Dalam hitungan jam pasca mengambil keputusan untuk menutup rapat Paripurna Century, Ketua DPR, Marzuki Alie(MA) menerima ratusan bahkan ribuan hujatan maupun sumpah serapah yang disampaikan langsung maupun tidak langsung melalui pelbagai media massa, termasuk kompasiana. MA dianggap tidak layak memimpin sidang sebesar rapat paripurna DPR, ada yang memvonis bahwa MA hanya layak memimpin rapat di tingkat RT. Bahkan beberapa kalangan menilai ada agenda khusus dibalik keputusan MA menutup sidang saat masih banyak anggota DPR lain yang melakukan hujan interupsi. Adakah yang salah dengan keputusan MA? Jawabnya bisa Ya dan Tidak, tergantung dari sudut pandang mana kita menilainya. Selalu ada kemungkinan bias dari sebuah sudut pandang karena itu Kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja.
Dalam rekam jejaknya sebelum menjadi Ketua DPR RI, sosok putra kelahiran Palembang ini tentu tak boleh dipandang sebelah mata. Saya jadi teringat anekdot menggelitik sebelum pemilihan Ketua DPR RI masa bakti 2009-2014, bahwa sesungguhnya yang pantas menjadi Ketua DPR RI adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat alias SBY. Jika hal itu menjadi acuan, tentu dengan terpilihnya MA maka kapasitasnya tidak jauh dari SBY. Namun anekdot tersebut tentu tak bisa menjadi acuan. Keharusan menempatkan kader parpol pemenang pemilu sebagai pemegang tampuk pimpinan di DPR RI dalam UU Susduklah yang sebenarnya membawa MA ke posisi sekarang ini.
Kembali ke pokok permasalahan, keputusan MA untuk mengetuk palu tanda berakhirnya sidang bagi sebagian kalangan dianggap salah, otoriter dan mematikan demokrasi karena masih banyak anggota DPR yang melakukan interupsi. Saya pribadi menilai keputusan MA sudah tepat karena memang agenda rapat hari Selasa(02/03) hanya membacakan laporan Pansus Angket Century. Rapat akan dilanjutkan pada hari ini dengan agenda pembacaan pendapat akhir fraksi serta pengambilkan keputusan. Sebagai Ketua DPR RI, MA tentu tidak akan mengambil tindakan sembarangan. Apa yang dilakukannya telah sesuai dengan tatib DPR. Adanya kritikan dari mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung bahwa Ketua DPR perlu “lentur” dan fleksibel, tidak bisa diterima mentah-mentah, Tak pernah ada ukuran yang pasti mengenai fleksibilitas, tidak hanya di bidang politik, tetapi di segala bidang kehidupan. Berkaca pada pengalaman pribadi,sebagian teman saya kurang mampu memahami “fleksibilitas” sehingga banyak dari mereka justru keluar dari jalur yang sebelumnya mereka tetapkan sendiri. Fleksibilitas sesungguhnya merupakan antitesis dari konsistensi. Saya yakin bahwa MA menyadari bahwa membiarkan rapat paripurna berlarut-larut akan menimbulkan preseden buruk terlebih dengan adanya tuntutan untuk menyelesaikan rapat paripurna Century pada hari itu juga. Selain melanggar keputusan Bamus DPR yang menetapkan rapat berlangsung dua hari (Selasa dan Rabu) hal ini juga berpotensi menciptakan kericuhan yang lebih besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada sebagian pihak yang menginginkan posisi Boediono dan Sri Mulyani, serta jatuhnya pemerintahan SBY sehingga desakan untuk menyingkat waktu rapat dari dua hari menjadi satu hari tentu telah dikalkulasi secara politis oleh pihak-pihak tersebut. Situasi chaos inilah yang sebenarnya diharapkan untuk memperburuk citra pemerintahan SBY di mata rakyat dan di mata internasional.
Saya menilai bahwa MA telah mengambil keputusan yang tepat. Ia telah membuat keputusan sulit di bawah tekanan anggota-anggota lain. Selalu ada resiko dari pengambilan keputusan, namun jika tak bisa mengambil keputusan di bawah tekanan, maka kita takkan pernah menjadi pemimpin yang hebat. Salam kompasiana.
gambar dari http://amaliarahmah.files.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H