Mohon tunggu...
Widhio Setyo Nugroho
Widhio Setyo Nugroho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang besar lahir dari mimpi besar ; "Kontemplasi Hidup, cita-cita besar dan bergerak sinergis"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yuk, Membangun Generasi Negarawan

21 Januari 2014   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terhitung mundur dari awal Januari 2014, hari ini tepat sudah 3 minggu sejak Gong Tahun Politik 2014 digenderangkan, hal ini menandakan persaingan politis bergulir. Banyak tokoh lama (konservatif) yang kembali ditimbulkan untuk menunjukkan kematangan berpolitik dalam berkiprah dalam gelanggang politik yang sama, dan banyak juga tokoh-tokoh kontemporer yang membawa rona baru dalam dinamika berpolitik sebagai sosok yang muda, enerjik dan grassroot understanding. Namun, tetap saja tokoh-tokoh tersebut harus mau-tidak mau menghadapi polemik tahun-tahun ketidakpastian tokoh yang mulai menggema pada akar rumput seiring dengan dinamika sosial politik yang cenderung mengalami degradasi, baik dari wadah politik ataupun figur yang berkecimpung di dalamnya. Ada tokoh yang tersirat diuntungkan dengan kasus-kasus yang merebak dalam internal Partai politik lain dan ada pula yang harus menanggung aroma sangit dari bahtera politik yang ditungganginya saat ini. Ya, perlu kita sadari bahwa figur-figur tersebutlah yang akan jadi pemimpin-pemimpin kita selama 5 tahun mendatang.

Perlu kita tahu, bahwasanya demokrasi yang kita hadapi kali ini tidaklah sama dengan yang lama, ruang publik telah menjadi tontonan yang asyik dan terbuka lebar seiring dengan sikap keterbukaan, dinamisasi, fleksibilitas dan toleran. Ujung-ujungnya perlu juga kita sadari bahwa hal ini dapat menimbulkan tantangan penyakit sosial, yakni apolitis atau lebih parahnya apatisme. Banyak kawan yang saya tanya, cenderung untuk memilih ‘tidak memilih‘, bukan karena perbedaan ideologis yang menjadi dasar pemikiran—atau boleh jadi jadi kita saat ini sudah berideologi ‘tidak ideologi‘ (?), tapi lebih karena hal ini merupakan bentuk perlawanan terakhir yang bisa ditunjukkan pada hagemoni kekuasaan yang tentatif dari segi kebijakan dan tidak menimbulkan kedekatan emosional (kesejahteraan) sebagai wujud Desentralisasi mimpi Demokrasi. Secara statistik, dinamika tren Golongan Putih semakin menjanjikan bakal terjadi kenaikan yang signifikan, pada pemilu 1999 (golput 10,21%), pemilu 2004 (golput 23,34%), dan pemilu 2009 (golput 39,10%), dan perlu kita taksir bersama berapa persen kira-kira nanti ketika Pemilu 2014, apakah diatas 50%? 55%? Atau bahkan seorang Presiden terpilih tidak lagi memiliki massa (kekuatan berdaulat), setelah beliau saat ini juga dikucilkan dalam konstitusi? Oh presidenku, sungguh malangnya dikau.

Lanjut pada persoalan keterbukaan ruang publik untuk diakses masyarakat, utamanya pada kaum muda yang digandrungi media sosial. Dalam konteks keterbukaan dalam pemilihan umum, pemuda lingkup umur 17-21 tahun memiliki jumlah konstituen sekitar 19,7 juta orang (Sensus Penduduk 2010). Sebuah jumlah yang signifikan untuk menentukan arah kebijakan pemerintah mendatang melalui pemimpin-pemimpinnya. Namun nyatanya pemahaman politik pada diri pemuda akan seorang yang terjun pada politik yang kemudian tercitrakan keluar belum dalam lingkup substansinya, yakni dilihat pada keinginan mewujudkan kenegaraan yang berdaulat, memiliki kebijaksanaan, cakap dan terhormat dalam mengelola aktifitas kenegaraan/pemerintah baik lingkup Nasional maupun Internasional, seperti tercermin dalam arti Negarawan dalam kamus Merriam-Webster. Hal ini juga bisa menimbulkan apolitis atau apatisme. Butuh pencerdasan politik tersirat secara komunikatif dan mengakar pada kultur masyarakat! Lihat saja bagaimana, sosok Barrack Obama dahulu, yang mampu secara revolusioner menggaet target konstituen pemuda untuk memilih beliau sebagai Presiden USA, atau kita boleh bandingkan dengan sosok Jokowi dengan memacu harapan untuk menggapai hal yang lebih besar bersama, bisa juga dengan gerakan #Turuntangan yang mampu mengakomodir mimpi atau ide transformatif dalam penetrasi pada komunitas-komunitas untuk bergerak pada masyarakat sesuai minatnya—begitu pula oleh Ridwan Kamil, namun perlu kita ketahui, kadang popularitas yang dibangun melalui media maya itu nyatanya semu, namun secara paradoks hal ini juga memberikan pencerdasan politik yang nyata dan transformatif dalam memaknai arti/konsep politik kenegaraan secara sesungguhnya. Pada poinnya memang kematangan politik wajib dimiliki oleh setiap orang yang ingin masuk dalam dunia politik, namun juga jangan sampai lupa ya, bahwasanya generasi dibawahnya ini perlu dicerdaskan guna mengurangi pretensi politik, karena kita masih labil, suka membully, instan, dinamis dan pemikir tangguh. :)

Ya, mengingat ini sudah berjalan 3 minggu, selanjutnya kita mau apa dan bagaimana? Yuk mulai belajar dan peka terhadap dinamikan Sosial Kenegaraan. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun