Mohon tunggu...
Widhio Setyo Nugroho
Widhio Setyo Nugroho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang besar lahir dari mimpi besar ; "Kontemplasi Hidup, cita-cita besar dan bergerak sinergis"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merangkai Pertanyaan dan Ulasan Pendidikan ITS

25 Januari 2015   04:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:25 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menarik membaca tulisan dari saudaraErry Yulian Triblas Adesta, yang bertopik “Harga” Dosen Naik, Peringkat Universitas Turun, sebagai bentuk tanggapan dari tulisanRhenald Khasaliyangbertopik Naiknya “Harga” Dosen yang dipublish di harian Kompas September 2014 silam. Membuatsaya terbayang-bayang jauh memikirkan soal Pendidikan kali ini. Ya, secaratidak langsung komparasi tulisan tersebut melahirkan suatu paradigma yang utuh dan saling melengkapi tentang fenomena pendidikan kekinian, tidak hanya dari suprastruktur, namun juga dari tinjauan humanitas dan karakter pendidik tempo ini. Hal tersebut ternyata juga memiliki korelasi yang erat dengan apa yang terjadi di Institusi tempat saya “mendewasakan” pemikiran, yakni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Sejak tertanggal 17 Oktober 2014, ITS telah ditetapkan statusnya sebagai PTN-BH melaluiPeraturan Pemerintah (PP) nomor 83 tahun 2014, hal ini secara otomatis merubah status pengelolaan ITS yang berbentuk Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Badan Hukum (PTN-BH). Sesuai dengan kodratnya, lembaga apapun yang berstatus Badan Hukum (BH) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking)dan juga mempunyai harta kekayaan sendiri, dimana harta perusahaan dan harta pribadi dipisahkan secara jelas. Konteks khusus dari pemisahan kekayaan dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) telah tercantum jelas padaPP nomor 4 tahun2014 Pasal 24 ayat 1, yang menyatakan “Kekayaan awal PTN Badan Hukum berasaldari kekayaan Negara yang dipisahkan kecuali tanah”. Dimana unsur kekayaanpribadi ditafsirkan sebagai kekayaan pemerintah—pendiri Perguruan Tinggi Badan  Hukum yang dimaksud, dan harta perusahaan ditafsirkan sebagai harta dari PTN-BH tersebut.

Lantas kaitan di mana?

Perguruan Tinggi Badan Hukum

Secarakelembagaan, perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi yang dimaksud, mencangkup pada otanomi di bidang Akademik dan bidang non Akademik. Ejawantahan dari bidang Akademik, melingkup pada penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan dari Tridharma Perguruan Tinggi tersebut. Sedangkan, untuk bidang non Akademik, melingkup pada pelaksanaan organisasi,keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Sebagai kampus yang tengah mengalami transisi pengelolaan, tentu penentuan arah kebijakan tidak bisa serta merta dilakukan secara normatif atau bahkan mengambil referensi darisistem yang telah berhasil (?) sebelumnya, karena kondisinya berbeda. Perlu sosok mental-mental yangentrepreneurial dan transformatif, guna menyusun langkah strategis yang terbaik serta taktis demi memenuhi “check list” PerguruanTinggi Negeri Badan Hukum sesungguhnya. Dalam otonomi pengelolaan bidang akademik, hal yang menjadi sorotan adalah terkait pembukaan, perubahan dan penutupan Program Studi. Sudah tentu, ini bukan sekadar tambal sulam untuk meningkatkan citra kualitas institusi di mata masyarakat dalam menjawab “kebutuhan” industri kekinian. Tapi juga mempertimbangkan aspek non akademik secaracheck and balance, semisal dari kebutuhan akan ketenagaan, kemahasiswaan ataupun keuangan yang menopang terselenggaranya kegiatan akademik. Semestinya itu juga dipertimbangkan matang-matang.

Tenaga Pendidik dan Pengaruhnya

Mengacu pada sorotan permasalahan di atas, telah dijabarkan dalam ulasanRhenald Khasali, bahwa dunia akademik saat ini memasuki babak baru. Dimana menjadi “kabar gembira” bagi dosen-dosen yang berdedikasi dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahliannya dan sekaligus “kabar menarik” bagi rektor-rektor yang kampusnya telah berstatus PTN-BH. Beliau mengulas, bahwasanya secara manajerial rektor harus mampu mengelola dan bekerja lebih keras untuk mencari dana-dana baru di luar uang kuliah yang di bayar oleh mahasiswa. Implikasinya apabila gagal, maka kampusnya akan ditinggalkan atau ketinggalan jaman, bahkan beberapa biaya yang menopang sektor lain akan menjadi korban “menambal” biaya lainnya yang lebih di prioritaskan. Oleh karena itu, tak jarang muncul bisikan pahit-pahit sedap yang menyebar seantero kampus tersebut. Hehe. Ya biasanya, lingkup bisikan akibat kurangnya biaya tak jauh-jauh dari lingkup kemahasiswaan, perawatan fasilitas kampus dan juga insentif atau tunjangan untuk dosen/karyawan di kampus, yang kemudian juga mempengaruhi dari reputasi dan akreditasi kampus. Hmmm sungguh pertaruhan yang sedap.

Nah, bagi dosen yang telah disebutkan sebelumnya memiliki kualitas “prima”dalam riset dan produktif dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, justru beliau akan menjadi komoditi “rebutan” bagi pimpinan Universitas yang cerdik dan eksploitatif serta tentunya bermodal dengan memberikan berbagai macam fasilitas riset yang memumpuni untuk menunjang karier. Dan terang saja, “harga” dosen dengan kualitas prima akan naik setinggi langit. Secara oportunis, bisa saja sang dosen memilih dengan sedikit mengabaikan marwah yang dimiliki dan etos sebagai seorang pendidik bagi institusinya dan mahasiswanya, toh kemudian dapat dibangun pada institusi menerimanya dengan “layak”. Ya walaupun memang telah ada sistem (Pemendikbud No. 84/2013) yang mengikat dosen untuk tetap tinggal atau menetap di Kampus tersebut. Karena faktor NIDN dan NIPN yang dijadikan jaminan karier dosen, maka tidak bisa serta merta di klaim oleh universitas lain. Tapi bukan berati tidak bisa lho, sebab bisa saja ada transaksional “belakang meja”, karena sifatnya NIDN ini tergantung darihomebaseddosen bersangkutan, seperti dilansir pada Surat Edaran No:1130/E4.1/2012Perihal Pengajuan NIDN Baru dan perubahan data dosen, dengan acuan diktum 3: “Semua pengajuan sebagaimana disebut di diktum 1 di atas (Surat Edaran tersebut, red), harus melampirkan surat pengantar dari pemimpin perguruan tinggi pengusul”. Berati otomatis ketika pimpinan perguruan tinggi pengusul setuju, maka dosen dapat berpindah tempat. Tentu tak semudah membalikkan telapak tangan, “kompensasi” atas kehilangan tentu sebuah jawaban.

Lantas semudah itukah membuka program studi baru dengan memenuhi ketenagaan dengan “mencomot” dari Universitas lain yang dosennya memumpuni, untuk menjaga akreditasinasional?

Jika tidak dengan cara demikian, apakah cukup dengan car hanyainbreedingsaja? Tentu kalau ini caranya,bisa ditebak kualitasnya tidak jauh-jauh dari sebelum-belumnya.

Bagaimanadengan isu pemekaran jurusan yang saat ini marak terjadi di lingkup ITS dengan status belum stabilnya pengelolaan PTN-BH?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun