Aksi mengecor kaki beberapa “Kartini” Pegunungan Kendeng jelas merupakan tragedi kemanusiaan hari ini. Bukan karena aksi pengecoran tersebut, namun keadaan yang “memaksa” para Kartini melakukan itu yang merupakan tragis. Bagi warga Kendeng, putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA)merupakan benteng keadilan terakhir dari pertaruhan segenap kehidupan mereka dan anak cucunya. Sebagai warga bangsa yang taat hukum, jalur hukum hingga MA merupakan jalan konsitusional yang ditempuh sekalipun melelahkan, bahkan bisa juga akhirnya diabaikan. Dan mereka percaya negara ini masih negara berdasarkan hukum (rechstaats) bukan kekuasaan dan berharap pemerintah pasti akan jauh lebih patuh pada hukum tersebut. Bila pemerintah juga ingkar, pilihan apalagi yang dipunya?
Sekalipun “diingkari” secara hukum, mereka masih berharap dan percaya, pemerintah melalui Presiden akan patuh dengan keadilan hukum tersebut. Untuk itulah, mewakili warga Kendeng, Yu Gunarti menemui Presiden Jokowi dalam rombongan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk menyampaikan aspirasi mereka dan berharap kepedulian dan ketegasan Presiden. Tapi apa dinyana, isak tangis kepedihan yang didapat. Berdalih otonomi daerah, Presiden Jokowi justru menyarankan untuk berbicara dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pejabat yang justru telah mengeluarkan ijin lingkungan baru pasca putusan PK. Hakikinya, dalam konteks Administrasi Pemerintahan, UU No.30/2014, sudah mengatur tegas di mana peran Kepala Daerah dan Presiden sebagai “atasan” dari Kepala Daerah dan batasam kondisionalnya.
Lepas dari substansi apapun yang diungkapkan oleh Gubernur Jawa Tengah, bahkan sampai kepada upaya-upaya “Killing The Mesenger” dengan menyoal nasionalisme warga penolak pabrik Semen SI yang tidak memasalahkan pabrik semen PT Indocement, dan lainnya, realitasnya sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung No. 99 PK/TUN/2016. Tentu saja putusan MA tidak akan pernah menyebut eksplisit pencabutan atau penghentian operasional pabrik semen PT (Persero)SI, sebagaimana alasan Gubernur Jawa Tengah. Putusan PK MA mengabulkan dan menguatkan kembali Putusan PTUN Semarang yang mengabulkan gugatan warga untuk pembatalan dan pencabutan SK Gubernur Jawa Tengah No.660.1/17 tahun 2012 tentang ijin lingkungan kegiatan penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero), Tbk di Kab. Rembang, Jawa Tengah yang diduga yang rangkaian prosesnya bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan.
Dalam konteks Administrasi Pemerintahan dengan UU No.30/2014, ijin lingkungan yang dikeluarkan oleh pejabat Gubernur terdahulu , dikarenakan sudah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap jelas batal demi hukum. Dalam perfektif tersebut, pejabat pemerintahan yang mengeluarkan putusan tata usaha negara tersebut dianggap telah melakukan tindakan sewenang-wenang (Pasal 17 (3)). Tindakan tersebut bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi berat, dengan sanksi hingga pemberhentian tetap dari jabatan dengan tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta diumumkan di media massa (Pasal 81(3)). Tentu sanksi tersebut menjadi selesai, dengan sudah beralihnya jabatan Gubernur terdahulu. Namun putusan PK tersebut tidak mengikat secara personal, namun pada jabatan Gubernur dan pemerintahan, maka putusan PK MA juga mengikat secara administrasi pemerintahan kepada Gubernur baru. Kasus pelanggaran administrasi menjadi selesai ketika Gubernur menyatakan menerima putusan dan mematuhinya.
Namun kenyataannya kemudian, sang Gubernur baru justru kemudian memperbarui dan mengeluarkan ijin lingkungan baru di atas obyek dan subyek kasus hukum yang sudah menjadi putusan PK MA tersebut. Dengan melanjutkan ijin lingkungan yang sudah mendapat putusan PK MA apalagi berpotensi merusak lingkungan hidup, sang Gubernur secara politik, mengambil tanggung jawab hukum tata usaha negara termasuk pelanggaran administrasi berat dan sanksinya (Pasal 80, 81, 82 UU 30/2014). Tentu saja Gubernur atau Kepala Daerah mempunyai kewenangan otonom yang luas untuk mengeluarkan putusan tata usaha negara. Namun UU Administrasi Pemerintahan juga secara legal mengatur tanggung jawab atasan dari Gubernur atau Kepala Daerah yang dikategorikan melakukan putusan yang sewenang-wenang yang berlawanan dengan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 42 (3) UU 30/2014, Presiden adalah atasan dari Kepala Daerah, melalui Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk memberikan sanksi pelanggaran administrasi berat berupa hingga pemberhentian tetap dari jabatan dengan atau tanpa hak-hak keuangan dan fasilitas setelah melalui pemeriksaan internal. Atau berdasarkan UU 51/2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, PTUN atas permintaan penggugat dapat meminta kepada Presiden untuk Kepala Daerah untuk mematuhi dan menjalankan putusan hukum berkekuatan hukum tersebut juga dengan mengumumkan pada media massa setempat. Apabila juga tidak diindahkan, dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Dalam kasus ijin lingkungan pabrik semen PT SI, patut diduga Gubernur Jawa Tengah telah melakukan dua kali pelanggaran administrasi. Selain dalam konteks tidak mematuhi putusan PK MA, Gubernur Jawa Tengah patut diduga telah melakukan kebijakan diskresi yang tidak berdasar peraturan perundangan yang ada. Keputusan Gubernur Jawa Tengah dengan mengeluarkan ijin lingkungan baru di atas ijin yang sudah batal demi hukum dapat ditenggarai sebagai putusan TUN yang dalam Administrasi Pemerintahan sebagai kebijakan diskresi. Tentu, dengan tujuan antara lain mengisi kekosongan hukum dan memberi kepastian hukum, seorang Kepala Daerah dapat melakukan diskresi.
Namun berdasar Pasal 24 UU No.30/2014, diskresi haruslah memenuhi berbagai kriteria antara lain tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan apabila dapat menimbulkan keresahan masyarakat, diskresi wajib melaporkan kepada atasan pejabat lisan atau tertulis 5 (lima) hari sebelum penggunaan dan setelah penggunaan diskresi (Pasal 25(3) dan Pasal 27 UU 30/2014). Pertanyaannya adalah apakah diskresi yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengeluarkan ijin lingkungan baru sudah dilaporkan kepada Presiden sebagai atasan dari Gubernur sebelum atau sesudah ijin lingkungan tersebut. Ijin lingkungan diskresi yang tanpa dilaporkan kepada Presiden sesuai dengan UU No.30/2014 dikategorikan melampaui dan/atau mencampuradukan wewenang sebagai pelanggaran ringan namun sebagai pelanggaran berat apabila berpotensi merusak lingkungan hidup.
Namun pelaporan kepada atasan pejabat dalam hal ini Presiden, tidak serta merta diskresi tersebut dapat menyalahi aturan perundangan termasuk putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Putusan PTUN Semarang No. 064/G/2014/PTUN.SMG tanggal 16 April 2015 yang dikuatkan oleh putusan PK, telah melegitimasi ada pelanggaran atas UU No.7/2014 tentang Sumberdaya Air, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, Uu No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah, Keppres hingga Perda terkait. Tiadanya tindakan administrasi pemerintahan dari atasan pejabat atau dalam hal ini Presiden, akan berdampak secara ketatanegaraan.
Sekalipun UU No. 30/2014 merupakan produk hukum yang kontroversial dalam konteks apakah pejabat pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan dapat dipidanakan. UU tersebut kemudian melegalisasi bahwa seorang pejabat publik hanya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi dalam suatu kebijakan yang dikeluarkan. Dalam konteks pelestarian lingkungan hidup, tentu seorang pejabat publik akan “diselamatkan” dari ancaman pidana yang diatur khususnya Pasal 111, 112 dan 113 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun begitu, ketika sudah menjadi UU, bagaimanapun suatu produk hukum yang harus dipatuhi dan dilaksanakan secara konsekuen, terlebih bagi pemerintah untuk memberikan teladan. Tidak terbatas pada kasus Kendeng, berbagai pelanggaran administrasi pemerintahan dan diskresi di berbagai daerah dan kasus, dalam kasus reklamasi dan lainnya di Jakarta misalnya.
Pengabaian demi pengabaian atas kasus maladmistrasi pemerintahan akan menjadi pelanggaran masif yang pada akhirnya merugikan keuangan dan sumber daya di Indonesia. Terkecuali sebaiknya, pelanggaran administrasi pemerintahan dan/atau maladministrasi tersebut dikembalikan ke pengaturan UU No.32/2009 untuk dapat dipidanakan kembali. Pelanggaran administrasi pemerintahan juga telah mencoreng nilai supremasi hukum dalam demokrasi.