Mohon tunggu...
Tomi Satryatomo
Tomi Satryatomo Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Media

Seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Masakan Indonesia di Riyadh

11 Desember 2009   18:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Tempat Mang Didin mah bukan restoran, tapi cuma rumah makan." Dalam hati saya bingung. Sepengetahuan saya, tak ada bedanya restoran dengan rumah makan. Tapi saya menahan diri untuk berdebat. Mang Didin masih sibuk membungkus makanan pesanan kawan saya. Gerakannya agak gemulai, tapi gesit, mondar-mandir antar dapur dan ruang makan. Wajahnya ramah, meski masih menyisakan lelah. "Mang Didin udah di sini teh sembilan tahun," katanya dengan logat Sunda yang kentara. 'Teh' bagi orang Sunda bisa berarti daun teh, tapi juga bisa berarti frasa untuk menekankan makna sebelumnya. Ia berasal dari Bandung. "Cipaganti persisnya," sahutnya cepat. Di Riyadh, ia mengelola rumah makan kecil, dengan nama 'Rindu Alam'. Kawan-kawan yang sudah lama di sini mengatakan mang Didin dulu pernah bekerja di rumah makan 'Rindu Alam' yang tersohor di kawasan Puncak, Cianjur, itu. Jangan bayangkan rumah makan di ibu kota Saudi Arabia ini menyajikan pemandangan yang spektakuler dengan hawa yang sejuk. Rumah makan 'Rindu Alam' di Riyadh terletak di kawasan ar-Raodah, sekitar 20 menit perjalanan dari pusat kota. Untuk ukuran Indonesia sekalipun, rumah makan ini tampak sederhana, dengan dominasi warna hijau. Meja-meja panjang digelar untuk makan di tempat. Suasananya mengingatkan rumah-rumah makan di dekat tempat-tempat kos mahasiswa. Tapi, kata kawan-kawan Indonesia di Riyadh, inilah rumah makan Indonesia terbaik di kota ini. "Rasanya pas," kata seorang kawan yang sudah tiga tahun tinggal di Riyadh. "Di sini yang makan hanya orang-orang elit," kata mang Ade, supir taksi asal Purwakarta yang mengantar kami ke sana, "Supir-supir mah gak ada yang makan di sana." Saya mencobanya pertama kali saat diundang buka puasa oleh komunitas ahlan-Riyadh di istirah al-Zaim. Komunitas ini sebagian besar terdiri dari para profesional telekomunikasi Indonesia. 'Istirah' adalah rumah sewaan, yang menjadi tempat favorit untuk kumpul-kumpul, karena di balik tembok yang tinggi, orang bisa berlaku lebih bebas, termasuk melepas abaya bagi wanita. Setelah berbulan-bulan dijejali makanan India, Italia, Arabia dll, saya tak bisa menahan diri melihat jejeran makanan Indonesia. Ada gado-gado, gule kambing, sate ayam, sayur mayur bahkan krupuk. Tak terasa saya sudah bolak-balik dua-tiga kali. Berbekal pengalaman menyenangkan ini, pada akhir pekan terakhir saya di Riyadh, saya minta mang Ade mengantar ke rumah makan Rindu Alam. Fyi, akhir pekan di Saudi jatuh pada Kamis dan Jum'at. Jalanan yang sepi menjelang buka puasa membuat taksi bisa melaju dengan leluasa. Saya sudah reservasi sebelumnya karena khawatir tak kebagian tempat duduk. Tapi ketika kami datang, restoran masih sepi. Tanpa basa-basi mang Didin langsung menggelar makanannya a la rumah makan Padang. "Nggak ada buku menu, Mang?," tanya saya. "Nggak ada. Begini ajah. Ini mah bukan restoran, tapi rumah makan." Di depan kami terhidang gado-gado, tempe balado, sayur orak-arik, ayam goreng, gule kambing, tumis sapi dan ikan goreng. Tak lama azan berkumandang. Saya masih makan kurma ketika kawan Australia dan India langsung tancap gas. Semula mereka sempat bingung. "Where is the appetizer?" Saya menawarkan kolak, tapi mereka bilang kemanisan. Bagi kawan-kawan India, pedasnya makanan Indonesia setara dengan makanan mereka. Tapi bagi kawan Australia, pedas cabe membuatnya wajahnya langsung 'menyala'. "I like it", katanya sambil terbatuk-batuk. Ia baru saja menyuap sesendok tempe balado. Mang Didin membuatnya dengan standar orang Sunda: pedas. Tak sampai sejam, hampir semua piring licin tandas. Yang tersisa hanya tempe balado. Tempe tak dikenal di India, jadi orang-orang India merasa tidak familiar. Sementara kawan Australia kapok makannya. Penutupnya irisan melon yang diolesi susu kental manis dan ditaburi es. 'Pemadam kebakaran' yang efektif. Untuk makan lima orang + dua porsi yang dibawa pulang, kami menghabiskan 230 riyal (lk.setara dengan Rp.115.000 per orang). Lumayan mahal untuk ukuran rumah makan Indonesia di Riyadh. Beberapa pekan sebelumnya, saya makan di rumah makan Dendeng di kawasan Sulaymaniyah. Kami makan bertiga, habis hanya sekitar 60 riyal, tapi rasanya tanggung. Beberapa hari kemudian, saya menemukan makanan Indonesia yang enak bukan monopoli rumah makan Rindu Alam. Hari terakhir saya di Riyadh, saya diundang berbuka puasa di apartemen mang Ade, supir yang biasa mengantar saya ke sana kemari. Selembar plastik digelar di ruang keluarganya. Tak lama makanan datang satu demi satu. Puding, burger sayur, sambosa, risol, kolak, strawberry-yoghurt, es jeruk dan seterusnya dan seterusnya. Makanan seolah mengalir tanpa henti dan semuanya makanan pembuka. "Mang, ngundang siapa lagi nih," tanya saya. "Bapak ajah," katanya dengan logat Sunda yang kental, "Paling sama adik-adik saya." Padahal makanan yang terhidang mungkin cukup untuk 15 orang dewasa. Benar saja. Begitu azan, saya kebingungan mau mulai dari mana. Semuanya terlihat enak dan menggoda. Colek sana, colek sini, tak terasa perut sudah terasa penuh. "Pak, masih ada ikan goreng dan sup," kata mang Ade. Nah lho. Dua ekor ikan Hammour goreng melengkung menggoda. Terlihat kering dan renyah. Di sebelahnya semangkuk sup daging. Nasi yang dihidangkan meruapkan bau wangi, seperti pandanwangi. Memang ada pandanwangi di Riyadh? Saya enggan bersusah payah menanyakannya. Saya lebih sibuk putar otak mencari taktik menikmati semua makanan ini. Tapi akhirnya saya menyerah. Itupun mang Ade masih meletakkan tiga potong daging ikan ke piring saya. "Tanggung pak." Istri mang Ade yang masak semua ini. Ia orang Filipina asal Mindanao. Mereka bertemu saat sama-sama bekerja di Saudi Arabia. Mang Ade mengaku sudah 20 tahun tinggal di negeri ini. Dari satu taksi, kini ia mengoperasikan empat taksi --empat sedan dan satu minibus Previa-- bersama saudara-saudaranya. "Milik sendiri, pak," ketika saya tanya status mobil-mobil ini, "tapi belinya nyicil." Kandas sudah cita-cita pulang ke Indonesia dengan perut susut. Tadinya saya berharap, puasa bisa membantu mengurangi berat badan --maklum masih malas berolahraga. Tapi undangan buka puasa dari kawan-kawan Indonesia yang susul menyusul, rumah makan Indonesia yang enak serta keramahtamahan orang-orang seperti mang Ade membuat saya merasa lebih bersalah kalau tidak makan. Apalagi rasanya enak-enak. Padahal istriku rajin mengingatkan, "Hati-hati ayah gendut lho.." Apa boleh buat. Maaf ya Bunda..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun