Minggu siang itu jarum jam di kelas saya menunjukkan pukul 12.30 WIB. Sebuah jam dimana orang – orang pada umumnya sedang enak – enaknya berada diatas tempat tidur untuk melepas lelah. Memang sesuatu yang wajar mengingat para penduduk di kota kecil saya tercinta ini rata – rata bekerja kantoran. Mereka rata – rata bekerja mulai pukul 07.00 hingga pukul 16.00 WIB, mulai hari Senin hingga Sabtu. Tidak heran rasanya bila hari Minggu adalah hari “pembalasan dendam” bagi mereka untuk beristirahat dan berkumpul dengan keluarga.
Namun hari Minggu waktu itu bagi saya bukan hari dimana saya bisa beristirahat dan berkumpul bersama keluarga, namun merupakan sebuah hari dimana untuk pertama kalinya saya kembali menjadi mahasiswa. Ya, saya adalah seorang guru madrasah ibtidaiah yang harus kembali menempuh sekali lagi strata 1 dengan jurusan yang berbeda. Bila dulu saya mengambil jurusan bahasa dan sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi islam negeri di kota Malang, maka kali ini saya mengambil jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Ada alasan mengapa saya harus mengambil jurusan ini. Tidak lain adalah karena adanya suatu aturan yang saya dengar bahwa guru SD/ MI harus merupakan lulusan strata 1 pendidikan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah.
Bagi saya meskipun berat namun saya harus menjalani ini semua demi keberlangsungan karir saya sebagai pengajar di tingkat sekolah dasar. Istri saya pernah menyampaikan bahwa salah seorang koleganya tahun lalu dihapus tunjangan profesinya karena tidak linier. Perlu diketahui bahwa koleganya ini adalah seorang guru lulusan pendidikan olahraga.
Siang itu merupakan jam ketiga dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di SD. Waktu itu saya setelah sholat dhuhur saya begitu mengantuk dan ketika kembali ke kelas saya segera merebahkan diri di atas kursi panjang yang ada di kelas saya. Udara siang yang tidak terlalu panas dan angin yang berhembus dengan lembut melewati rongga – rongga ventilasi dan jendela membuat saya terbius dan tergoda untuk tidur. Entah berapa lama saya tertidur hingga teman saya membangunkan saya dari nikmatnya tidur di siang itu.
Rupanya bapak dosen pengampu mata kuliah itu telah tiba. Segera saja saya bangun dari tidur untuk melakukan pengkondisian dalam rangka ngangsu kawruh (mencari ilmu) dari bapak dosen yang begitu bersahaja tersebut. Bapak dosen memulai perkuliahan dengan mengucapkan salam khas agama mayoritas di negeri ini lalu memulai dengan sebuah pertanyaan yaitu mengenai perbedaan guru zaman sekarang dan guru zaman dulu. Kontan dalam hati kami para mahasiswa bertanya – tanya.
Beberapa saat kemudian ada salah seorang teman kami yang menyahut, bahwa perbedaannya terletak pada metode pembelajaran. Dia menjelaskan bahwa kalau guru zaman dahulu hanya menggunakan satu metode pembelajaran yaitu metode ceramah sedangkan guru zaman sekarang menggunakan berbagai macam metode dalam proses pembelajaran. Dosen kami mengangguk dan meminta pendapat dari mahasiswa yang lain. Kemudian ada salah seorang teman kami yang menjawab perbedaannya ada pada kesejahteraan. Kalau guru zaman sekarang lebih sejantera daripada guru zaman dulu. Dia mengatakan bahwa banyak guru zaman sekarang yang bisa beli mobil, memiliki rumah yang bagus dan lain-lain.
Saya pun tidak kalah antusias dengan menjawab bahwa perbedaannya adalah pada media pembelajaran. Kalau zaman dulu media pembelajaran terbatas kalau sekarang melimpah dan banyak yang canggih – canggih. Dosen kami pun mengangguk dan mengatakan bahwa jawaban kami benar semua, namun kesemua jawaban kami hanya mengarah pada hal – hal yang sifatnya material saja. Kemudian beliau menjawab bahwa perbedaan guru dulu dan sekarang dapat dilihat dari ketaatan murid – muridnya.
Zaman dahulu murid – murid pada umumnya mudah untuk diarahkan, dibina dan di didik oleh gurunya. Mereka begitu patuh pada perkataan dan perintah dari para gurunya. Intinya sekali disuruh maka tidak ada bantahan. Tidak heran murid – murid zaman dahulu banyak yang sukses dan mendapatkan kehidupan yang layak.
Lalu apa kunci rahasianya? Masih menurut dosen saya kunci rahasianya adalah ikhlas. Ikhlas dalam hal ini adalah ikhlas dalam mendoakan. Guru – guru zaman dahulu begitu ikhlas mendoakan para muridnya. Mereka mendoakan berbagai macam kebaikan agar terlimpah kepada mereka. Hal inilah rupanya yang menjadikan kanal penghubung antara jiwa para murid dan guru hingga para murid pada zaman dahulu begitu patuh pada gurunya.
Mana mungkin sebuah lampu menyala tanpa adanya perantara berupa steker dan kabel yang menghubungkannya dengan sumber listrik. Demikian pula para murid, mana mungkin nasihat – nasihat dari para guru bisa didengar, dipahami dan dipatuhi bila tautan jiwa antara guru dan murid tidak pernah terbangun dan terjalin dengan baik.
Oleh karena itu hendaklah para guru yang ada pada zaman sekarang tidak bosan – bosan mendoakan para muridnya agar para murid senantiasa menjadi orang – orang yang sholeh, pintar, dan berguna untuk nusa, bangsa dan agamanya. Karena sesungguhnya sebaik – baiknya manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H