelidikan karena kurang bukti.
Banyak kantong gajah di sumatera tersebar dari Aceh sampai Lampung, beberapa diantaranya menjadi target penguatan perlindungan di masa kini misalnya Leuser, Tesso Nilo, Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas.Â
Dari regulasi, kantong gajah ini didukung oleh status perlindungan dalam kebijakannya. Tetapi dalam implementasi, reputasi KemenLHK dan mitranya saat ini dipertaruhkan terutama keseriusan dalam perlindungan satwa liar ini termasuk persoalan kebijakan dan mendorong pemulihan ekosistem satwa ini.
Isu gajah adalah isu yang perlu penyiapan situasi krisis sehingga penanganan perlu spesifik dan fokus. Mengapa sebagai situasi krisis? Tahun 2012, Gajah Sumatera ditetapkan sebagai spesies yang sangat kritis dan terancam punah, naik status dari status terancam punah.Â
Naik status punya implikasi dua arah; meningkatkan kepedulian tentang perlindungan populasinya (mendorong respon krisis) dan menciptakan problem baru yaitu ketertarikan manusia meningkat dan lebih berupaya untuk berburu.Â
Situasi krisis mendorong upaya emergensi dan beberapa strategi yang dapat dilakukan Kementerian LHK dan mitranya.Â
Pertama, penguatan implementasi monitoring dan pengamanan populasi dan habitat satwa ini di lokasi-lokasi kunci. Pengamanan ketat pergerakan gajah dan memastikan gajah aman dari konflik dan perburuan di habitatnya termasuk di konsesi perusahaan binaan masyarakat.Â
Kedua, pemulihan habitat gajah dengan mengambil alih konversi hutan di kawasan-kawasan konservasi atau yang disediakan bagi gajah dari okupansi lahan oleh perusahaan atau masyarakat.Â
Ketiga, konservasi ex-situ dengan strategi rehabilitasi dan program pelepas liaran di lokasi target.Â
Keempat, proteksi ketat kawasan konservasi yang spesifik dan target sebagai wilayah perlindungan terakhir. Beberapa asumsi adalah mengenai inbreeding depression sangat cenderung terjadi sehingga tidak banyak variasi gen pada gajah keturunan, dampaknya jika terjadi penyakit, kematian massal gajah dapat lebih sering terjadi.Â
Kelima, kepedulian terhadap potensi serangan virus herpes atau penyakit lainnya  yang dapat berakibat kematian masal gajah dalam waktu singkat.
Bagaimana posisi Kementerian LHK? Wilayah strategis kementerian ini adalah sebagai motor dalam membangun situasi krisis tersebut terutama sebagai stimulator dalam pengawasan pergerakan gajah secara ketat dengan melibatkan mitra potensial, mendorong penguasaan kawasan konservasi secara total dan kemudian pemulihan ekosistem serta pengembangan strategi ex-situ untuk tujuan pemulihan populasi termasuk melibatkan Pusat Konservasi Gajah.Â
Saat ini dalam implementasi sebagai rumah sakit gajah dan proses untuk tahap rehabilitasi dan pelepasliaran ke alam. Kelima, mendorong perusahaan konsesi menyiapkan kawasan koridor gajah untuk tujuan penggiringan terakhir gajah. Jika dari strategi ini menurunan laju kematian satwa ini dalam skala pulau, tentu upaya yang dilakukan adalah terbukti efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H