Mohon tunggu...
wisanggeni saja
wisanggeni saja Mohon Tunggu... -

pengelana jalanan, mencari sesuap nasi dari sepotong inspirasi, memimpikan Indonesia akan kembali jaya dengan filosofi Nusantara Raya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menata Ulang Papua Pasca Kembalinya Nicholas Jouwe

20 Januari 2010   02:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerimis masih bercumbu dengan embun pagi tatkala dering sms membangunkan saya dari indahnya mimpi. Jam di hp saya menunjukkan angka 03.30 WIB, rupanya salah seorang teman lama saya yang menggeluti dunia fotografer baru saja mendapat job untuk meliput pertemuan Nicholas Jouwe, salah satu petinggi Organisasi Papua Merdeka yang puluhan tahun bermukim di Belanda dengan beberapa pejabat tinggi negara. Meskipun suka menulis tapi ia merasa minder dalam merangkai kalimat, sehingga file-file yang dia kumpulkan segera dikirim ke email saya untuk diproduk menjadi sebuah tulisan. Wow, rupanya dia terkesan dengan artikel saya yang berjudul “Ada Markus di Acara Markus Award?” sehingga atas dasar kepercayaan inilah, saya berusaha menuangkan gagasannya ke dalam sebuah tulisan.

Berbicara mengenai Nicholas Jouwe takkan bisa dipisahkan dari Papua, daerah ujung timur Indonesia yang cukup eksotik namun masih dipenuhi gejolak konflik hingga saat ini. Setidaknya gambaran itulah yang saya himpun dari pelbagai informasi baik media cetak, elektronik maupun catatan perjalanan teman saya. Keinginan Nicholas Jouwe untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) tersirat dalam pertemuannya dengan beberapa petinggi negara seperti Ketua MPR Taufik Kiemas, Menkokesra Agung Laksono, Menhukham Patrialis Akbar serta KASAD George Toisutta beberapa hari terakhir ini. Sepak terjang Nicholas Jouwe dalam memperjuangan kemerdekaan Papua tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia merupakan salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka yang bergerilya mengibarkan “Bintang Kejora.” Saya pribadi menilai bahwa pelariannya ke Belanda merupakan bukti sahih penolakannya terhadap eksistensi NKRI di tanah Papua. Namun, setelah beberapa dekade, Nicholas Jouwe akhirnya sadar bahwa Papua merupakan bagian integral dari NKRI.

[caption id="attachment_57298" align="alignleft" width="286" caption="Foto"][/caption]

Keindahan alam Papua beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam balutan heteregonitas ras menunjukkan eksotisme yang tak terbantahkan. Sayangnya, potensi untuk menjadikan Papua sebagai surga wisata Indonesia belum dapat terealisasi karena kompleksitas masalah yang masih bergejolak hingga saat ini. Rendahnya kesejahteraan, minimnya sarana infrastruktur, rentannya tingkat kesehatan serta ketertinggalan (hampir) dalam pembangunan di segala bidang menjadikan Papua seolah menjadi daerah yang terlupakan. Kondisi ini tentu sangat kontras di mana eksploitasi terhadap pertambangan Papua secara terus menerus.

Masalah Papua seolah tak kunjung selesai. Eksistensi Organisasi Papua Merdeka di tanah Papua dianggap pemerintah menjadi “duri dalam daging” dalam pelaksanaan pembangunan. Mungkin itulah yang menjadikan daerah ini selalu menjadi target operasi militer. Selain problem itu, perang suku yang masih lestari hingga saat ini juga semakin melekatkan stigma primitif ketika berbicara mengenai Papua.

Nicholas Jouwe mengatakan bahwa awal perjuangan Papua Merdeka yang ia lakukan merupakan konsep dari Belanda yang seolah-olah akan mendirikan negara sendiri. “Belanda menyuruh saya untuk membuat bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk persiapan berdirinya sebuah negara. Setelah semua itu saya siapkan ternyata tidak ada satu negarapun yang mendukung perjuangan saya, justru semua negara tetap menyatakan bahwa Irian Barat bagian dari wilayah Indonesia”. (pertemuan Nicholas Jouwe dengan Taufik Kiemas/15 Januari 2010)

Akomodasi yang diberikan pemerintah pusat kepada Papua melalui Otonomi Khusus (Otsus) merupakan keistimewaan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun sayangnya, sampai dengan saat ini pelaksanaan otsus belum optimal. Hal senada juga diungkapkan oleh Jimmy Demianus Ijie, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat dalam diskusi bedah buku “Integrasi Telah Usai” di press room DPR RI beberapa waktu lalu. Ia mengatakan bahwa perlu dilakukan evaluasi pelaksanaan Otsus agar hasilnya dapat maksimal. Ia menggarisbawahi bahwa kegagalan Otsus bukan semata-mata tanggung jawab Jakarta, melainkan mentalitas elite politik Papua yang belum siap mengelola dan otsus yang begitu besar untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Saya mengibaratkan Papua merupakan seekor Cendrawasih yang hidup di hutan bernama "NKRI".

Keindahan yang dipancarkannya justru memunculkan ketakutan akan hilangnya cendrawasih tersebut sehingga sang penguasa hutan NKRI mengurungnya dalam sangkar. Cendrawasih tentu menginginkan kebebasan, dan juga perlakuan laiknya kawan-kawan lainnya. Karena tak kunjung mendapat kebebasan, hal ini membuatnya memberontak agar dapat keluar dari sangkar tersebut. Para “penyusup” yang mengetahui hal ini mencoba membantunya melepaskan diri dari sangkar dan membawanya keluar dari hutan NKRI. Hal ini membuat penguasa hutan NKRI memberikan pengawalan dan menjaga ketat sangkarnya. Baku tembak untuk memperebutkan cendrawasih secara tak sengaja telah melukainya. Setelah beberapa dekade, akhirnya Cendrawasih dikeluarkan dari sangkarnya (meski dalam pengawasan ketat) dan diberikanlah obat penawar bernama “Otsus.” Namun hingga kini, luka yang dialami tak kunjung sembuh karena dosis Otsus yang tidak sesuai. Cendrawasih yang telah bebas dari sangkar, merasa belum mendapat kebebasannya karena ia  belum sembuh dari luka. Di sinilah peran penguasa hutan NKRI agar meramu ulang pemberian obat “Otsus” agar dosisnya sesuai dan menyembuhkan luka cendrawasih sehingga ia bisa terbang bebas dalam hutan NKRI.

Kembali ke cerita awal, Momentum kembalinya Nicholas Jouwe ke pangkuan NKRI seharusnya dapat dimanfaatkan pemerintah, khususnya dalam mengikis ideologi separatisme yang tak kunjung hilang, terlebih lagi Nicholas Jouwe mempunyai kapasitas yang cukup mumpuni sebagai salah seorang sesepuh OPM yang telah “insyaf.”. Ia menegaskan bahwa sejak 19 November 1969 wilayah Papua dan penduduk yang mendiaminya telah menjadi bagian integral dari Indonesia. Hal ini merupakan modal berharga karena kelancaran pelaksanaan pembangunan memerlukan kondusivitas. Dengan berkurangnya aktivitas OPM, diharapkan beban pemerintah berkurang dan lebih fokus dalam optimalisasi Otsus khususnya dalam implementasi melalui Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar hukum dari Perdasi dan Perdasus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun