Mohon tunggu...
Arif Santoso
Arif Santoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang pemuda yang menyukai sastra dan pendidikan.

Writer, Songwritter, Tutor of Literacy.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kertas Bekas Penjajahan

14 Juli 2019   00:22 Diperbarui: 14 Juli 2019   01:10 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bunga-bungaku mulai bermekaran, di atas cahaya yang membuatnya meredup. Lekaslah pergi, wahai kabut yang memberikan asmara, ubahlah dirimu semestinya.

Dalam pandangan seorang pria berbalut balada, tentu mengisahkan antara luka-luka yang memantik misteri. Ada apa dengan bunganya? Lantas mengapa menyuruh tambatan hatinya pergi? Mungkin saja butuh ketenangan batin. Ditamparnya sebilah kayu, dan mematahkan sedikit tongkatnya yang bersebelahan dengan kayu rapuh itu.

Dahulu, ia hanya seorang pengais angka. Merubah pikirannya dengan sejuta warna-warni kehidupan. Anehnya, ia tak pernah berhenti untuk menahan tidur dan puasa. Dan lebih anehnya, ia adalah manusia.

Apakah kuasa Tuhan memang ada, ataukah cahaya Tuhan selalu di dalan jiwa insan? Aih, sudahlah, kupikir engkau mestinya menggali, bukan mencari bukti secara tekstual, itu sudah kuno, tuan. Sekarang sudah zamannya analitik dengan 0,001% teoritik belaka. Sudah zamannya membelakangi wajah kita dengan kegilaan kita pada cinta-Nya. Sudahlah, bukan saatnya mencari benar dan salah. Puas-puaskan saja penggalian dan pengorekanmu pada akalmu sendiri.

"Hei, berikan semua akalmu saja. Daripada engkau tergerus oleh romantika kepalsuan. Tak pantas kau mendapatkannya!" bentak seorang yang peduli. Ia tak tahu bahwa akalnya dibutuhkan ketika membuat kegilaan yang sangat matang.

"Surutlah emosimu sejenak, munculkan saja deritamu yang kurestui. Andaikan aku waras, aku tidak akan mampir ke lubang hitam itu." Telunjuknya menancap pada dadanya. Apa yang kau rasa, wahai pembaca? Oh, betapa kalian sangat jujur menjadi pembaca yang menggunakan teori analisa. 

Wancik, dialah pria setengah matang. Setengah labil, setengah ganteng juga. Kegantengan aslinya adalah ubun-ubunnya yang sekeras mutiara. Saat ini, sudah tak ada lelaki menghiasi akalnya dengan kata-kata. Hanya berniat untuk menghakimi ataupun menggombal. Aih, janganlah begitu, kawan. Sudahlah, dan persilahkan otot-ototmu merenggang. Kini, dan mulai saat ini, kita telah disadarkan dengan ancaman dan ketidakpuasan.

"Margot, marilah sejenak memikirkan apa yang tak kau pikirkan, misalnya tubuhnay tak bertulang, atau kepalamu tanpa leher. Apakah itu bukan suatu syukur yang sangat tinggi? Ingatlah, kawanku. Syukur tertinggiku adalah kegilaan, dan kegilaan dalam hidupku adalah menikmati apa yang ada."

Margot hanya terdiam, memainkan dawai dan petikan gitar. Ia tak begitu percaya, kegilaan adalah syukur yang tinggi. Wahai Wancik, di manakah mutiara yang kau telan setelah kau belajar berenang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun