Setelah mendapat penolakan yang masif dari berbagai kelompok masyarakat yang memang sangat berkepentingan atas keberadaan RUU ini, DPR RI akhirnya menunda pengesahan RUU Ormas tersebut sampai tanggal 2 Juli 2013. Namun menilik motif didorongnya RUU yang direncanakan untuk menggantikan UU No.8 Â Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah utamanya untuk membatasi hak dan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dinyatakan dalam Menimbang (b) RUU Ormas tersebut. Namun secara substansi yang diatur hanya kepada pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul minus kebebasan berpendapata.
Secara substansi, terlihat adanya upaya Partai Politik di Senayan untuk menyamakan standar perlakuan pendirian partai politik mereka yang orientasinya kekuasaan elektoral dengan organisasi masyarakat yang tidak lebih pada ranah masyarakat. Keinginan tersebut jelas terlihat pada pengaturan Pasal 23, 24, dan 25 RUU yaitu bahwa struktur dan pengurus organisasi masyarakat paling sedikit 25% dari jumlah Provinsi ataupun Kabupaten. Apalagi persyaratan tersebut jelas bertolak belakang dengan subtansi Pasal 9 yang mensyaratkan pendirian Ormas cukup hanya dengan 3 orang kecuali Yayasan. Penyamarataan standar pendirian sebuah Parpol dengan Ormas merupakan bentuk egoisme berpikir para Anggota DPR dari Partai Politik Senayan kalau tidak kesesatan berpikir. Parpol yang secara bentuk pada hakikatnya juga merupakan Ormas namun dikarenakan memiliki hak elektoral sehingga memang pantas diwajibkan memiliki syarat legitimatif seperti itu, dan tidak seharusnya diterapkan kepada Ormas.
RUU Ormas terlihat sangat lemah konstruksi pengaturannya dan bersifat tambal sulam untuk sekadar mengakomodasi aspirasi berbagai kepentingan tanpa memiliki dasar yang jelas. Menurut RUU ini, Ormas dapat dikategorikan sebagai Ormas berbadan hukum yaitu Yayasan dan Perkumpulan, dan Ormas yang tidak berbadan hukum yaitu Ormas yang memenuhi syarat mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan Ormas yang tidak memenuhi syarat SKT. Selain kedua bentuk Ormas tidak berbadan hukum yang sama persyaratannya, pertanyaanya kalau memang mau dilegalisasi, bagaimana status dari Ormas yang tidak memenuhi syarat SKT tersebut dalam konteks RUU?
Menurut draft RUU Ormas per 27 Mei 2013 tersebut, Ormas yang tidak memenuhi persyaratan SKT cukup didata oleh pihak birokras Kecamatan berdasarkan persyaratan yang sama dengan Ormas yang memenuhi syarat SKT. Proses pendataan tersebut jelas menunjukkan adanya motif  pengawasan kebebasan sipil dalam RUU ini. Pengaturan tentang Ormas yang tidak memenuhi syarat SKT tersebut juga sangat tidak konsisten dengan pengaturan sanksi maksimal pada Pasal 61 berupa pencabutan status badan hukum dan SKT. Sanksi tersebut tidak mungkin dapat diterapkan kepada Ormas yang tidak memiliki SKT.
Anehnya adalah bahwa RUU ini bukanlah produk akhir. Artinya bahwa sekalipun akan disahkan nanti RUU ini tidak akan dapat diimplementasikan segera dan masih membutuhkan UU lainnya yang belum ada. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 12 ayat (4) yang berbunyi : "Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum Perkumpulan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang". Sampai hari ini Indonesia belum memiliki UU yang mengatur tentang badan hukum Perkumpulan. Ini berarti pasal tersebut tidak dapat diimplementasikan sampai UU tentang Perkumpulan diundangkan.
Pengaturan pembatasan tentang keterlibatan wara negara dan badan hukum asingpun yang sampai menentukan batas minimal kekayaaan sampai Rp 10.000.000.000,- kelihatan sangat menggelikan. Kalau dibandingkan dengan sikap-sikap DPR yang sangat permisif dengan keterlibatan asing dalam kegiatan ekonomi dalam investasi pertambangan, perkebunan skala luas dan sektor ekonomi lainnya yang dapat dikategorikan menguasai hajat hidup orang banyak serta yang lebih banyak berhubungan dengan instansi pemerintahan bahkan pejabat DPR, pembatasan kepada keterlibatan asing dalam Ormas yang lebih bersentuhan dengan kepentingan sosial masyarakat, sikap DPR ini patut dipertanyakan. Ada apa dengan DPR ini? Sekalipun apabila ada bantuan/hibah atau keterlibatan lembaga asing yang membantu kelompok masyarakat dalam menuntut hak konstitusional dan tanah ulayatnya dari 'akuisisi' korporasi asing yang mengakuisisi tanah dan lingkungan mereka, di manakah DPR RI akan berpihak sebagai wakil rakyat? Ataukah RUU Ormas ini dimaksudkan untuk mereduksi kekuatan masyarakat dalam mempertahankan hak dan lingkungannya dari 'imperialisme kekuatan ekonomi asing dan nasional' yang sudah sedemikian marak?
Dengan kecacatan substantif tersebut bahkan kecacatan moralitas RUU Ormas, maka DPR RI sebaiknya membatalkan RUU tersebut. Pembatalan RUU tersebut tidak perlu mengkuatirkan adanya kekosongan hukum dikarenakan substansinya sudah banyak diatur dalam UU yang lain. Selanjutnya lebih baik DPR RI mendorong RUU tentang Perkumpulan yang memang belum diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Bahkan kalau tujuannya ingin menyasar tindakan kekerasan dan anarkisme, DPR RI sebaiknya dapat memulai dengan melakukan inisiatif pengaturan tentang pernyataan kebencian (hate speech) yang dalam perkembangan terakhir banyak menginduksi terjadinya kekerasan-kekerasan primordial di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H