“Senang akhirnya pemerintah memberikan kepada kami malam lebih terang, sehingga suasana hidup kembali,” Kata Pak Ali Imran Kepala Desa Lamonae.
Lamonae adalah nama sebuah desa terpencil di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Udaranya sejuk dan suasananya masih asri. Untuk ke sana membutuhkan perjalanan 7 jam bermobil dari Kendari, ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara. Perjalanan ini melewati hamparan tepi pantai Sulawesi yang indah dan juga gunung-gunung yang menjulang.
Saya mahasiswa magang yang bergabung dengan tim EnDev Indonesia mengunjungi Lamonae dalam misi melakukan peninjauan teknis fasilitas solar mini-grid atau biasa dikenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Koservasi Energi (DJEBTKE). Tinjauan ini merupakan bagian dari kerjasama organisasi Jerman bernama GIZ dengan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) . Sesampainya di Lamonae, kami disambut oleh keramahan orang-orang di desa yang menerima kami di rumah Bapak Kepala Desa.
[caption id="attachment_345558" align="aligncenter" width="452" caption="Gembiranya Mandi di Sungai"][/caption]
Kehidupan di Lamonae merupakan suatu pengalaman yang jarang saya alami di perkotaan. Mulai dari anak-anak Lamonae yang saya temui, mereka terlihat menjaga hubungan sangat baik dengan alamnya. Mereka mandi di tepian sungai sembari bergulat satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan anak-anak kota yang pasti akan berpikir dua kali untuk main di sungai karena pencemaran misalnya. Sungai di desa ini tergolong masih terjaga kebersihannya, bahkan masih ada buaya yang berenang di sekitaran sungai ini. Namun anak-anak Desa Lamonae tidak pernah takut. Mereka berkata selagi mereka tidak mengganggu para buaya, buaya juga tidak akan memakan mereka.
Manfaat PLTS
Setelah bertemu dengan anak-anak itu, saya bersama tim EnDev melanjutkan perjalanan menuju rumah pembangkit PLTS atau disebut juga power house didampingi oleh seorang operator bernama Pak Burhan. Sembari tim kami melakukan pengecekan terhadap piranti-piranti yang ada di power house, Pak Burhan juga bercerita tentang betapa bersyukurnya warga Lamonae dengan adanya PLTS di desa mereka.
“Sebelum ada PLTS di Lamonae, para penduduk harus melakukan berusaha lebih keras untuk mendapatkan pasokan listrik. Kami harus membeli genset atau membayar Rp 100.000 per bulan ke desa sebelah yang dapat mengalirkan listrik ke desa kami,” kata Pak Burhan.
[caption id="attachment_345561" align="aligncenter" width="377" caption="Seorang Bocah Mencari Jambu Air"]
Sorenya, ketika matahari mulai tenggelam anak-anak yang selesai mandi di sungai melanjutkan pergi ke hutan sambil menenteng ember di tangan mereka. Di dalam hutan mereka dengan penuh semangat memanjat sebuah pohon hingga ke ujungnya. Dari atas pohon mereka menjatuhkan beberapa buah berwarna merah, yang ternyata adalah buah jambu air. Buah itu sedikit lebih besar dan masam dibanding jambu air di Pulau Jawa, tetapi tetap saja nikmat saat disantap bersama-sama. Ketika separuh ember telah terisimereka memutuskan untuk pulang bersamaan dengan datangnya senja.
Dalam gelap, cahaya lampu-lampu jalan mulai menyala dan rumah tetap nampak hidup dengan cahaya dan suara televisi. Anak-anak yang kembali ke rumah mulai berkumpul dengan keluarga mereka. Sejak adanya PLTS pada Februari 2014 warga Lamonae kini dapat merasakan listrik yang bisa dibilang cukup. Setiap hariya masyarakat Lamonae mendapat listrik mulai dari jam 5 sore. Walaupun hanya setengah hari, hal ini sungguh sebuah pencerahan bagi masyarakat Lamonae. PLTS memasok listrik tidak hanya ke rumah-rumah tetapi juga ke lampu di sepanjang jalan desa yang membuat suasana desa menjadi lebih terang dan terasa lebih aman. Anak-anak dapat melakukan aktivitasnya di malam hari baik untuk belajar, bermain dengan saudara, dan bisa juga menonton televisi bersama keluarga tercinta. Televisi sangat bermanfaat untuk membuat masyarakat Desa Lamonae tidak ketinggalan informasi terkini yang sedang berkembang di masyarakat luas. Misalnya saja berita mengenai pemilihan presiden tak lama lagi dan kejuaraan Piala Dunia 2014.
[caption id="attachment_345562" align="aligncenter" width="512" caption="Menonton TV di mlam hari"]
Girlband Desa Lamonae
Di pagi hari, bersihnya udara dan embun pagi sangat menyegarkan untuk mengawali hari. Waktu itu adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sehingga para siswa kelas 1 sampai kelas 5 mendapat hari libur. Saya bertemu dengan tiga bocah perempuan bernama Gita, Merin dan Indah. Mereka sangat suka bernyanyi dan menari seperti girlband yang biasanya kita tonton di saluran televisi nasional. Dengan beraninya mereka mengundang saya untuk bergabung dan menyaksikan aksi mereka.
Saya diajak mampir ke rumah Indah sekitar 200m dari power house PLTS. Orang tua Indah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di ibukota Kabupaten Konawe Utara yang cukup jauh dari desa. Di Lamonae, hanya beberapa orang yang bekerja sebagai PNS karena sebagian besar memilih menjadi petani di lahan mereka atau bekerja untuk perkebunan sawit di dekat Desa Lamonae. Mempunyai orang tua yang cukup sibuk, Indah telah terlatih untuk mengasuh adiknya yang masih kecil mulai dari menyuapi hingga menggantikan celananya bila adiknya buang air. Menariknya, teman-teman Indah juga terbiasa untuk membantu Indah menjaga adiknya. Walau bukan saudara kandung, mereka saling membantu seperti layaknya keluarga.
Saya tentu saja tergelitik untuk menanyakan cita-cita mereka. “Saya ingin jadi dokter, “ kata Gita dengan tegas, sedangkan Merin ingin menjadi polwan. Belakangan ada satu bocah bernama Lisda yang bergabung dan ia berkata ingin menjadi artis yang nantinya bisa meluncurkan album pribadi. Saya tertawa kagum mendengarnya sebab ini di luar perkiraan saya sebelumnya. Ternyata anak-anak Desa Lamonae memiliki mimpi yang tak berbeda dengan anak-anak di kota pada umumnya.
[caption id="attachment_345563" align="aligncenter" width="512" caption="Girlban Lamonae Punya"]
Dengan cita-cita sebagai artis, mereka bertiga sangat luwes dalam menyajikan pertunjukan untuk saya. Mereka membentuk formasi dan bernyanyi sesuai irama lagu. Mereka menyanyikan lagu dari “BLINK” sebuah girlband yang sering muncul di layar kaca. Uniknya, tidak hanya satu lagu yang mereka kuasai tetapi lebih dari tiga lagu dan semuanya hasil kreatifitas koreografi mereka sendiri.
Saat pertunjukan usai, Lisda berbisik pada saya, “Kak, kalau nanti kembali ke Jakarta, tolong carikan seorang produser yang mau melihat aksi kami ya. Siapa tahu dia akan membuat album musik kami”. Saya mengangguk yakin, meski tidak terbersit sedikitpun ide bagaimana mencarikan produser untuk mereka.
Saya pulang dengan perasaan yang berbeda. Perjalanan ini menjadi suatu pengalaman yang sangat luar biasa apalagi bisa bertemu dengan anak-anak hebat seperti mereka. Saya tersadar bahwa setiap anak punya impian masing-masing, di mana saja mereka tinggal bahkan di tempat yang terpencil sekalipun. Termasuk di tempat bernama Lamonae, di mana masyarakatnya bergantung pada pasokan listrik setengah hari dari PLTS. Saya membayangkan betapa hebatnya anak-anak ini nantinya bila mereka memiliki pasokan energi yang lebih lagi untuk mengembangkan dan mencapai mimpi mereka.
Tempat Magang saya bekerja di Bidang Listrik Pedesaan menggunakan PLTS dan PLTMH, lebih lanjut :
web: http://endev-indonesia.org/
fb: Greenergy Indonesia
twitter: @Greenergindo
IG: EndevIndonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H