Penulis : Ibni Wiryateja, Muhammad Rohmadi
Dunia tanpa batas, ungkapan yang sering menjadi diskusi hangat dan masif
diperbincangkan saat ini. manusia tengah menghadapi lompatan teknologi yang sama
masifnya dengan revolusi kebudayaan, revolusi pertanian, atau bahkan revolusi
industri. Manusia secara masif mengembangan apa yang disebut sebagai kecerdasan
buatan. Pengembangan kecerdasan buatan mulanya digunakan untuk menangani isu
sekunder yang membutuhkan pemecahan masalah komputasi yang rumit dan
kompleks. Aplikasinya dimulai dari perangkat sensorik tunggal, kolaboratif multi
sensor, hingga saat ini memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri.
Kecerdasan buatan tumbuh dari bahasa yang dirangkai menggunakan kode
komputasi. Lebih jauh, kecerdasan buatan tidak lagi dirancang dari bahasa
pemrograman. Sekarang dia telah mampu menduplikasi, menganalisis, bahkan
memproduksi bahasa komputasi, bahasa yang mirip digunakan manusia, bahkan
bahasanya sendiri. Bahasa yang diproduksi oleh kecerdasan buatan ini dapat kita lihat
pada teks yang diproduksi oleh entitas sejenis chat gpt atau google bard. Bahasa yang
diproduksi mampu memberikan prediksi dan analisis berdasarkan metadata yang
dimiliki dalam korpusnya.
Melalui kecerdasan buatan manusia dapat dengan mudah memerintahkan mereka
untuk memproduksi teks sesuai kebutuhannya. Hal ini bisa dimengerti sebagai dua
sisi mata pisau. Di satu sisi sangat membantu dan di sisi lain cukup mengkhawatirkan
bagi pelaku industri kreatif. Misalnya pekerjaan copywriter, penulis, desainer, analis,
bahkan dalam level tertentu pendidik. Hal ini tentu perlu ditanggapi dengan cukup
serius. Banyak mata pencaharian yang akan terdampak oleh hal ini.
Memandang masa depan Indonesia penting mengingat saat ini diproyeksikan untuk
optimalisasi Indonesia Emas 2045. Tahun tersebut tepat 100 tahun merdeka,
diprediksi manusia Indonesia, tengah mengalami bonus demografi dengan
ketersediaan tenaga kerja produktif yang berlimpah. Menjadi pertanyaan besar
apakah kiblat laju ekonomi masih bermazhab padat karya sehingga proyeksi
keberlimpahan tenaga kerja menjadi optimal, atau justru dihadapkan pada pola padat
modal yang menghendaki adopsi sistem yang lebih efisien.
Ketidakpastian di tengah laju perkembangan nasional dan global tenti harus disikapi
dengan cepat. Tidak ada kepastian ketersediaan lapangan pekerjaan di masa depan
memaksa manusia Indonesia untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Hal ini
juga berlaku pada pelaku industri literasi dan pendidikan.
Sebagai pelaku yang berkecimpung dalam dunia literasi dan pendidikan, tentu harus
memiliki sikap yang adaptif untuk menghadapinya. Para pelaku literasi harus
memandang perubahan sebagai bentuk pembaharuan yang harus dijadikan bahan
untuk meningkatkan diri, mustahil kiranya seseorang untuk memunggungi perubahan
yang demikian masif. Memandang perkembangan kecerdasan buatan secara terbuka
dan memanfaatkannya sebagai nilai tambah untuk memperkaya.
Wirausaha literasi sebagai alternatif yang menjanjikan untuk menghadapi berbagai
gejolak yang muncul. Wirausaha iterasi memberikan wadah yang besar bagi siapapun
untuk berkolaborasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi secara masif untuk
memperkaya karyanya. Kita dapat belajar cepat, melakukan analisis pasar,
memberikan fasilitas edukatif, dan memanfaatkan sumber pembiayaan yang mudah
dan aman.
Masa depan wirausaha dalam bidang literasi tidak lagi menjadikan dirinya sebagai
kiblat, namun justru dirinya yang harus berkiblat pada permintaan masyarakat.
Pengelolaan yang kaku dan konservatif akan cepat ditinggalkan oleh masyarakat.
Namun, perlu diingat dalam menumbuhkan keyakinan wirausaha literasi harus tetap
menjaga spirit pembelajar dan etik moralitas dan akademis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H